Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Kalimantan
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Kalimantan yang belum terwujudkan. Ilustrasi: AI. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia dengan luas 743.330 kilometer persegi, banyak yang lebih luas daripada yang bisa dilihat mata. Juga yang lebih senyap daripada yang bisa didengar telinga.
Namun, nyatanya suara warga Kalimantan bagai mobil Isuzu Panther: nyaris tak terdengar!
Indonesia, negeri kepulauan yang katanya 73 persen tanahnya adalah hak waris dari mereka yang tak pernah belajar tentang hak waris. Di sini, orang-orang menyebutnya indigenous. Tapi sebutan, seperti juga plakat di museum, tak selalu berarti didengarkan.
Baca Membangun Indonesia Bukan dari Pinggiran
Sebab suara mereka—mereka yang membuka ladang tanpa surat tanah, yang menorehkan hidup di kulit pohon, yang mewariskan cerita lewat anyaman dan nyanyian—seringkali seperti suara mesin Isuzu Panther di pagi hari: parau, jauh, dan entah mengapa, tak pernah benar-benar tiba di telinga kekuasaan.
Barangkali karena mereka tak menuntut. Atau terlalu tahu diri. Atau barangkali, karena dalam sejarah yang dicatat orang kota, mereka tak pernah punya huruf kapital di depan nama.
Dan suara-suara itu terus berjalan. Seperti kabut. Seperti sungai yang berubah arah. Seperti bisik yang cuma bisa didengar mereka yang pernah kehilangan.
Suara rakyat Kalimantan sebenarnya tidak lenyap, tapi dipendam tanah. Ditelan hutan, diasingkan dari pusat kekuasaan yang jauh dan sibuk membangun sesuatu yang lain—entah untuk siapa.
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Kalimantan. Tanah ini kaya, tapi ia tak pernah cukup kaya untuk dirinya sendiri. Seperti pohon yang tumbuh tinggi hanya untuk ditebang, seperti emas yang digali hanya untuk mengisi perut orang yang tak pernah datang.
Di belantara Kalimanta yang masih sisa, ada suara-suara yang tidak pernah dipanggil untuk berbicara tentang nasibnya sendiri. Ada rumah panjang yang menjadi simbol kejayaan—sekarang difoto, dikagumi, dan ditinggalkan.
Baca Banjir, Jalan Rusak, Sembako Mahal: Derita Kalimantan yang Tak Pernah Sampai ke Telinga Jakarta
Aku teringat akan kalimat klasik dalam Pembukaan UUD 1945: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Tapi dalam realitas yang merambat perlahan ke pedalaman, adakah keadilan yang tidak tiba terlambat?
Ketergantungan Kalimantan pada transfer pusat
Ketergantungan Kalimantan pada transfer pusat bukan hanya urusan fiskal; ia adalah kisah pilu sebuah wilayah yang tak pernah diberi kewenangan untuk memutuskan arah hidupnya sendiri. Ia terus menunggu: dana infrastruktur, layanan kesehatan dasar, akses pendidikan, jalan yang tak lagi becek. Tapi tahun demi tahun, yang datang hanya janji. Di dalamnya, ketimpangan tumbuh diam-diam—seperti lumut di dinding gereja tua.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Pembangunan di negeri ini, kadang lebih seperti upacara: penuh simbol dan gema, tapi tak selalu menyentuh tanah yang diinjak rakyatnya. Kalimantan—yang pernah membakar pelita kemerdekaan lewat kayu dan karet—kini mesti bertanya: mengapa pusat terlalu sibuk untuk mengingat pinggiran?
Adakah keadilan ketika tanah-tanah Dayak digadai dengan harga murah? Adakah keadilan jika hutan yang diwarisi dari nenek moyang dijual atas nama investasi? Mereka yang lahir dan tumbuh di tanah ini perlahan dipinggirkan oleh sawit, tambang, dan program transmigrasi yang lebih sering mengatur ketimbang mendengarkan.
Siapa bicara
Lalu siapa yang bicara tentang kebudayaan? Siapa yang merawat ingatan?
Di Sekadau, di Sanggau, di Tapang Sambas: ada upaya menyambung benang yang hampir putus. Ada orang-orang kampung yang menyimpan ilmu dalam diam. Mereka tidak kuliah di universitas ternama, tapi mengerti cara menenun, mengenal makna tato bunga terong, dan tahu jam berapa burung berkicau sebelum hujan. Mereka adalah intelektual dalam bahasa yang tak tercatat di perpustakaan.
Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan
Sayangnya, negara belum juga cukup peka. Pembangunan kerap datang dengan peta yang buta sejarah. Lembah-lembah dijadikan titik koordinat. Sungai dijadikan batas administrasi. Yang hilang: ruh, ingatan, dan belarasa.
Kalimantan tidak minta dikasihani. Ia hanya ingin didengar. Ia ingin ruang untuk mengatur dirinya sendiri—dengan caranya sendiri. Otonomi bukan sekadar struktur hukum, tapi penghormatan terhadap kedaulatan lokal. Terhadap cara hidup yang lahir dari pengalaman, bukan dari teori pembangunan di balik meja.
Aku percaya, keadilan bukan sekadar distribusi. Ia adalah pengakuan. Bahwa manusia di Kalimantan bukan sekadar penerima bantuan, tapi pemilik sah masa depan. Mereka tidak perlu diberi tempat—karena mereka sudah punya tempat. Yang mereka perlukan adalah hak untuk menjaga dan mengatur tempat itu sendiri.
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Kalimantan
Dan ketika kita bicara tentang “seluruh rakyat Kalimantan”, marilah kita tidak hanya membayangkan angka-angka.
Bayangkan wajah. Bayangkan perempuan yang bangun subuh untuk menenun. Bayangkan anak-anak yang bersekolah di ruang kayu dengan papan tulis yang pecah. Bayangkan tetua adat yang duduk di beranda, menjaga cerita.
Baca Prof. Anhar Gonggong: Tak Satu pun Presiden Menjalankan Pancasila
Bayangkan mereka bukan sebagai beban negara, tapi sebagai pusat peradaban yang harus dirawat.
Jika keadilan adalah jembatan, maka jembatan itu harus menghubungkan bukan hanya wilayah, tapi martabat. Jika keadilan adalah cahaya, maka cahaya itu harus sampai hingga ke rumah panjang yang paling jauh. Dan jika keadilan adalah kata, maka ia harus dibunyikan dari bibir yang selama ini hanya tahu diam.
Baca Naypyidaw dan IKN: Ibukota yang Gagal Dicintai
Kalimantan bukan pinggiran. Ia adalah inti yang terlalu lama diabaikan. Ia adalah puisi yang belum selesai dibaca. Dan tugas kita, bangsa ini, adalah membacanya perlahan—dengan hati, bukan sekadar data. *)
Jakarta, pada Minggu Palma 13 April 2025.