Orang-orang Hakka di Sanggau: Novel-sejarah yang Menyingkap di Balik Tragedi Konflik Etnis di Kalbar Tahun 1967

Hakka, Khek, Sanggau, Dayak, Tragedi 1967, Tjiang Kai Sjek, Mao Tse Tung, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959, Instruksi Presiden No. 14/1967,

 

Sampul novel-sejarah Orang-orang Hakka di Sanggau.
Kredit gambar: Matius Mardani.

🌍 DAYAK TODAY  | PONIANAK: Di tepi Sungai Kapuas, yang airnya mengalir perlahan seperti waktu yang menua, sebuah rakit bambu menepi. 

Lelaki-lelaki dengan mata tajam dan tangan yang penuh bekas kerja keras melangkah ke daratan yang belum mereka kenal. 

Para migran dari Yunnan abad ke-18 itu menyebut tempat mereka merapatkan rakit bambu itu: Sîang-ngau yang kelak kita kenal sebagai Sanggau. 

Pendaratan pertama di tepian sungai Kapuas, dekat muara Sekayam ini adalah awal dari sebuah kisah, sebuah babak panjang yang mengisahkan perjumpaan manusia dengan tanah, budaya dengan budaya, dan sejarah dengan ketidakpastiannya.

Jejak Hakka di Sanggau: Dari Sungai Kapuas ke Pusaran Sejarah

Masri Sareb Putra, dalam novel sejarahnya Orang-Orang Hakka di Sanggau, menenun narasi yang tak sekadar cerita, tetapi juga arsip ingatan. 

Cetakan pertama buku ini, yang diterbitkan oleh Lembaga Literasi Dayak pada Januari 2025, berisi 645 halaman yang merangkum jejak panjang migrasi orang Hakka ke Borneo Barat. 

Novel yang diimbuhi dengan catatan kaki yang memperkaya setiap detail. Ini bukan sekadar novel biasa rupanya. Tetapi juga suatu upaya menggali kembali jejak-jejak yang nyaris pudar oleh waktu.

Awal abad ke-18, mereka datang, dipimpin oleh Ben Teng Thua. Berbekal keberanian dan harapan yang diselipkan di antara anyaman bambu, mereka melintasi arus Pancur Aji yang ganas. 

Di tanah baru ini, mereka bukan sekadar bertahan, tetapi juga beradaptasi. Bersama tokoh-tokoh lokal seperti Daranante dan Panglima Kumbang, mereka merajut kehidupan baru yang ditenun dari kerja keras, perdagangan, dan sesekali, konflik yang tak terhindarkan.

Baca Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Namun, sejarah selalu bergerak dengan caranya sendiri—kadang seperti angin yang lembut, kadang seperti badai yang tak mengenal belas kasihan. 

Migrasi besar-besaran orang Hakka ke Borneo dipicu oleh perang yang jauh di Tiongkok: benturan antara pasukan Tjiang Kai Sjek dan Mao Tse Tung. 

Tapi badai yang lebih besar datang dari dalam negeri sendiri. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 dan Instruksi Presiden No. 14/1967 menjadi belati yang menikam dari belakang. Mereka yang telah mengakar, dipaksa tercerabut. 

Tak hanya orang Hakka yang menjadi korban sejarah ini, tetapi juga mereka yang semula menjadi alat kekuasaan: orang-orang Dayak, yang akhirnya harus menanggung luka yang sama.

Tragedi 1967: Dalang, Korban, dan Ingatan yang Tak Luntur

Dokumen militer resmi berjudul Tandjoengpoera Berdjoeang kemudian dengan gamblang mencatat bahwa konflik etnis Cina-Dayak pada 1967 di Kalimantan Barat, ada dalangnya. 

Konflik Cina-Dayak tahun 1967 di Kalimantan Barat memang meninggalkan luka mendalam dalam sejarah masyarakat Dayak dan Tionghoa di Borneo. Strategi "nabok nyilih tangan"—memukul dengan tangan orang lain—sering kali digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi tertentu untuk menciptakan ketegangan antar kelompok. Dalam kasus ini, ada indikasi bahwa konflik tersebut bukanlah semata-mata masalah etnis, melainkan akibat dari intervensi pihak ketiga yang memperkeruh keadaan.

Banyak kajian menunjukkan bahwa situasi politik pada masa itu, terutama dalam konteks Orde Baru yang baru berkuasa, memainkan peran besar dalam konflik ini. Isu PKI dan kepentingan ekonomi di daerah pedalaman Kalimantan Barat menjadi latar belakang yang memperumit keadaan. Dayak dan Tionghoa yang sebelumnya hidup berdampingan justru dijebak dalam permainan politik yang merugikan keduanya.

Apakah Anda melihat bahwa ada upaya rekonsiliasi yang cukup dalam beberapa dekade terakhir untuk mengobati luka sejarah ini?

Jadi, baik Cina maupun Dayak, kedua-duanya adalah korban dari tragedi yang hingga kini masih terekam dalam ingatan kolektif generasi Baby Boomer. Ini bukan sekadar benturan antara dua kelompok, tetapi juga permainan kekuatan yang lebih besar, yang menjadikan manusia-manusia biasa sebagai bidak di papan catur sejarah. Dalam pusaran kepentingan geopolitik dan domestik, konflik ini meninggalkan luka yang tak sepenuhnya sembuh.

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau

Novel ini bukan sekadar kisah tentang migrasi. Ia adalah catatan tentang ingatan yang sering kali ingin dihapus. Ia mengisahkan keberanian yang dipertaruhkan dalam ketidakpastian, perjumpaan yang melahirkan kebersamaan, serta tragedi yang tak hanya meninggalkan duka, tetapi juga pertanyaan: sejarah siapa yang kita ceritakan? Dan sejarah siapa yang kita biarkan hilang?

Dengan gaya bercatatan kaki, Masri Sareb Putra tidak hanya menulis sebuah novel, tetapi juga mendokumentasikan kehidupan. 

Dengan teliti, ia menjejaki jejak yang tersisa di tepian Sungai Kapuas, dalam percakapan yang masih bergaung di rumah-rumah tua, dalam nama-nama yang diucapkan dengan nada rindu. 

Kunjungi Orang-Orang Hakka di Sanggau - Novel Sejarah Bercatatan Kaki

Sejarah dalam buku ini bukan hanya deretan tanggal dan peristiwa. Ia adalah desir angin di antara rakit-rakit bambu, adalah desir suara mereka yang masih ingin diingat.

-- Lim Mei Hwa

LihatTutupKomentar