Camerlengo
Camerlengo Kevin Joseph Farrell. Kredit gambar: CNA. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Paus Fransiskus wafat dalam hening pagi Senin, 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Roma.
Udara musim semi menyelimuti Vatikan, saat Sang Uskup Roma mengembuskan napas terakhirnya di Casa Santa Marta. Suatu domus, kediaman sederhana yang dipilihnya sejak awal, menjauh dari gemerlap Istana Apostolik.
Baca Membangun Indonesia Bukan dari Pinggiran
Dunia seakan menahan napas, sementara satu suara berhenti. Suara yang selama lebih dari satu dekade berbicara tentang belarasa, luka dunia, dan Tuhan yang merunduk menyentuh debu manusia.
Sebilah pintu ditutup perlahan di Vatikan. Seorang pria tua. Yang bertahun-tahun berbicara dalam nama kasih, diam dalam kekal. Paus Fransiskus telah wafat.
Tak ada lonceng berdentang. Tak ada suara megah orkestra. Yang terdengar hanya bisik angin menyusuri pilar-pilar Basilika. Dan dari dalam Kapel Santa Marta, sosok berjubah hitam melangkah. Bukan seorang Paus. Bukan pula nabi.
Ia adalah: Camerlengo.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Sang Camerlengo mengetuk dahi Paus yang telah tiada, tiga kali, dengan palu kecil dari perak. Mungkin seperti mengetuk pintu surga. Mungkin juga hanya untuk memastikan pada dunia: bahwa sang gembala besar benar-benar telah pergi.
Dan dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia mengucapkan, “Sanctitas Pater… Sanctitas Pater… Sanctitas Pater.”
Tidak ada jawaban.
Sejak hari itu.
Kekuasaan tak lagi berbicara dengan suara megah. Ia hanya berdesir. Dan nama yang tak banyak dikenal orang—Camerlengo—tiba-tiba menjadi penentu sejarah. Dalam keheningan, dialah yang mengumumkan: Paus Fransiskus wafat.
Baca Papabili
Dan dua hari setelahnya, 23 April, ketika matahari menyelinap pelan di langit Italia, dan waktu di Indonesia melewati tengah hari, ia kembali berdiri.
Kali ini Camerlengo memimpin prosesi yang membuat dunia Katolik menggigil: pemindahan jenazah Paus dari Kapel Santa Marta ke Basilika. Tubuh Paus dibaringkan di atas tandu, lilin menyala, doa bergema—dan Camerlengo berjalan paling depan. Tak ada teriakan. Hanya gema langkah sepatu dan gema kekosongan takhta.
Ia juga yang menghancurkan Cincin Nelayan Paus. Dengan satu pukulan kecil, satu zaman runtuh.
Dengan pecahan logam itu, sebuah kekuasaan dihapus. Apartemen Paus disegel. Kunci diputar. Waktu berhenti.
Sede Vacante
Dalam Sede Vacante—saat takhta kosong—dialah yang menjadi jantung dari Gereja Katolik. Bukan untuk memimpin, tapi untuk menjaga denyut agar tetap berdetak. Tak ada aura keagungan yang keras kepala. Yang tersisa hanya sebuah keheningan suci, yang membuat dada para Kardinal terasa sempit.
Kevin Joseph Farrell, nama pria itu. Ia tak berdiri di balkon menyapa umat. Ia berjalan di lorong-lorong gelap kekuasaan yang baru saja ditinggal penghuninya. Ia tidak dipuja, tapi perannya bagaikan bayangan malam yang menentukan arah fajar.
Baca PASKAH | Saya dan Jokpin dengan Celana-nya yang Lucu
Kita hidup dalam zaman penuh cahaya artifisial. Tapi ada waktu-waktu di mana satu lilin saja terasa cukup.
Dan saat lilin itu dinyalakan di tengah ruang gelap bernama transisi kepemimpinan, maka tangan yang menggenggamnya adalah tangan Camerlengo.
Mengetuk dahi paus
Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang membuat kita menunduk. Merenung. Dan untuk sejenak—tak peduli apa agama kita—kita merasa ngeri akan betapa besar dan sunyinya makna kepergian.
Karena pada akhirnya, yang paling sunyi bukanlah malam,
melainkan saat satu jiwa agung meninggalkan dunia.
Dan satu pria berkebangsaan Irlandia mengetuk dahi sang Paus.
Tetapi tidak ada yang menjawab.
Jakarta, 23 April 2025