Di Balai Basarah, Kudengar Leluhur Bicara
Agama asli suku Dayak sarat dengan simbol sebab Dayak adalah homo symbolicus. Doc. Rmsp.
🌲 DAYAK TODAY | PALANGKA RAYA:
Udara pedalaman Kalimantan Tengah dipenuhi dengan suara alam yang tenang.
Di antara pepohonan rimba, angin berbisik pelan, dan daun-daun bergetar perlahan.
Aku duduk bersila di lantai kayu yang hangat, di dalam sebuah balai basarah yang sederhana namun penuh makna. Tempat ini bukan hanya bangunan fisik, melainkan saksi bisu bagi perjalanan panjang agama dan tradisi Dayak.
Baca Dayak, Gua, dan Konsep Kosmologinya
Di sinilah, menurut Prof. Tiwi Etika, tempat umat Kaharingan—agama asli yang telah hidup berabad-abad—menyampaikan doa dan berkomunikasi dengan leluhur mereka.
Prof. Tiwi Etika, seorang akademisi sekaligus praktisi agama Kaharingan, melihat lebih dalam dari sekadar ritual-ritual itu. Bagi Tiwi, agama Kaharingan bukanlah sekadar seperangkat ajaran atau keyakinan, tetapi sebuah cara hidup yang terus berjalan, beradaptasi, dan berkembang dalam menjalani hubungan dengan alam dan leluhur.
"Agama kami bukan hanya tentang teks-teks tua atau dongeng-dongeng masa lalu," katanya lembut, sambil menatap jauh ke luar jendela, "tetapi tentang jejak. Jejak pada air, angin, pohon, dan tentu saja pada arwah para pendahulu. Kami berbicara dengan mereka, tidak hanya dengan kata-kata, tapi dengan cara hidup kami."
Tiwi mengungkapkan bahwa agama Kaharingan, meskipun tetap berakar pada tradisi lokal, tidak bisa dipungkiri telah mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan arus zaman. Salah satunya adalah pengaruh luar dari agama-agama Samawi dan Hindu-Buddha yang masuk ke Borneo berabad-abad yang lalu.
“Banyak orang salah sangka,” katanya sambil tersenyum kecil, “Mereka kira ajaran kami berganti, tapi tidak. Kaharingan tetap Kaharingan. Kami bukan ingin menjadi Hindu, kami hanya ingin diakui sebagai agama yang sah oleh negara. Kami memerlukan payung hukum, agar kami bisa mendapat pelayanan keagamaan yang setara.”
Integrasi yang dimaksud Tiwi bukanlah perubahan dalam ajaran atau kepercayaan itu sendiri, melainkan pada lembaga keagamaan yang mengatur umat Kaharingan.
Tiwi menjelaskan bahwa integrasi ini lebih kepada struktur administratif yang memungkinkan agama Kaharingan untuk diakui oleh pemerintah, agar umatnya bisa menikmati hak-hak keagamaan yang sama seperti umat agama lain di Indonesia. “Umat Hindu sembahyang di pura, kami sembahyang di balai basarah. Itu tidak bercampur. Kedua ajaran tetap berjalan sesuai dengan jalurnya masing-masing.”
Namun, Tiwi tidak menutup kemungkinan adanya adaptasi. "Kalau pun ada yang menyeberang—seperti umat Hindu yang ke balai basarah, atau umat Kaharingan yang ke pura: itu bukan karena mereka ingin mengganti agama, tetapi karena mereka melihat kesamaan dalam ajaran dan keyakinan kami. Kami semua percaya bahwa keseimbangan alam adalah kunci untuk hidup harmonis. Itulah inti dari agama kami, dan itu yang terus kami jaga." Tiwi seolah ingin mengatakan, bahwa meskipun ada pengaruh luar, inti ajaran asli Dayak yang berhubungan dengan alam, dengan leluhur, dan dengan keseimbangan hidup tetap tak tergoyahkan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Lalu, ia menunjukkan sebuah kitab yang hampir usang, Panaturan, yang menjadi salah satu dokumen penting dalam tradisi Kaharingan. "Kitab ini bukanlah sesuatu yang menggantikan hidup, melainkan sebuah peta. Peta untuk menavigasi kehidupan, untuk mengenang dan mengingatkan kami tentang ajaran-ajaran leluhur," jelas Tiwi sambil memegang kitab itu dengan lembut. Di dalamnya, tertulis berbagai petunjuk spiritual yang menghubungkan umat Kaharingan dengan alam dan leluhur mereka. Panaturan adalah simbol dari bagaimana agama ini tetap hidup dan berkembang, bahkan dalam bentuk yang lebih modern.
"Kitab ini bukan hanya untuk membaca, tetapi untuk menghidupkan kembali hubungan kami dengan alam," tambah Tiwi. “Ia adalah alat untuk mengingatkan kami bahwa hidup tidak hanya berputar di sekitar diri kita sendiri, tetapi juga bagaimana kita terhubung dengan segala sesuatu yang lebih besar. Kami tidak hanya mendengarkan, kami merasakannya. Alam ini berbicara dengan cara yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang.”
Di luar, suara burung enggang yang berterbangan menyelingi percakapan kami, seolah menyuarakan persetujuan terhadap apa yang baru saja diungkapkan. Suasana di sekitar kami begitu damai, dan aku merasakan keselarasan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah simfoni alam yang harmonis. Aku teringat bahwa saat-saat seperti ini jarang terjadi di kehidupan modern yang sibuk, penuh dengan kecemasan dan ketergesaan.
Tiwi melanjutkan ceritanya, berbicara tentang bagaimana agama asli (autohton) Dayak memberikan kontribusi besar terhadap kesadaran ekologis dan spiritual dalam menghadapi tantangan zaman modern. “Agama kami bukan hanya sekadar warisan sejarah. Ia adalah sistem nilai yang relevan dalam kehidupan sekarang. Kami mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan, keharmonisan, dan penghormatan terhadap alam dan leluhur. Ini adalah nilai-nilai yang sangat penting di tengah dunia yang semakin global dan terhubung. Agama kami mengajarkan untuk tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masa depan generasi yang akan datang.”
Baca Ngayau (1)
Di tengah krisis iklim yang semakin mendalam dan kerusakan lingkungan yang semakin parah, Tiwi menegaskan bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama Kaharingan memberikan inspirasi yang sangat dibutuhkan. “Kami sudah diajarkan sejak lama untuk menjaga keseimbangan alam. Kami tahu bahwa manusia tidak bisa hidup terpisah dari alam. Keseimbangan itu harus dijaga, agar kehidupan terus berlanjut.”
Prof. Tiwi Etika kemudian merenung sejenak, seakan menyadari betapa pentingnya agama asli ini bagi keberlanjutan kehidupan umat manusia.
“Kami tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa depan,” ujarnya. “Agama kami mengajarkan tentang hubungan yang lebih dalam dengan bumi, dengan sesama, dan dengan diri sendiri. Inilah ajaran yang bisa menjadi dasar bagi masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.”
Aku terdiam. Kata-kata Tiwi menyentuh jantungku. Di dunia yang semakin terfragmentasi ini, di mana kebudayaan dan agama sering kali dilupakan atau disederhanakan, agama asli Dayak menawarkan sebuah cara untuk mengingatkan kita akan yang lebih besar dari sekadar diri kita sendiri. Sebuah cara untuk memandang hidup dari perspektif yang lebih luas—bahwa manusia adalah bagian dari suatu jaringan kehidupan yang lebih besar, yang harus dijaga dan dihormati.
Baca Narasi Dayak: Dari Outsider’s View ke Dayak-Led Storytelling
Ketika aku berdiri meninggalkan balai basarah itu, dengan langit yang semakin memerah, aku merasa seperti membawa sebuah pesan dari masa lalu. Pesan yang berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan, tentang menjaga hubungan dengan alam dan leluhur, serta tentang bagaimana kita sebagai manusia seharusnya hidup dengan penuh rasa hormat dan kesadaran akan keterkaitan kita dengan segala yang ada. Itu adalah warisan berharga yang tak bisa dilupakan, dan yang harus diteruskan untuk generasi mendatang.
***
Kaharingan, agama asli (autohton) Dayak, bukan hanya sekadar sejarah atau budaya. Ia adalah prinsip hidup yang masih sangat relevan di dunia modern yang terus berkembang.
Dalam tradisi ini, kita bisa menemukan sebuah cara untuk hidup lebih harmonis dengan alam dan dengan diri kita sendiri. Sebuah pelajaran yang sangat dibutuhkan di tengah dunia yang semakin terhubung dan penuh dengan tantangan besar. Seperti yang diajarkan oleh para leluhur, kita adalah bagian dari semesta, dan tugas kita adalah menjaga keseimbangan yang ada.
Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo
Mungkin kita sudah melupakan beberapa ajaran itu, atau mungkin kita hanya membutuhkan waktu untuk mendengarkannya kembali. Tetapi satu hal yang pasti: dunia membutuhkan lebih banyak agama seperti ini: agama yang mengajarkan tentang harmoni, keharmonisan, dan kelestarian, yang tidak hanya berbicara tentang hari ini, tetapi juga tentang masa depan.
-- Masri Sareb Putra