Peta HGU di Lahan dan Halaman Rumah Warisan Dayak

Dayak, Kalimantan, Hak Guna Usaha, HGU, perkebunan, konglomerasi, sawit,

 

Peta HGU di Halaman dan Rumah Warisan Dayak
Peta HGU di Halaman dan Rumah Warisan Dayak. Siapa bisa advokasi? Ilustrasi by AI.


🌍
 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: 
Ada sebuah peta. Digambar dengan kuas birokrasi. Disusun di meja-meja rapat yang dingin. Jauh dari suara hutan. Berjarak dari jejak kaki yang mengakrabi tanah. 


Garis-garisnya lurus, seakan dunia tunduk pada penggaris besi yang tak mengenal riak sejarah. 

Di peta itu, ada kawasan hutan. Ada batas wilayah. Ada larangan dan izin yang ditetapkan. Tapi di peta itu, tak ada ingatan. Tak ada sisa tawa anak-anak yang berlarian di halaman, tak ada jejak tangan yang mencangkul ladang, tak ada suara burung yang sejak dulu tahu kapan musim beralih.

Baca Credit Union (CU) and the Dayak People: Financial Literacy Rooted in Trust

Di suatu desa di pedalaman Kalimantan Barat, sebuah keluarga yang mewarisi rumah dan tanahnya sejak dari kakek-nenek, tiba-tiba diusir pergi. Persis di halaman mereka tergambar peta: HGU: Hak Guna Usaha. 

HGU nama yang asing bagi mereka, tapi nyata dalam konsekuensinya. Tanah yang mereka tanami, rumah yang mereka bangun, kini hanya barisan angka dalam dokumen yang tak pernah mereka baca. Bagaimana mulanya? Tak seorang pun bisa, atau lebih tepatnya, mau menjawab.

Konflik bermula dari peta yang tak mengingat. Ada sebuah kampung, tanahnya ditandai sebagai hutan lindung. Sebelum garis-garis itu ditorehkan dalam dokumen negara, ladang-ladang telah ada di sana. Orang-orang telah bercocok tanam, memanen padi di musimnya, menanam durian yang buahnya tak pernah jatuh sia-sia. 

Kemudian, datang petugas dengan seragam dan peta baru. Mereka berkata, “Ini bukan tanahmu.” Orang-orang itu terdiam, melihat tanahnya berubah menjadi sesuatu yang bukan milik mereka.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Dua undang-undang, dua zaman, dua rezim. Yang satu mengatur kehutanan, yang lain mengatur agraria. Keduanya berdiri sendiri, berbicara sendiri, merumuskan aturan tanpa perlu menyapa satu sama lain. Tak ada prinsip administrasi lahan tunggal yang mengikat mereka dalam satu perintah yang adil. Maka, bagi seorang petani di pedalaman, tanahnya bisa menjadi sawah hari ini dan kawasan hutan esok pagi. Kepemilikan menjadi sesuatu yang cair, mengalir mengikuti garis kebijakan yang tak pernah dibuat bersama mereka yang hidup di atas tanah itu.

Tanah, sebelum ia bernama “aset,” sebelum ia ditakar dalam koordinat dan hak guna usaha, adalah tubuh yang menyimpan jejak. Jejak itu tak selalu tertulis, tapi ia ada—di nyanyian para ibu, di jalur yang dihafal oleh kaki-kaki yang sejak lama menapakinya, di doa-doa yang dipanjatkan sebelum benih ditanam.

Baca Ngayau (1)

Lalu seseorang datang dengan selembar kertas. Tertulis angka, garis batas, klausul. Lalu datang lagi seseorang dengan alat berat. Dan tanah itu, yang dulu punya nama dalam bahasa sungai, dalam bisikan angin, kini hanya menjadi baris dalam laporan tahunan.

Pemerintah berkata ini tanah negara. Negara berkata ini demi pembangunan. Perusahaan berkata ini sah, ini punya kami. Sementara seseorang, entah siapa, melihat rumahnya tumbang, mendengar suara kayu yang patah, menatap kosong ke arah sawah yang kini tak lagi menjadi sawah.

Apakah keadilan sosial masih milik seluruh rakyat Indonesia, atau ia hanya kemewahan bagi yang bisa membayarnya?

Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan

Di antara debu yang terangkat, di antara garis yang digambar ulang, di antara hukum yang lebih peduli pada yang tertulis daripada yang dihidupi, pohon-pohon yang tersisa berdiri dalam diamnya. Ia menghafal nama-nama yang telah pergi. Ia mendengar ratapan yang tak masuk berita. Ia menjadi saksi dari sebuah sejarah yang tak pernah tertulis, karena tinta selalu kalah oleh beton dan angka.

Tetapi siapa yang peduli?

Siapa yang masih mendengar?

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar