Warga Kalimantan yang Setia dan tak Menuntut di Panggung Dunia
Warga Kalimantan yang setia dan tak banyak menuntut by AI.
🌍 DAYAK TODAY | SEKADAU: Di atas peta republik, Kalimantan berbaring panjang. Ia tak berkeluh, tak menuntut. Ia memanggul hutan hujan purba, sungai yang mengalirkan hidup, dan perut bumi yang tak pernah kenyang.
Sejak proklamasi, warga Kalimantan setia: menyerahkan nadi kayunya, batubara hitamnya, sawitnya yang mengkilap di bawah matahari tropis.
Setia, hingga nama Kalimantan bagai bisu di kamar kabinet. Suaranya tenggelam dalam simfoni pusat yang berpusar di Jawa.
Baca Kabinet tanpa Menyertakan Dayak : Perlu ada Partai Dayak (Lagi)
Sebagian besar wilayah Kalimantan masih seperti era sebelum merdeka. Jangankan pejabat negara. Camat saja tak pernah menginjakkan kaki di sana.
Kalimantan yang diam tak bersuara
Kalimantan memang bukan Aceh dan Papua. Dua daerah itu meneguk bara sejarah dengan berani: menuntut haknya di panggung dunia dengan suara yang gemuruh, menuntut otonomi, menuntut keadilan. Mereka meretas sunyi dengan teriakan yang menembus tembok pusat, mengguncang kesadaran kolektif bangsa. Kalimantan? Ia memilih cara lain: diam.
Baca Tokoh Dayak dalam Posisi Ormas: Pengamatan Sekilas
Diamnya bukan karena tak ada derita, melainkan karena kepercayaan pada kesetiaan yang sudah berakar puluhan generasi. Namun, kesetiaan yang tak bersuara mudah menjadi penjara sunyi—suara-suara kecil terbenam di aliran sungai, teredam di kegelapan hutan yang ditebangi.
Tetapi, diam yang tidak disalurkan adalah benih bahaya. Ia menumpuk di dasar jiwa kolektif, mengental menjadi kekecewaan yang bisa meletup kapan saja.
Diam Kalimantan adalah diam yang mengamati, mencatat, dan menyimpan luka—lalu menunggu satu percikan untuk berubah jadi puisi perlawanan. Sebab, seperti kata Goenawan, “puisi adalah bentuk diam yang menuntut keadilan tanpa suara gaduh.”
Diam yang tidak bersuara bukan kedamaian, melainkan diam yang haus balas jasa. Diam yang menanti waktu untuk mengubah bisu menjadi gema.
Baca Membangun Indonesia Bukan dari Pinggiran
Kita sama-sama mafhum bahwa Aceh dan Papua pernah meneguk bara: konflik, luka, darah. Mereka memukul pintu dunia, menagih perhatian internasional, menebus damai dengan otonomi dan kursi menteri.
Kalimantan? Hanya menerima janji investasi. Janji yang merambat seperti ulat, menggerogoti akar.
Perusahaan sawit datang berbondong, tambang batubara merangkak ke perut tanah, dan di ujungnya masyarakat adat. Dayak, penjelajah rimba hanya menjadi pemain figuran, bahkan penonton, dalam rumahnya sendiri.
Baca Prof. Anhar Gonggong: Tak Satu pun Presiden Menjalankan Pancasila
Tapi apa nyatanya? Meski luas dan kaya, Kalimantan tetap tak kelihatan oleh Jakarta manakala pesta. Dicari ketika diperlukan—untuk devisa, untuk pertumbuhan—lalu dilupakan saat tidak dibutuhkan.
Sumber daya alam Kalimantan terasa nyaman bagi pusat: tanahnya dipetakan rapi dari kota, dari ruang-ruang ber-AC, jauh dari deru mesin pabrik dan tangis masyarakat adat.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Kini Ibu Kota Negara (IKN) dipindah ke tanah Borneo. Ironisnya, janji “tuang demokrasi” dan “tanam keadilan” di IKN lebih sering jadi retorika—seperti embun pagi yang cepat lenyap di bawah terik proyek infrastruktur. Masyarakat adat hanya menatap, tak diberi kursi keputusan, tak diundang menulis babak baru negeri sendiri.
Loyalitas tanpa upah, kata Goenawan Mohammad, adalah “kesetiaan yang dipaksa dalam senyap.”
Baca Ngayau (1)
Dan Kalimantan, selama puluhan tahun, diam—mengharap sebuah upah yang tak kunjung datang. Waktu untuk bicara telah tiba:
-
Politik yang Menjawab Rimba. Kalimantan tanpa wakil di tingkat kabinet—hanya pernah satu tokoh yang diangkat sebagai wakil menteri. Sudah waktunya bukan sekadar wakil, tetapi kursi strategis penuh kuasa bagi mereka yang memahami denyut nadi hutan dan sungai.
-
Anggaran Berdasar Sumbangsih. Jika Kalimantan menyumbang 30% devisa negara lewat sawit dan tambang, mestinya proporsi alokasi pembangunan mencerminkan angka itu—bukan sebaliknya.
-
Otonomi Kultural. Bukan otonomi retoris, tetapi ruang bagi masyarakat adat memelihara kearifan lokal: hukum adat, ritual, bahasa, dan cara hidup lestari.
-
Reformasi Agraria sebagai Napas Baru. Tanah ulayat bukan komoditas. Ia hak generasi lalu, kini, dan esok—tak boleh dipindah tangan tanpa persetujuan penuh masyarakat.
Dalam bisu Kalimantan, terdapat getar yang menunggu untuk menjadi puisi perlawanan. Sebab, seperti kata Goenawan, “puisi bukan semata kata indah; ia adalah cara menuntut keadilan yang tak bisa diadili.”
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Loyalitas tanpa upah bukan lagi sekadar ketidakadilan—ia adalah luka sejarah yang menunggu penyembuhan.
Mari dengarkan gema Kalimantan. Bukan sebagai provinsi penyuplai sumber daya, tetapi sebagai nadi yang harus diupah setimpal. Hanya dengan itu, republik ini benar-benar bisa bernafas lega.
-- Jelayan Kaki Kuta