Dayak Manusia yang Sarat dengan Simbol

Dayak, simbol, manusia, tato, bunga terong, gagal paham, ritual primitif, Borneo, leluhur, alam, warisan, bahasa jiwa, ngayau, Apai Janggut

 

Dayak Manusia yang Sarat dengan Simbol
Tato bunga terong pada bahu Apai Janggut: Sarat dengan simbol. Kredit gambar: Mongabay.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Orang luar sering gagal paham tentang Dayak! 

Mereka datang ke Borneo dengan segala keterbatasan persepsi dan daya paham mereka. Dan dalam ketidaktahuan itu, mereka melangkah masuk ke dunia orang Dayak, menatap simbol-simbol itu seolah semuanya hanya potongan-potongan gambar yang tak bermakna. 

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Simbol bukan sekadar hiasan

Pendatang telah lupa, atau lebih tepatnya, tidak tahu. Bahwa simbol-simbol ini bukan sekadar hiasan. Ini bukan sekadar motif tato, ukiran kayu, atau ritus yang tampak asing. Ini adalah bahasa: bahasa jiwa, bahasa hati, bahasa yang tidak pernah diucapkan, tetapi selalu ada di sana, mengalir di dalam setiap gerak kehidupan mereka.

Mereka, orang luar itu, datang dengan mata yang tertutup dan pikiran yang terkungkung dalam definisi-definisi yang serba praktis. Begitu mudahnya mereka menghakimi, melihat kebudayaan ini dari luar jendela pemahaman mereka yang sempit. 

Baca Di Balai Basarah, Kudengar Leluhur Bicara

Pendatang memandang tato bunga terong pada kulit orang Dayak, dan berpikir itu hanya simbol, hiasan belaka. Mereka melihat ukiran di rumah panjang, dan bertanya-tanya apa maknanya. Orang asing mendengar cerita tentang upacara dan ritual, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang jauh dari kenyataan: sesuatu yang kuno, tidak relevan, atau bahkan hanya ilusi belaka.

Simbol bahasa yang tak terucapkan

Namun, tahukah mereka bahwa simbol-simbol itu adalah bahasa kehidupan yang tak terucapkan? 

Di balik setiap ukiran, setiap motif, setiap ritus, ada perasaan, ada jiwa, ada keyakinan yang jauh lebih dalam daripada sekadar ‘ritual primitif’. Itu adalah cara mereka berbicara dengan leluhur mereka, berbicara dengan alam, berbicara dengan dunia yang lebih besar, yang lebih luas, yang lebih tak terlihat. 

Orang Dayak tidak hanya hidup dengan simbol itu, mereka hidup oleh simbol itu.

Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan

Di sinilah letak perbedaan besar antara mereka yang ‘memahami’ dan mereka yang ‘melihat’. Mereka yang melihat, hanya melihat permukaan. Mereka yang memahami, melihat ke dalam. 

Simbol yang mereka anggap sebagai sesuatu yang terpisah —dari dunia mereka, dari pemikiran mereka— adalah jembatan, sebuah penghubung tak terlihat yang mengikat mereka dengan sesuatu yang lebih besar. Suatu realitas yang tak terucapkan, yang lebih mendalam daripada kata-kata, lebih luas daripada apa yang bisa digenggam oleh akal manusia.

Dan itu adalah inti dari kehidupan orang Dayak. Di dunia mereka, kata-kata bukanlah satu-satunya cara untuk berbicara. Mereka berbicara melalui simbol, melalui gambar, melalui ukiran, melalui doa yang tak tampak. 

Setiap langkah yang mereka ambil, setiap ritual yang mereka jalani, setiap ukiran yang mereka buat, adalah sebuah wujud dari bahasa yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih sejati dari apa pun yang bisa diungkapkan dalam kalimat atau logika. Dunia mereka adalah dunia yang hidup dengan simbol, yang dipahami dalam diam, dalam keheningan.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Mungkin, kita harus mulai belajar bahwa dalam dunia ini, ada banyak hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahwa ada bahasa yang hanya bisa dipahami dengan hati, bukan dengan kepala. Dan dalam kebisuan simbol itulah, orang Dayak mengajarkan kita tentang kedalaman hidup, tentang betapa kita harus mampu mendengarkan dunia tanpa harus memaksakan pemahaman kita, tanpa harus menghakimi dari luar.

Melihat Dayak dengan mata hati tertutup

Dan sayangnya, kita masih sering gagal. Kita melihat Dayak dengan mata-hati yang tertutup, dengan pemikiran yang penuh dengan prasangka, dengan cara pandang yang sempit. Kita melihat simbol-simbol mereka, tanpa pernah benar-benar mencoba untuk memahami bahasa yang mereka bawa. Kita terlalu cepat menilai, terlalu mudah menghakimi, terlalu cepat menutup buku sebelum kita benar-benar membuka halaman pertama.

Padahal, jika kita mau sedikit membuka hati, jika kita mau mendengar dengan lebih dalam, kita akan menemukan bahwa simbol-simbol itu bukanlah kebingungan atau kerumitan tanpa arti. Mereka adalah jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hidup, tentang harmoni, tentang keberlanjutan, tentang keseimbangan antara manusia dan alam. Mereka adalah bahasa yang lebih tua, yang tak terucapkan namun begitu jelas, begitu nyata.

Kita sering lupa bahwa simbol bukan hanya sekadar gambar, bukan hanya lukisan atau ukiran. Simbol adalah bahasa kehidupan itu sendiri, dan jika kita gagal memahaminya, kita bukan hanya gagal memahami orang Dayak. Kita gagal memahami diri kita sendiri, kita gagal memahami dunia kita yang semakin terasing ini. Kita gagal mendengar apa yang seharusnya kita dengar—bahwa hidup ini bukan hanya tentang apa yang bisa kita lihat, tapi tentang apa yang bisa kita rasakan, apa yang bisa kita pahami dalam diam.

Baca Ngayau (1)

Orang Dayak, dengan segala simbolnya --termasuk ngayau-- dengan segala kehati-hatian dan keheningan mereka, mengingatkan kita untuk lebih banyak mendengar dan lebih sedikit berbicara. Untuk lebih banyak merasakan, lebih sedikit menilai. 

Untuk melihat dunia ini bukan hanya sebagai sesuatu yang bisa dikuasai, tetapi sebagai sesuatu yang harus dihargai, dipahami, dan dijaga. 

Hidup dalam keseimbangan

Dayak mengingatkan kita, dalam bahasa yang tak terucapkan, bahwa kehidupan yang sejati adalah kehidupan yang hidup dalam keseimbangan, dalam harmoni, dalam simbol yang lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan.

-- Ananta Muluk

LihatTutupKomentar