The Two Popes
Paus Benediktus (kanan, jubah putih) dan dan Kardinal Bergoglio. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: The Two Popes bukan tentang doktrin, bukan pula tentang politik Vatikan yang tak habis-habisnya penuh intrik dan skandal.
Film ini menggambarkan dua orang tua yang saling mendengar. Dua orang yang tak sepakat—dan justru karena itu, mereka bertemu.
Ada suatu percakapan yang tak hendak meyakinkan, tak hendak mematahkan. Sebuah percakapan yang berjalan pelan, dalam dan diam-diam menusuk.
Baca Camerlengo
Saya menonton film ini bukan sebagai seorang umat, bukan pula sebagai seorang pengamat agama. Saya menontonnya sebagai manusia yang, seperti Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio, telah lama hidup dalam sejarah yang membentuk dan membebani.
Kita pertama kali melihat Bergoglio —yang kemudian akan menjadi Paus Fransiskus— di Buenos Aires, berjalan menyapa umatnya, hidup di tengah-tengah rakyat kecil, berbicara dengan bahasa yang akrab dan tubuh yang ringan. Sementara itu, di Roma, Paus Benediktus berada dalam kesunyian istana Vatikan, menjaga tradisi, menjaga tembok-tembok yang telah dibangun selama berabad-abad.
Pertemuan di Castel Gandolfo
Pertemuan mereka di Castel Gandolfo bukan hanya pertemuan dua tokoh Gereja, tapi dua dunia: satu yang percaya akan kekuatan ritus dan keheningan liturgi, satu lagi yang percaya bahwa Tuhan bisa hadir dalam hiruk-pikuk pasar dan tawa anak-anak jalanan.
Dan kemudian mereka berbicara.
Tentang dosa. Tentang kegagalan Gereja melindungi anak-anak dari predator. Tentang sejarah pribadi —Bergoglio yang pernah bungkam di masa kediktatoran militer Argentina. Benediktus yang merasa tak lagi bisa mendengar suara Tuhan.
Baca In Pectore
Satu adegan, yang barangkali tampak sepele, justru menyentuh saya paling dalam: dua paus menonton pertandingan sepak bola bersama. Saling ejek, saling tertawa. Di sana, otoritas runtuh. Yang tinggal hanyalah manusia, dan persahabatan. Dan mungkin—seperti yang dikatakan Dostoevsky—dalam tawa, Tuhan diam-diam tersenyum.
Film ini tidak memberi jawaban. Ia memberi ruang. Di antara dua paus itu, tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. Yang ada hanyalah saling pengertian, yang lahir bukan dari persamaan pandangan, tetapi dari keberanian untuk mendengarkan.
Infailibilitas Paus dan kerendahan hati
Saya pikir, di zaman ketika kita begitu mudah menghakimi, memutus, dan meninggalkan siapa pun yang berbeda, The Two Popes adalah pelajaran langka. Bahwa memahami bukanlah membenarkan. Bahwa perubahan bukan pengkhianatan.
Dan bahwa bahkan seorang Paus, yang oleh dogma Gereja Katolik diyakini tak bersalah (infailibilitas), bisa berkata: “Saya juga manusia. Saya juga pernah salah.”
Dalam sebuah dunia yang semakin terpecah oleh ragam tafsir dan godaan relativisme, Gereja Katolik—lewat Konsili Vatikan I pada tahun 1870—mengukuhkan sesuatu yang nyaris paradoksal: infailibilitas Paus.
Sepatah kata yang dalam gemanya terdengar menggetarkan: tak bisa bersalah. Tapi jangan terburu memahaminya sebagai kuasa mutlak yang tak berbatas. Infailibilitas, dalam rumusan konstitusi dogmatis Pastor Aeternus, bukan soal pribadi Paus yang suci tanpa cela, bukan pula jaminan moral dari seorang manusia di singgasana putih. Ia adalah soal ex cathedra—suara dari Tahta Petrus—yang hanya sahih saat berbicara sebagai gembala seluruh umat, dalam hal iman dan moral, bukan dalam komentar politik atau renungan harian yang disampaikan dari balkon Vatikan.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Yang dideklarasikan Gereja adalah bahwa, pada saat-saat langka, ketika Paus menyampaikan suatu kebenaran yang harus dipegang seluruh Gereja, maka suara itu tidak keliru. Tapi bukankah itu menakutkan? Bahwa seorang manusia bisa berkata, atas nama Tuhan, tanpa peluang keliru? Tapi mungkin bukan itu yang ingin ditekankan. Mungkin, seperti dalam drama antara Benediktus XVI dan Fransiskus—dua tokoh dalam film The Two Popes—kita justru diingatkan bahwa kekuasaan spiritual terbesar adalah saat ia tahu kapan untuk diam, dan kapan untuk mendengarkan suara yang lain.
Sebab bahkan Paus —dalam infailibilitasnya— masih harus memeluk kemungkinan bahwa kebenaran itu, meski dinyatakan dari singgasana tertinggi, tetap berasal dari sumber yang lebih tinggi lagi: misteri yang tak bisa dikurung oleh dogma.
Ada kekuatan dalam pengakuan. Ada keindahan dalam keheningan.
Mungkin itulah yang ingin dikatakan film ini: bahwa Tuhan, jika Ia ada, tidak selalu hadir dalam kebesaran dogma. Ia bisa hadir dalam dialog yang jujur, dalam mata yang menatap tanpa menghakimi, dalam jeda yang kita beri kepada orang lain untuk bernapas, berbicara, dan didengarkan.
Di antara dua paus itu, saya tak melihat dua pemimpin. Saya melihat dua sunyi yang saling memberi gema.
Dan di sanalah, saya kira, iman dilahirkan kembali.
Jakarta, 23 April 2025