Banjir, Jalan Rusak, Sembako Mahal: Derita Kalimantan yang Tak Pernah Sampai ke Telinga Jakarta
Banjir besar di Kalimantan Haruskah jadi pengungsi internasional agar diperhatikan? Doc. Sandro David. |
🌍 DAYAK TODAY | PALANGKA RAYA:
Sudah tiga kali banjir besar terjadi di Kalimantan Tengah sepanjang tahun 2025.
Air datang tiba-tiba, dalam gelap malam. Kemudian menggenangi rumah-rumah yang bahkan belum selesai dibersihkan dari lumpur banjir sebelumnya.
Baca Grace Lukas’ Battle: Defending Community Land Rights from Corporate Grip
Warga kembali mengungsi. Mengikat ayam dan barang seadanya, memanggul anak kecil, dan berjalan kaki ke tempat yang lebih tinggi. Ini bukan kisah baru. Ini cerita lama yang terus berulang.
Tawaran bantuan untuk menarik simpati dunia
Sementara di Jakarta, suasana adem ayem. Elit-elit politik sibuk berdebat di ruang ber-AC. Menteri-menteri saling melempar pernyataan normatif, dan bantuan yang dijanjikan entah sampai kapan dan entah sampai ke mana.
Rakyat di Kalimantan menunggu dalam senyap. Di tenda-tenda darurat yang bocor. Di dapur umum yang sering kehabisan beras. Anak-anak tidur dalam dingin. Air bersih jadi barang mewah. Sekolah-sekolah lumpuh, sawah terendam, dan ladang tak bisa digarap. Ini bukan sekadar banjir. Ini bencana yang menggerogoti seluruh urat nadi kehidupan.
Baca Dayak dan Hak Atas Tanah Adat
Namun penderitaan rakyat seakan tidak cukup dramatis untuk menarik perhatian media nasional. Pemerintah justru sibuk dan merencanakan mengurus rakyat negeri jauh yang tidak dikenal—Palestina. Bantuan akan dikirim, dana dialokasikan, dan pidato-pidato heroik dilontarkan. Semua demi menunjukkan wajah kemanusiaan Indonesia serta menggalang simpati di panggung internasional. Sementara rakyat sendiri yang membayar pajak dan memilih pemimpin justru dilupakan.
Kalimantan Tidak Hanya Diterjang Banjir
Kalimantan bukan cuma soal air bah. Setelah banjir surut, penderitaan tak selesai. Jalan-jalan rusak parah, penuh lubang, sebagian putus total. Akses logistik terhambat. Harga sembako naik drastis. Beras, telur, minyak goreng, dan bahkan air mineral menjadi barang mahal. Di pedalaman, satu kilogram beras bisa mencapai dua kali lipat harga normal di kota.
Baca Peta HGU di Lahan dan Halaman Rumah Warisan Dayak
Truk-truk distribusi enggan masuk karena jalan rusak dan risiko tinggi. Warung-warung kosong. Pasar-pasar sepi pembeli. Masyarakat kecil hidup dengan beban berat yang terus menumpuk.
Banjir merusak ladang dan kebun. Banyak petani kehilangan sumber penghasilan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar justru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Karyawan yang bekerja di sektor sawit dan tambang kini duduk di rumah tanpa kepastian. Ribuan kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Dan tidak ada jaring pengaman sosial yang cukup kuat untuk menampung mereka.
Barang-barang kebutuhan pokok terus melambung. Di kota kabupaten saja, harga gas melon 3 kg bisa menembus Rp45.000—jauh di atas harga eceran tertinggi. Di desa-desa, bahkan langka. Sementara subsidi energi justru banyak dinikmati warga kota besar.
Baca Capital Flight
“Sudah banjir, jalan rusak, sembako mahal, kerja pun tak ada. Lalu kami ini rakyat siapa?” keluh seorang ibu rumah tangga di Sekadau, sambil menggandeng dua anaknya yang belum sekolah karena bangunan SD mereka hanyut diterjang banjir pekan lalu.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kalimantan, yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia, justru menjadi korban dari kerakusan jangka panjang. Hutan-hutannya habis, tanahnya tergadai ke tambang emas dan sawit. Metode penambangan seperti Kasbuk dan Dongfeng makin hari makin liar. Sungai-sungai tercemar merkuri. DAS (daerah aliran sungai) kehilangan daya tampung. Maka hujan sedikit saja, bencana besar terjadi.
Baca Dominasi Konglomerasi dan Kegagalan Koperasi
Namun ketika rakyat bertanya, pemerintah menjawab: "Itu karena curah hujan ekstrem." Sesederhana itu. Tak ada telaah serius, tak ada riset mendalam. Sebab yang penting, kamera dunia tertuju ke arah luar, bukan ke dalam.
Apakah ini akibat perubahan iklim? Ya, bisa jadi. Tapi perubahan kebijakan yang tak berpihak pada rakyatlah yang lebih nyata dampaknya. Bukankah keadilan sosial seharusnya dimulai dari mereka yang paling rentan?
Rakyat Bertanya: Haruskah Kami Jadi Pengungsi Internasional Dulu Baru Diperhatikan?
Saat pemerintah gencar memberi donasi dan membangun narasi empati untuk dunia luar, rakyat Kalimantan merasa diasingkan di negerinya sendiri. Mereka menyaksikan di layar kaca bagaimana negara tampil di forum global, tapi lupa hadir di lumpur kampung mereka.
“Kalau rakyat luar negeri dibela mati-matian, kami yang tinggal di negeri ini bagaimana nasibnya? Haruskah kami menyebrang negara, baru dianggap penting?” kata seorang pemuda Dayak yang kini tinggal di posko pengungsian di sebuah gubuk reot di pinggir kota Palangka Raya.
Sebuah bangsa yang besar, kata Bung Karno, adalah bangsa yang menghargai penderitaan rakyatnya. Tapi hari ini, rakyat seperti sedang berjalan sendirian, dalam hujan deras, di jalan berlumpur yang hancur—tanpa lampu, tanpa penuntun, dan tanpa janji pemulihan.
Kalimantan menangis. Tapi Jakarta terlalu sibuk menjadi pahlawan dunia. (X-5/dayaktodak.com)