Papabili

Paus Fransiskus, Angelo Bagnasco, Robert Sarah, Peter Erdo, Willem Eijk, Zuppi, Tagle, Italia, Peter Erdo, Willem Eijk, Roma, Gereja, Katolik,

 

Papabili
Cardinal papabili - calon-kuat Paus. Visualisasi by AI.

Oleh Masri Sareb Putra

Jauh sebelum Paus Fransiskus wafat, 21 April 2025, media dan para pengamat mulai bertanya—dan juga menganalisis: siapa penggantinya kelak? Bahkan Tempo ikut-ikutan menebak. 

Jago Tempo: Kardinal Tagle, pria tampan rupawan dari Filipina. Masalahnya: tradisi belum pernah memberi tahta itu kepada siapa pun dari Asia atau Afrika. Terbanyak dari Italia, sesedikit dari Eropa Utara, dan segelintir dari Amerika Latin. Lalu siapa?

Aturan bahwa kardinal berusia 80 tahun ke atas tidak memiliki hak memilih Paus ditetapkan oleh Paus Paulus VI melalui Motu Proprio Ingravescentem Aetatem pada 21 November 1970, dan ditegaskan kembali oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis (22 Februari 1996), yang menyatakan bahwa kardinal yang telah berusia 80 tahun sebelum hari kekosongan Takhta Apostolik tidak berhak mengikuti pemilihan Paus.

Siapa cardinal elector? Siapa saja cardinal papabile? Pertanyaan, yang lebih merupakan "rahasia illahi" bersliweran di mana-mana sebelum cerobong kapel Sistina mengepulkan asap putih.

Di Vatikan sebagai jantung Roma menjelang konklaf, kota itu seperti menahan napas. Tak ada gempa, tapi lantai-lantai batu di Basilika Santo Petrus terasa bergetar oleh sesuatu yang tidak kasat mata: doa, harap, dan ragu. Orang-orang menatap cerobong asap seperti menatap langit dalam kekeringan yang panjang. Mereka menunggu warna. Hitam atau tanda dari Santo Petrus, si pemegang Kunci Kerajaan Surga.

Dan sebelum asap itu keluar dari cerobong orang mulai menyebut nama. Nama-nama yang dibisikkan dalam bahasa Latin yang telah lama menjadi gaung, bukan bahasa. Mereka disebut papabili—mereka yang mungkin jadi Paus. Tapi, seperti semua kemungkinan, papabili adalah sebuah teka-teki: bisa sangat dekat, bisa sangat jauh.

Saya membayangkan mereka berdiri dalam keheningan Kapel Sistina, dindingnya dipenuhi langit Michelangelo, langit yang tak memberi jawaban. Masing-masing membawa sejarah: entah Eropa yang tua, Asia yang merunduk, Afrika yang gelap, atau Amerika Latin yang luka. Mereka membawa bukan hanya iman, tapi juga kecemasan. Gereja kini bukan lagi pusat dunia. Ia berada dalam pusaran yang nyaris dilupakan dunia: antara skandal, kekosongan, dan panggilan untuk menjadi suara terakhir bagi nurani.

Cardinal Angelo Bagnasco tampak seperti reruntuhan basilika kuno—indah, tegar, tak tergeser waktu. Baginya, imamat adalah sakral bukan karena manusia, tapi karena misteri yang tak terjamah. Maka perempuan di altar adalah keganjilan. Celibacy adalah janji, bukan beban. Ekaristi adalah sunyi, bukan festival.

Robert Sarah: sepi, gelap, dan tetap percaya. Ia berdiri bukan melawan zaman, tapi menyingkirkannya. Liturgi adalah ruang untuk menolak modernitas, bukan merayakannya. Ia seperti malam panjang Afrika yang tak butuh cahaya selain bintang.

Malcolm Ranjith adalah lonceng dari timur, yang berbunyi seperti di abad ke-13. Ia ingin misa kembali berbisik dalam bahasa Latin, agar manusia mengerti bahwa Tuhan bukan sekadar sahabat, tapi juga misteri yang tak perlu dijelaskan.

Peter Erdo dan Willem Eijk adalah dua pilar hukum dan teologi. Mereka seperti menara kembar Gereja yang tetap ingin tinggi meski dunia mulai lebih suka rumah datar dan terbuka. Dalam diri mereka, tradisi adalah kekuatan yang tidak perlu dikompromikan.

Namun, di sisi lain ruangan, suara-suara lain mulai terdengar.

Zuppi adalah jalan-jalan Roma yang ramah. Ia menyapa pengemis, memeluk yang tercerai. Sosial adalah sakramen, dan iman tak harus selalu diam di gereja. Matteo, seperti Fransiskus dari Assisi, percaya bahwa mencintai dunia bukan dosa.

Tagle adalah wajah Asia—ramah, lembut, tapi kuat dalam diam. Ia seperti jembatan bambu di atas sungai deras: lentur, tapi tak patah. Ia tidak menolak tradisi, tapi menghidupkannya di mata anak jalanan dan korban perang.

Parolin adalah diplomat. Bukan karena licin, tapi karena dunia terlalu retak untuk dibagi hitam-putih. Ia lebih suka percakapan panjang daripada kutukan pendek. Dalam dirinya, Vatikan tampak seperti ruang rapat PBB—dengan lilin dan salib.

Pizzaballa membawa Yerusalem dalam suara dan langkahnya. Ia tahu bahwa iman dan politik sering berdansa dalam debu. Ia berdiri di antara konservatif dan progresif seperti imam yang berdiri di antara dua altar—barat dan timur.

Arborelius, Bo, dan Aveline berbicara dalam bahasa yang pelan. Ekumenis, kata mereka. Manusia, kata mereka lagi. Dalam dunia yang saling mencurigai, mereka memilih untuk menyapa. Mereka adalah doa yang mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana menjadi Katolik di dunia yang plural?

Di bawah langit Kapel Sistina, suara akan dipungut. Satu di antara mereka akan mewarisi tempat duduk Santo Petrus, si pemegang Kunci Kerajaan Surga. Tapi seperti yang pernah ditulis Goenawan Mohamad, kadang keputusan besar lahir dari keraguan paling hening. Mungkin bukan tentang siapa yang benar. Tapi siapa yang paling bisa membawa Gereja menyembuhkan dunia yang sedang sekarat.

Dan kita semua, entah konservatif atau progresif, hanya menunggu asap. Sambil berharap, yang terpilih bukan hanya punya iman—tapi juga belarasa. ) 

Catatan kaki:

  • Papabile adalah istilah dalam bahasa Italia yang berarti "layak menjadi Paus" atau "berpeluang terpilih sebagai Paus." Kata ini berasal dari kata kerja Latin papa (Paus) dan sufiks -bile (layak).

  • Papabile adalah bentuk tunggal.

  • Bentuk jamaknya adalah papabili.

Contoh penggunaan

Tunggal: Kardinal X dianggap layak menjadi Paus dalam konklaf berikutnya.

Jamak: Beberapa kardinal dianggap layak menjadi Paus kali ini.


*) Penulis pernah seminggu di Vatikan (1997), penulis buku Iman & Akal Paus Benedictus XVI (Nusa Indah, 2005), dan anggota Ratzinger's Fans Club.


LihatTutupKomentar