Tahap V Pemilihan Paus | Pembagian Ballot (Surat Suara) dalam Sunyi

kardinal, paus, konklaf, surat suara, ballot, eligo, in summum Pontificem, saya memilih, Kapel Sistina, Roh Kudus, red biretta

Tata-cara pemilihan paus oleh para kardinal, ternyata cukup rigit, namun terukur.
Tata-cara pemilihan paus oleh para kardinal, ternyata cukup rigit, namun terukur. Visualisasi AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Pada tangan para pengena jubah merah dan red biretta. Secarik kertas suara yang tak lebih besar dari telapak. Bukan keramat, namun sunguh mengikat langit dan bumi. Seperti kunci yang membuka pintu demarkasi antara surga dan dunia.

Di atasnya tertera tulisan: Eligo in summum Pontificem.

Mereka melangkah perlahan. Tak tergesa, tak terguncang, seperti tahu bahwa waktu tak bisa dikejar dan juga tak bisa dipaksa. 

Baca Tahap IV Pemilihan Paus | Promitto, Voveo ac Iuro - Sumpah Kardinal Mengikat Langit dan Bumi

Aku memilih sebagai Paus Tertinggi.

Kalimat itu tak panjang. Tapi barangkali lebih berat dari seribu manifesto. Sebab pilihan itu tidak datang dari kalkulasi, tidak pula dari dorongan popularitas. Ia datang dari tempat yang lebih dalam dari nalar: suara hati yang telah dibakar lama oleh doa, laku-tapa, kesetiaan serta kesepian yang tak terlihat oleh kamera.

Para kardinal berjalan menuju altar. Bukan sekadar altar tempat roti dan anggur diangkat menjadi tubuh dan darah Kristus. Tapi altar tempat sejarah dipertaruhkan dalam bentuk satu keputusan yang tak akan bisa ditarik kembali.

Di sana, di bawah lukisan Pengadilan Terakhir yang melingkupi langit-langit Kapel Sistina, mereka berlutut. 

Sebagian dengan tubuh ringkih, sebagian dengan pikiran yang barangkali masih berdebat diam-diam. Namun semua tunduk pada satu yang tak terlihat, tapi mereka tahu hadir: kekudusan panggilan.

Lalu sumpah itu dilafalkan dengan suara tidak lantang, tapi justru menggema dalam sunyi:

“Testor Christum Dominum, qui me iudicaturus est, me eligere quem secundum Deum iudico eligi debere.”

Aku memanggil Kristus Tuhan sebagai saksi, yang akan mengadili aku, bahwa aku memilih orang yang, menurut keyakinanku di hadapan Allah, seharusnya dipilih.”

Tapi benarkah sumpah ini untuk Tuhan?
Tuhan tak butuh dikonfirmasi. Ia, jika percaya kita, sudah membaca niat sebelum bibir bergerak.

Baca Kardinal

Sumpah itu, sesungguhnya, ditujukan bagi manusia yang kerapkali tidak percaya. Untuk sesama tak ubahnya Thomas. Untuk sejarah. Ia adalah deklarasi kepada dunia bahwa dalam ruang tertutup itu, manusia sedang berusaha jujur, meskipun tahu bahwa kejujuran tak selalu menang.

Bagi surga, sumpah itu sudah lebih dulu ditulis—bukan dengan pena, tapi di hati nurani. 

Di ruang batin para pemilih yang mengenakan jubah merah dan biretta seperti kobaran kecil di atas kepala. Ia tidak diumumkan, tapi dikenal. Tidak ditandatangani, tapi dicatat di tempat paling sunyi di dalam diri mereka.

Di sinilah konklaf jadi berbeda dari pemilihan mana pun. 

Tidak ada poster. Tidak ada pengeras suara. Hanya suara hati yang dilatih lama, kadang dengan luka, kadang dengan kehilangan. 

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Dan di tengah semua itu, ada keyakinan yang rapuh tapi teguh: bahwa Roh Kudus bekerja. Meski diam, meski tidak selalu seperti yang kita harapkan.

Maka ketika satu per satu suara dijatuhkan ke dalam calice (piala). Tak ada tepuk tangan. Tak ada sorak sorai. Hanya doa yang berbisik di antara langkah yang menjauh dari altar. Hanya harap bahwa dari suara-suara itu, lahir satu panggilan yang tak bisa ditolak: seorang Paus.

Dan ketika akhirnya pintu dibuka dan nama diumumkan, dunia mungkin melihat putih jubahnya. Tapi hanya mereka yang pernah bersumpah dalam sunyi itulah yang tahu. Bahwa pilihan itu bukan sekadar pilihan, melainkan amanat yang datang dari tempat yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dijalani.

Jakarta, 3 Mei 2025

LihatTutupKomentar