Damang Batu dengan Kaki Bertumpu pada Gong

Dayak, Damang Batu, Tumbang Anoi, Gunung Mas, Kompeni Hindia Belanda, sahiring, gong, tanah, adat, tuan, ancaman, Dayak Gunung Mas, Kalteng, kayau

 

Potret Damang Batu yang telah diverifikasi: Kakinya bertumpu pada gong. Repro: Masri Sareb Putra.


🌍
 DAYAK TODAY  | 
PALANGKA RAYA: Sejarah sering keliru. Atau mungkin kita yang tergesa. 

Bertahun-tahun beredar gambar lain. Bukan gambar ini. Yakni seorang lelaki duduk. Kakinya bertumpu pada gong, yang dipercaya sebagai potret-diri asli sosok Damang Batu. 

Hingga suatu hari, kesalahan itu tersingkap. "Kecelakaan sejarah," kata Dr. Marco Mahin, sahabat saya. 

Saya mengangguk. Mengingat kembali. Betapa mudahnya ingatan kita diselewengkan oleh citra.

Baca The Periodization of Influence and Power in Varuna-Dvipa/Borneo/Kalimantan Through the Ages

Di Tumbang Anoi (wilayah kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah) tahun 2017, saya bertanya pada cucu perempuannya. 

"Benarkah lelaki yang duduk dengan kakinya bertumpu pada gong itu, dengan sorot mata yang seperti menantang waktu, adalah Damang Batu?" 

Jawabnya tenang. Tanpa sedikit pun terbesit nada sangsi: "Ya!" 

Maka saya meminta izin mereproduksi foto yang benar. Sejarah, seperti sungai. Harus mengalir ke arah muara yang jernih.

Damang Batu adalah legenda. Adakah sejarah bisa berjalan tanpanya? Ia, lebih dari sekadar nama dalam ingatan, lebih dari sekadar bayang dalam lembar-lembar buku. Ia yang pada usia 73 tahun, ketika tubuh telah mengenal lelah dan hari-hari berbau tua, justru mengundang para pemimpin suku. Bukan untuk perang, bukan untuk perhitungan darah, tetapi untuk sesuatu yang lebih mendasar: perdamaian.

Tumbang Anoi, 1894. Tiga bulan yang panjang, dari Mei hingga Juli. Tiga bulan yang mengguncang tradisi, mengoyak tatanan lama. Kayau harus dihentikan, kata Damang Batu. Darah tak boleh lagi mengalir sia-sia. Apakah ini kehendak seorang manusia, atau bisikan waktu yang lelah melihat sesama bertikai?

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Engkan datang, membawa dendam dan tuntutan. Tiga saudaranya telah mati di tangan Timbang, keluarga Damang Batu. Sahiring harus dibayar. Hukum adat meminta darah dibalas darah. Tetapi Damang Batu menampik tantangan untuk saling kayau. Jika harus bertarung, biarlah saling kayau sampai tak tersisa. Tiga bulan diberikan, untuk mengumpulkan pasukan, untuk menimbang amarah. Namun, di balik ketegangan itu, ada kesadaran yang tumbuh, bahwa tidak ada akhir dalam siklus dendam, kecuali kehancuran.

Sejarah bukan hanya tentang siapa yang bertarung, tetapi siapa yang memilih berhenti. 

Maka Damang Batu, dengan kebijaksanaan yang melampaui zamannya, mengajak para damang, para temenggung, para panglima, duduk bersama. "Cukup sudah," barangkali itu yang bergema di langit Tumbang Anoi.

Maka pertemuan terjadi. Seribu lebih kepala berkumpul. Bukan hanya dari pelosok Borneo yang kini kita kenal sebagai Indonesia, tetapi juga dari Brunei, dari Sarawak. Sebuah persidangan yang lebih besar dari sekadar kesepakatan. Ini bukan hanya tentang mengakhiri kayau, tetapi tentang sesuatu yang lebih dalam: kesadaran bahwa mereka adalah satu bangsa. Dayak.

Sejarah tak selalu memberi tempat bagi yang berjasa. Tetapi kita tak boleh lupa. Damang Batu tak sekadar Damang. Ia adalah pemersatu. Ia adalah "Gadjahmada" Dayak. Ia adalah awal dari kesadaran-diri, identitas yang melampaui sekat-sekat suku dan sungai.

Damang Batu wafat pada usia 97 tahun. Tetapi adakah seseorang benar-benar mati jika namanya tetap kita sebut? Sebab jejak legasinya tetap kita kenang.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Mungkin, setiap kali kita berbicara tentang persatuan, tentang bagaimana perang bisa dihentikan bukan dengan pedang, tetapi dengan kata-kata, Damang Batu, di suatu tempat, tersenyum.

***

Gong itu bulat. Seperti waktu yang terus berulang. Seperti sejarah yang bergema dari masa ke masa. Dan di atasnya, bertumpu kaki seorang tua—Damang Batu. Itu bukan sekadar duduk. Itu adalah sikap. Itu adalah tanda.

Kaki Damang Batu yang bertumpu pada gong bukan sembarang kaki. Ia milik seorang yang menguasai tanahnya, menjaga adatnya. Gong di bawahnya bukan sekadar logam. Ia lambang, ia penanda. Sebab ketika gong berbunyi, ia tidak sekadar mengirimkan suara. Ia memanggil. Ia menyeru. Ia bisa jadi peringatan atau kutukan.

Baca The Tumbang Anoi Conference of 1894 – A Turning Point in Dayak History

Damang Batu tahu betul: tanah bukan sekadar pijakan. Ia adalah hak. Ia adalah nyawa. Dan di tanah itu, ia tuannya. Ketika kakinya bertumpu di atas gong, itu bukan karena ia ingin tinggi, melainkan karena ia sudah berada di sana—di puncak takdir yang ia pilih sendiri.

Dan jika gong itu akhirnya berbunyi? 

Itu bukan sekadar bunyi logam yang dipukul. Itu suara dari hutan, dari sungai, dari leluhur yang tak rela tanahnya diinjak seenaknya. Itu isyarat: Dayak bukan sekadar ada. Dayak tahu kapan harus diam, tahu kapan harus berdiri, tahu kapan harus menyalakan prahara.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar