Tahap IV Pemilihan Paus | Promitto, Voveo ac Iuro - Sumpah Kardinal Mengikat Langit dan Bumi
Konklaf didahului dengan Sumpah
Sumpah itu sendiri adalah kejujuran yang diucapkan, diikat, agar didengar bukan pertama-tama oleh hadirin, tetapi oleh hati nurani. Sebab, bagi orang Katolik, suara hati nurani adalah “suara Tuhan”—vox Dei—jauh hari sebelum manusia mengenal voting, pemungutan suara. Vox populi, vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, pernah terdengar sebagai gema keyakinan, tapi tak pernah berarti bahwa Tuhan adalah mayoritas.
Baca Papabili
Di ruang Konklaf, suara satu orang tak mengalahkan suara satu hati nurani.
Kain, konon, membunuh Habel, adiknya. Suara nurani terus mengganggunya, Kain terus-menerus dihantui perasaan bersalah, dan merasa dikejar-kejar. Suara hati nurani itu lebih kuat dari seribu suara lantang.
Baca "Extra Omnes - Semua Keluar!" dari Kapel Sistina yang Tinggal hanya Kardinal
Para kardinal dilarang mengubah tata cara pemilihan. Mereka boleh membahasnya, namun hanya seperti seorang anak membahas struktur langit—tak bisa menyentuh, apalagi mengutak-atik. Di tengah dunia yang riuh oleh improvisasi, Konklaf tetap hidup dalam disiplin.
Memilih 9 fasilitator
Kemudian, mereka memilih sembilan orang dari antara mereka sendiri. Sembilan fasilitator. Ini bukan demokrasi liberal yang kita kenal. Tapi ada sesuatu yang menyerupainya. Sebuah pengakuan bahwa kekuasaan tak datang dari satu kepala, melainkan dari sebuah persekutuan.
Suara pun diberikan. Satu per satu, diam-diam. Surat suara dilipat, dibawa ke depan, dan dimasukkan ke dalam sebuah wadah. Sebuah tangan gemetar, mungkin.
Saya bayangkan ilustrasi itu: tangan seorang manusia tua—gemetar oleh usia atau gentar oleh iman— menyelipkan secarik kertas. Di kertas itu mungkin hanya ada satu nama. Bukan nama diri-sendiri. Tapi nama itu bisa mengubah sejarah Gereja Katolik. Bisa juga tidak.
Satu nama yang mengubah sejarah
Sumpah para kardinal mengikat. Dan lihatlah setelah satu di antara mereka terpilih dengan suara 2/3 menjadi paus. Betapa taat dan setia para kardinal kepada orang yang telah ia pilih. Tak ada keraguan, tak ada protes.
Di depan haribaan Tuhan dan sejarah. Sumpah itu menuntut kesetiaan yang tak bisa dibantah, sebuah pengakuan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga dan dihormati, bahkan setelah keputusan itu diambil.
Di luar kapel itu, dunia menunggu. Dunia yang biasa menertawakan upacara dan lambang. Dunia yang lupa bahwa ada ritual yang dibangun bukan untuk mempertahankan masa lalu, tapi untuk menjaga agar masa depan tak runtuh dalam kebisingan.
Dan di dalam kapel Sistine. Sumpah pun masih bergema. Ia bukan semata-mata janji kepada sesama, bukan kepada aturan, bukan pula kepada Gereja sebagai institusi.
Tapi janji itu kepada satu suara yang paling sunyi dan paling jujur: hati nurani. Yang pada akhirnya, bagi mereka yang percaya, adalah suara Tuhan sendiri.