Dayak dan Hak Atas Tanah Adat: Antara Memori Kolektif dan Tantangan Modern

Dayak, hak, tanah, warisan, wilayah adat, hak adat, konflik internal,sertifikat resmi, hak ulayat adat, Apai Janggut, hak melekat, tanah leluhur

 

Dayak dan Hak Atas Tanah Adat: Antara Memori Kolektif dan Tantangan Modern
Dayak dan Hak Atas Tanah Adat. Dok. dayaktoday.com

Oleh Wilson anak Ayub

🌍 DAYAK TODAY  |  PALANGKA RAYA: Hak atas tanah adat bagi masyarakat Dayak bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga bagian dari identitas dan memori kolektif yang diwariskan turun-temurun. 


Tanah dan hutan adat bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga ruang sakral yang menyimpan nilai budaya serta sistem sosial yang telah teruji sepanjang sejarah. Namun, modernisasi dan tekanan ekonomi semakin mengancam eksistensi hak ulayat ini, terutama ketika tanah adat mulai diperdagangkan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi generasi mendatang. 

Lemahnya perlindungan hukum dan minimnya keterlibatan Dayak dalam kebijakan tanah

Di sisi lain, lemahnya perlindungan hukum serta minimnya keterlibatan masyarakat Dayak dalam kebijakan tanah membuat hak-hak mereka semakin rentan terhadap eksploitasi. 


Oleh karena itu, menjaga hak ulayat di tengah ancaman modernisasi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga perjuangan kolektif untuk memastikan tanah adat tetap menjadi milik dan kekuatan bagi masyarakat Dayak.


Di beberapa tempat, ada oknum Dayak yang diam-diam menjual tanah kepada perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan kehilangan tanah adat bukan semata-mata kesalahan perusahaan, tetapi juga melibatkan faktor internal dalam komunitas Dayak sendiri. 

Sikap pragmatis dan kebutuhan ekonomi menjadi pemicu utama, yang mengakibatkan pergeseran kepemilikan tanah dari masyarakat adat kepada pihak luar. Jika praktik ini terus berlangsung tanpa kendali, maka warisan leluhur yang seharusnya dijaga bisa lenyap dalam hitungan dekade.

Baca Ladang Orang Dayak

Hutan adat, yang selama ini menjadi hunian dan sumber kehidupan Orang Dayak, sejatinya telah dikuasai secara turun-temurun dan diusahakan dengan kearifan lokal. Dalam kerangka hukum nasional, konsep ini dikenal sebagai Hak Ulayat Adat, meskipun banyak tanah adat yang belum memiliki sertifikat resmi. Namun, masyarakat Dayak memiliki tanda-tanda khas sebagai bukti kepemilikan secara turun-temurun, seperti pohon buah yang ditanam oleh leluhur mereka. Jika tanda-tanda tersebut tiba-tiba hilang, maka ada sesuatu yang salah dalam tata kelola dan perlindungan tanah adat. Hilangnya tanda kepemilikan ini menandakan adanya kelalaian atau intervensi dari pihak luar yang perlu diwaspadai.

Secara umum, masyarakat Dayak memiliki memori kolektif yang kuat dalam mengingat kepemilikan tanah, baik yang bersifat komunal maupun individu. Ingatan ini diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi dasar bagi klaim atas tanah adat yang mereka huni dan kelola. 

Dalam beberapa wilayah di mana masyarakat adat masih memegang teguh tradisi dan hukum adatnya, penerbitan sertifikat tanah menjadi lebih mudah. Namun, ironisnya, yang sering muncul bukanlah sengketa dengan pihak luar, melainkan konflik internal dalam keluarga terkait kepemilikan tanah yang telah bersertifikat. Konflik ini semakin kompleks ketika tanah adat berubah menjadi aset komersial yang diperebutkan oleh anggota keluarga sendiri.

Saya sendiri memiliki lebih dari sepuluh bidang tanah yang bersertifikat. Kepemilikan ini membuktikan bahwa saya adalah bagian dari Orang Dayak asli yang berhak atas tanah leluhur. Hal ini juga mempertegas bahwa Dayak adalah pemilik sah dari Borneo. Namun, pengakuan terhadap hak atas tanah ini tidak hanya sekadar soal sertifikat, melainkan juga pemahaman bahwa tanah adat adalah warisan yang harus dikelola dengan bijak agar tetap lestari dan memberi manfaat bagi generasi mendatang.

Peran Dayak dalam Memperjuangkan Hak Adat

Sebagai anggota masyarakat Dayak, kita juga perlu membuktikan bahwa kita adalah pemilik sah dari hutan dan tanah adat yang diwariskan oleh leluhur kita. Seperti yang pernah dikatakan oleh Apai Janggut, tanah adat bukanlah tanah negara, melainkan milik masyarakat adat yang telah dijaga dan dipertahankan selama berabad-abad. Dalam realitasnya, banyak masyarakat Dayak yang masih belum sadar akan pentingnya mempertahankan tanah warisan ini. Sebagian besar lebih memilih menjual tanah karena tekanan ekonomi atau bujukan pihak luar. Padahal, kehilangan tanah adat berarti kehilangan identitas dan kedaulatan sebagai masyarakat adat.

Daripada kita hanya sibuk mengkritik pemerintah dengan mulut berbusa-busa, sudah saatnya kita mengambil peran aktif dalam sistem pemerintahan. Kita harus berani maju untuk menjadi anggota dewan, bupati, gubernur, bahkan kepala desa, agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat Dayak dan bangsa ini secara keseluruhan. Jika kita ingin mempertahankan hak kita, maka kita harus berada di dalam sistem yang mengatur kebijakan. Tanpa keterlibatan aktif dalam pemerintahan, kebijakan yang dibuat akan tetap mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan

Penting bagi masyarakat Dayak untuk memahami bahwa perjuangan mempertahankan tanah adat bukan hanya tentang mempertahankan fisik tanahnya, tetapi juga menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Budaya berladang, sistem gotong-royong, dan tradisi adat yang telah berlangsung turun-temurun adalah bagian dari kehidupan Dayak yang tidak terpisahkan dari tanah yang mereka miliki. Ketika tanah hilang, bukan hanya wilayah yang lenyap, tetapi juga budaya dan jati diri masyarakat adat itu sendiri.

Saya berprinsip bahwa "Daripada memecahkan piring tempat kita makan, lebih baik kita mencangkul tanah dan membuat keramik baru yang lebih berharga."

Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pewaris, tetapi juga penjaga dan pembangun masa depan yang lebih baik bagi tanah dan budaya Dayak. 

Jika kita benar-benar mencintai tanah leluhur kita, maka kita harus berjuang mempertahankannya dengan segala cara yang tersedia, termasuk melalui pendidikan, kebijakan, dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Palangka Raya, 2 April 2025

LihatTutupKomentar