Membangun Indonesia Bukan dari Pinggiran
Membangun Indonesia bukan dari pinggiran dalam faktany. Ilustrasi by AI.
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Saya ingat sebuah slogan yang terus diulang-ulang sejak lebih dari satu dasawarsa lalu: Membangun Indonesia dari Pinggiran.
Terdengar heroik. Seolah Indonesia benar-benar hendak dibongkar ulang dari arah yang selama ini dilupakan: perbatasan, pulau terluar, desa-desa di hulu sungai yang dijemput matahari lebih awal dari Jakarta.
Jurang antara slogan dan kenyataan
Tapi kenyataan berlainan dengan slogan.
Kalimantan adalah contohnya yang paling sunyi.
Baca Kabinet tanpa Menyertakan Dayak : Perlu ada Partai Dayak (Lagi)
Di Kalimantan Barat saja, ada tujuh Pos Lintas Batas Negara (PLBN): Aruk, Entikong, Badau, Jagoi Babang, Nanga Badau, dan dua lainnya yang menganga dalam diam. Bangunan PLBN itu megah, gagah, bercat putih mengilap seperti panggung. Tapi panggung ini kosong.
Di balik gerbangnya, jalan poros utama menganga seperti luka yang tak pernah diobati. Aspal pecah. Kubangan air membusuk. Mobil pengangkut barang dari Malaysia harus berdoa sebelum melintasi jalan yang tak layak disebut jalan.
Ini bukan cerita satu atau dua desa. Ini wajah umum perbatasan yang kita klaim sebagai “teras depan republik”.
Baca Grace Lukas dan Perjuangan Sertifikat Lahan dan Rumah Warga di Kabupaten Sekadau
Jalan lingkar Krayan yang diam
Saya pernah ke Krayan, di Kalimantan Utara. Daerah tinggi yang harusnya diberkati karena tanahnya subur dan masyarakatnya bersahaja.
Tapi Jalan Lingkar Krayan adalah jalan lumpur. Tanpa eufemisme. Lumpur sesungguhnya. Orang harus berjalan kaki berjam-jam atau sewa motor trail mahal hanya untuk menempuh jarak yang di Jawa bisa dicapai dalam 15 menit.
Harga bahan pokok? Satu liter bensin bisa Rp 60.000. Gula? Lebih manis air mata ibu-ibu di desa.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Padahal dari tanah inilah miliaran rupiah kekayaan mengalir setiap hari. Batubara, gas, kayu, sawit. Kalimantan menyumbang gross domestic product yang besar, tapi penduduknya hidup di antara jalan rusak, sinyal telepon yang putus-nyambung, dan listrik yang lebih sering mati daripada menyala.
Ada ironi yang menyesakkan: pusat membangun dari hasil perasan pinggiran, tapi pinggiran dibiarkan hancur pelan-pelan.
Mengapa bisa begitu?
Barangkali karena Kalimantan tidak pernah benar-benar dihitung. Ia hanya dikunjungi dalam pidato dan rencana.
Pembangunan sebagai proyek visual
Pembangunan lebih sering menjadi proyek visual: asal ada tugu, jembatan gantung, atau pos perbatasan yang terlihat rapi dari udara drone, maka dianggap tuntas. Padahal jalan desa amblas, sekolah kekurangan guru, dan rumah sakit tak punya dokter.
Sejak dulu, pembangunan kita selalu bersifat Jawa-sentris. Tak mudah mengakui itu, tapi statistik berkata demikian.
Lihat saja sebaran infrastruktur strategis: bandara, pelabuhan, jalan tol, kawasan industri, semuanya menumpuk di Jawa dan Bali.
Kalimantan? Sekadar ladang panen tanpa irigasi.
Baca Ngayau (1)
Saya kadang membayangkan bagaimana seandainya pembangunan benar-benar dimulai dari pinggiran. Bukan sekadar slogannya. Bukan sekadar pencitraan untuk konsumsi politik. Tapi niat sungguh-sungguh untuk merawat yang jauh, agar merasa dekat.
Tapi saya juga sadar, slogan terlalu sering lahir dari ambisi, bukan empati. “Membangun dari pinggiran” menjadi retorika kosong, sementara pinggiran terus diseret lebih ke tepi.
Dan yang di tengah terus bersolek, merasa telah adil padahal hanya membagi remah.
Suatu hari nanti, pusat akan sadar bahwa pinggiran bukan beban. Tapi saat itu, barangkali, sudah terlalu terlambat.
Karena jalan-jalan trans Kalimantan telah menjadi sungai lumpur. Karena desa-desa di pedalaman sudah ditinggalkan. Karena generasi muda sudah migrasi ke kota, membawa harapannya menjauh dari kampung halamannya sendiri.
Dan ketika pusat kehilangan pinggirannya, yang tinggal hanyalah kekosongan yang tak bisa lagi diisi oleh janji-janji.
Baca Dayak yang Salah Satu Watak Dasarnya Mudah Percaya pada Orang
Saya bukan ingin mengutuk. Saya hanya ingin mengingatkan: republik ini terlalu luas untuk dibangun dari satu arah saja. Dan Kalimantan terlalu berharga untuk terus diperlakukan seperti ladang kolonial yang baru.
Pembangunan sejati tidak dimulai dari beton dan baja. Tapi dari rasa hormat. Dari pengakuan bahwa di tempat-tempat paling jauh itulah, Indonesia seharusnya tumbuh paling kuat.
-- Rangkaya Bada