Hutan Adat bukan Hutan Negara

Dayak, hutan, adat, hutan adat, hutan negara, Putusan MK, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, konsesi perusahaan sawit, korporasi menguasai, hak masyarakat

 

Hutan Adat dalam Bahaya.
Hutan Adat dalam Bahaya. Dok. Kalfin.


🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Di tepi jalan setapak. Pada batas desa. Plang papan kayu peringatan itu berdiri tegak. 

Huruf-hurufnya jelas tegas. Hampir seperti bisikan yang telah lama tertahan. Akhirnya bersuara:

"INI HUTAN ADAT KAMI, BUKAN HUTAN NEGARA."

Sebuah pengingat. Sebuah pernyataan. Atau mungkin, sebuah perlawanan yang bersahaja. 

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Kata-kata itu tak sekadar catatan administratif atau sisa jargon hukum, melainkan pantulan sejarah panjang yang masih terus bergetar. 

Di Desa Kiyu, di banyak desa lain di jantung Borneo, suara itu masih perlu ditegaskan.

Hutan Adat. 

Istilah ini bukan sekadar klaim atas tanah, bukan sekadar sepetak pohon yang bisa ditebang atau diganti dengan lembaran konsesi. Hutan ini adalah warisan, yang di dalamnya tersimpan ritus-ritus lama, nama-nama leluhur, dan jejak kaki generasi yang berjalan di jalur-jalur sunyi. 

Sejak lama hutan ini adalah bagian dari orang-orang yang hidup di sekelilingnya, sebagaimana sungai yang mengikuti alirannya sendiri, sebagaimana tanah yang mengingat benih yang ditanam. 

Baca Ngayau (1)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah mengukuhkannya: Hutan Adat bukan Hutan Negara. Sebuah pernyataan yang, mestinya, mengakhiri segala sangsi. Namun, hukum, seperti yang sering terjadi, kadang berhenti pada kata-kata. Kenyataan berjalan di jalur yang lain.

Ada jeda antara hukum dan praktik. Ada garis tak terlihat yang kerap ditarik ulang oleh kepentingan-kepentingan yang lebih besar, yang lebih memiliki daya tekan. 

Negara, dalam banyak kasus, masih melihat hutan sebagai aset ekonomi, sebagai wilayah yang dapat dinegosiasikan, sebagai lembaran tanah yang dapat dicantumkan dalam peta-peta investasi. 

Masyarakat adat, di sisi lain, melihat hutan sebagai rumah. Dua sudut pandang yang, entah mengapa, masih terus saling bertabrakan.

Apa yang lebih mengkhawatirkan dari sebuah hak yang diakui tetapi tak pernah benar-benar dihormati? 

Apa yang lebih ironis dari sebuah keputusan hukum yang, dalam pelaksanaannya, seakan tak lebih dari sekadar catatan kaki di dokumen resmi? 

Baca Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri

Hutan Adat yang dijaga, yang dikelola turun-temurun, sering kali harus berhadapan dengan surat izin yang datang dari kantor-kantor yang jauh. 

Pada titik tertentu, tak ada lagi ruang bagi diskusi: pohon-pohon tumbang, tanah dipadatkan, kanal-kanal digali. Dan dengan itu, pelan-pelan, sejarah pun terkikis.

Kita pernah percaya bahwa hukum bisa menjadi perisai. Kita pernah yakin bahwa keputusan yang diambil di ruang pengadilan bisa membawa keadilan. Namun, di banyak tempat, keadilan bukanlah sesuatu yang tiba dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, ia harus dihidupi.

Di Kiyu, papan itu tetap berdiri. Mungkin ia sekadar kayu yang tertancap di tanah. Mungkin ia hanya sekumpulan huruf yang tak berarti bagi mereka yang tak ingin mendengar. 

Baca Gerakan Bela Beli Krayan

Tapi bagi yang memahami. Papan itu adalah sebuah pengingat: Bahwa ada hak yang harus terus dipertahankan. Ada warisan yang tak boleh dihapuskan. 

Dan ada suara yang tak boleh dibiarkan menghilang begitu saja.

Jika Negara enggan mengakui dan mengeksekusi Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 maka ia benar Leviathan. Seperti ditulis dan diingatkan Thomas Hobbes hampir 4 abad silam.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar