Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri
Kajian Dr. Yansen: ladang menumbuhkan kembali janis tumbuhan yang tidak ada sebelumnya Yang merusak lingkungan Borneo perusahaan. Dok. Amoi Dayak. |
Mochtar Lubis (1978: 9) mencatat bahwa pertanian tradisional ini telah berlangsung dalam keseimbangan dengan alam, membentuk lanskap yang tidak hanya produktif tetapi juga berkelanjutan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Hingga kini, kebanggaan tersebut masih tampak nyata, di mana banyak orang Dayak dengan antusias membagikan gambar ladang mereka di media sosial, menunjukkan hubungan erat mereka dengan tanah dan hasil bumi yang diwariskan turun-temurun.
Ladang Orang Dayak: Warisan dan Masa Depan
Berbeda dengan anggapan bahwa ladang berpindah merusak hutan, penelitian Yansen (2018) justru menunjukkan bahwa sistem ini berkontribusi pada regenerasi tanaman lain yang sebelumnya tidak ada.
Ladang yang dibiarkan beristirahat setelah beberapa tahun pemakaian memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis vegetasi baru, menciptakan ekosistem yang lebih kaya dan mendukung keanekaragaman hayati.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Namun, di tengah ekspansi perkebunan kelapa sawit yang semakin luas, ladang tradisional menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, dalam satu dekade ke depan, kita masih memiliki kesempatan untuk menyaksikan ladang-ladang Dayak yang belum tersentuh oleh sawit.
Ladang ini tidak hanya menghasilkan padi, tetapi juga sayuran, jamur, dan tanaman khas lain yang memiliki nilai adat dan budaya tinggi.
Berbeda dengan sawah, yang cenderung seragam dalam produksinya, ladang Dayak menawarkan keragaman pangan dan keberlanjutan yang tidak dapat digantikan oleh sistem pertanian modern.
Menjaga ladang Dayak bukan sekadar mempertahankan tradisi, tetapi juga melindungi sumber pangan lokal, keanekaragaman hayati, dan warisan budaya yang telah teruji oleh waktu.
Dalam menghadapi modernisasi dan ekspansi agribisnis, penting untuk mencari jalan tengah yang memungkinkan masyarakat Dayak tetap berdaulat atas tanah dan praktik pertanian mereka, sambil tetap membuka ruang bagi inovasi yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Peladangan Dayak: Antara Tuduhan dan Realitas
Selama bertahun-tahun, komunitas Dayak kerap menghadapi stigma bahwa sistem peladangan mereka adalah penyebab utama kerusakan hutan dan lingkungan di Borneo.
Tuduhan ini datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, aktivis lingkungan, hingga perusahaan yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan lahan. Inilah yang disebut post-truth.
Usaha yang mencoba mematahkan anggapan bahwa Dayak bagian dari alam. Dayak tidak mungkin merusak rumahnya sendiri. Tetapi ada usaha untuk menuduh Dayak merusak lingkungan. Tuduhan in sangat keji!
Padahal, praktik berladang telah dilakukan oleh orang Dayak sejak 10.000 tahun lalu, dan terbukti mampu berjalan secara harmonis dengan ekosistem.
Berladang bagi orang Dayak bukan sekadar aktivitas bercocok tanam, melainkan sebuah sistem ekologis yang berkelanjutan dan memiliki nilai budaya tinggi. Siklus ladang berpindah memungkinkan tanah untuk beristirahat dan mengalami regenerasi alami.
Dalam jangka panjang, praktik ini justru membantu menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati, berbeda jauh dari klaim yang menyebutnya sebagai penyebab utama deforestasi.
Deforestasi Borneo: Bukan Ulah Peladang, tetapi Korporasi
Jika melihat skala kerusakan hutan di Borneo, tidak sulit untuk menemukan pelaku utamanya. Yang merusak hutan, alam, dan lingkungan bukanlah peladang Dayak, tetapi para pembalak liar, pengusaha besar, perusahaan tambang, serta korporasi kelapa sawit yang melakukan deforestasi secara masif.
Pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan monokultur telah menghilangkan jutaan hektare hutan hujan tropis yang sebelumnya menjadi rumah bagi flora dan fauna endemik serta sumber kehidupan masyarakat adat.
Ironisnya, masyarakat Dayak yang mempertahankan pola hidupnya justru kerap disalahkan dan dikriminalisasi, sementara para pelaku deforestasi yang sebenarnya justru mendapatkan izin legal atau perlindungan dari berbagai regulasi yang lebih berpihak kepada kepentingan modal.
Baca Sejarah Asal usul Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis
Dalam kondisi seperti ini, perjuangan untuk mempertahankan ladang dan hutan bukan hanya soal ekonomi atau budaya, tetapi juga bagian dari perlawanan terhadap ketidakadilan ekologis yang terjadi di Borneo.
Menjaga Ladang, Menyelamatkan Hutan
Dalam menghadapi arus perubahan yang semakin kuat, masyarakat Dayak perlu terus mengedukasi publik tentang pentingnya ladang sebagai bagian dari sistem keberlanjutan. Ladang bukan ancaman bagi hutan, tetapi justru bagian dari keseimbangan ekologi yang telah berlangsung ribuan tahun. Menjaga ladang sama artinya dengan menjaga kearifan lokal yang telah terbukti mampu bertahan di tengah berbagai tantangan zaman.
Di sisi lain, perlu ada dorongan bagi kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat adat.
Regulasi yang menyudutkan sistem ladang berpindah harus dikaji ulang dan digantikan dengan kebijakan yang mengakui serta melindungi hak-hak komunitas adat atas tanah dan sumber daya alamnya.
Tanpa langkah konkret, deforestasi akan terus berlangsung. Pelakunya bukan para peladang Dayak, melainkan mereka yang mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan hutan dan kehidupan masyarakat setempat.
-- Rangkaya Bada