Machiavelli Banyak Disalahmengerti

Machiavelli, stato di pochi, tirani modern, oligarki, anarki, Indonesia, Forenze, Il Principe, Dayak, literasi politik

  

Buku klasih politik dunia yang tetap relecvan kapan pun
Buku klasih politik dunia yang tetap relecvan kapan pun. Dok. Ist.

🌍 DAYAK TODAY  |  JAKARTA: Machiavelli adalah sosok yang tak terhindarkan dari kontroversi, seringkali disalahpahami. 


Namanya dikaitkan dengan cara-cara licik dalam politik, dengan taktik yang disebut-sebut menghalalkan segala cara demi ambisi kekuasaan. Padahal, pemikiran Niccolò Bernardo Machiavelli (1469-1527), yang tercermin dalam karya-karyanya, jauh lebih kompleks dan mendalam dari sekadar panduan bagi mereka yang hendak meraih kekuasaan. 

Buku-buku Machiavelli bukanlah ajaran praktis yang mendukung penguasa untuk mencapai tujuannya dengan cara apa pun, tetapi refleksi tajam terhadap kondisi politik zaman itu yang penuh gejolak dan ketidakpastian. 

Il Principe, salah satu karya terkenalnya, lebih menggambarkan realitas politik daripada sekadar memberi resep bagi para penguasa. Baru di dalam Discorsi Di Nicolo Machiavelli, kita menemukan bentuk pilihan pribadi Machiavelli tentang apa yang ia nilai baik dalam sistem politik.

Saya pertama kali mengenal Machiavelli pada tahun 1980-an saat membaca Il Principe (Sang Penguasa). Buku itu menggugah saya untuk merenungkan persoalan-persoalan tentang kekuasaan, bagaimana ia dibangun dan dihancurkan. Namun, baru di tahun 1990, ketika saya membaca The Name of the Rose karya Umberto Eco —novel yang kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar—saya semakin tertarik dengan cara Eco mengaitkan politik, filsafat, dan sejarah. 

Saya teringat kembali pada Machiavelli, yang menggali tanya besar dalam benaknya: mengapa kekuasaan selalu menjadi barang rebutan? Apa yang membuat seorang penguasa jatuh dari singgasana? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukan hanya milik Machiavelli, tetapi milik kita semua yang hidup dalam dunia yang tak pernah berhenti berputar dalam ketidakpastian politik.

Pada 1997 saya berkesempatan mengunjungi Firenze, kota tempat Machiavelli mengirimkan risalahnya ke istana penguasa. Di sana, saya merasakan getaran sejarah yang begitu kuat, seolah-olah Machiavelli masih berbicara kepada kita melalui tulisan-tulisannya. Ia bertanya dan merenung tentang kekuasaan, tentang segala permainan politik yang sering kali mengabaikan moralitas demi tujuan pragmatis. 

Itulah jalan filsafat: bertanya dengan penuh keheranan (thaumasia), tergerak untuk mencari tahu lebih dalam tentang kebenaran yang sering kali tersembunyi di balik ketegangan kekuasaan.

Baca Kebenaran dalam Fiksi

Dalam perjalanan saya ke Bologna, tempat Umberto Eco mengajar di Universitas Bologna, saya menghabiskan waktu menulis tentang Machiavelli. Itu adalah refleksi pribadi saya setelah bertahun-tahun membaca dan merenungkan karya-karya besar itu. Machiavelli bukan sekadar tokoh sejarah bagi saya, tetapi sebuah pemikiran yang abadi, yang terus berbicara melalui analisis dan pandangannya tentang dunia yang tak henti-hentinya berubah.

Banyak orang keliru dalam memahami Machiavelli. Banyak yang mengira ia mengajarkan bahwa politik adalah arena di mana segala cara sah untuk meraih kekuasaan. Namun, pahami bahwa dalam karyanya, Machiavelli tidak pernah mengajarkan agar penguasa berbuat licik tanpa batas. Sebaliknya, ia hanya menulis tentang apa yang ia amati: sebuah dunia politik yang kejam dan penuh intrik, di mana penguasa harus cerdas membaca situasi jika ingin bertahan hidup. Dalam Il Principe, ia membeberkan kenyataan tentang bagaimana penguasa yang tidak pandai mengelola kekuasaan akan jatuh. Machiavelli tidak sedang memberi resep cara merebut kekuasaan; ia hanya mengamati bagaimana dunia politik bekerja dengan segala kecanggungan dan ketidaksempurnaan manusia.

Il Principe berfokus pada apa yang nyata-nyata terjadi, bukan pada harapan atau utopia tentang bagaimana seharusnya politik berlangsung. Inilah yang seringkali disalahartikan oleh pembaca. Mereka menganggap Machiavelli memberi pelajaran bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan cara apa saja, bahkan dengan cara-cara yang brutal. Padahal, ia hanya mengamati dengan jernih, menyusun catatan berdasarkan kenyataan yang ada. Baru di dalam Discorsi, buku ketiga dari karya Machiavelli, kita dapat melihat dengan jelas pilihan pribadinya tentang bentuk pemerintahan yang ia anggap ideal.

Baca Negara Leviathan

Dalam Discorsi ini, Machiavelli menguraikan enam bentuk pemerintahan:

  1. Principato (kerajaan) - kekuasaan yang dikuasai oleh seorang penguasa tunggal.

  2. Ottimati (aristokrasi) - pemerintahan oleh sekelompok elit.

  3. Popolare (demokrasi kerakyatan) - kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat banyak.

  4. Tirannia (tirani) - pemerintahan yang dikuasai oleh seorang penguasa otoriter.

  5. Stato di pochi (oligarki) - kekuasaan dipegang oleh segelintir orang kaya atau berkuasa.

  6. Licenzioso (anarki) - pemerintahan tanpa kekuasaan yang terorganisir, di mana setiap orang bebas untuk bertindak.

Lalu, mana yang terbaik? 

Machiavelli sendiri tidak menemukan satu pun bentuk pemerintahan yang sempurna. Bagi Machiavelli, setiap bentuk pemerintahan membawa tantangan dan kesulitannya sendiri. Bahkan dalam bentuk demokrasi sekalipun, ia melihat potensi konflik dan ketidakstabilan. Tak ada sistem yang sempurna. Apa yang Machiavelli ingin kita pahami adalah bahwa politik selalu penuh dengan ketidaksempurnaan, dan penguasa harus belajar untuk beradaptasi dengan realitas itu.

Apa yang bisa kita pelajari dari pemikiran Machiavelli dalam konteks politik saat ini? Saat ini, kita menyaksikan sebuah fenomena politik yang menunjukkan bagaimana penguasa yang dungu dan pongah semakin nyata tanpa rasa malu. Berbeda dengan dulu, di mana penguasa cenderung lebih hati-hati dalam menunjukkan kelemahan, kini banyak penguasa yang tak segan-segan memamerkan ketidakmampuan mereka. Politik yang dilihat Machiavelli dengan skeptisisme, kini menjadi semakin terang benderang dengan ketidakmampuan dan kebohongan.

Namun, kita harus ingat bahwa sejarah politik tak pernah statis. Rezim yang dungu dan pongah tidak akan bertahan lama. Seperti yang Machiavelli gambarkan dalam karya-karyanya, pada akhirnya rakyat yang muak dan marah akan menggulingkan penguasa yang gagal beradaptasi dengan tuntutan zaman. Politik, meskipun seringkali penuh dengan muslihat dan manipulasi, tetap membutuhkan legitimasi dari rakyat. Ketika kepercayaan itu hilang, seperti yang kita pelajari dari sejarah, perubahan akan datang dengan sendirinya. Penguasa yang merasa terisolasi dalam kekuasaan mereka akan terjatuh, karena mereka gagal mendengar dan merespon suara rakyat.

Dalam konteks ini, pemikiran Machiavelli tetap relevan. Ia mengajarkan kita untuk memahami bahwa politik bukanlah dunia yang penuh dengan kebaikan, tetapi juga dunia yang penuh dengan pertarungan. Politik adalah medan di mana mereka yang kuat akan bertahan, tetapi mereka yang tidak mengerti cara memainkan permainan politik akan jatuh. Kekuasaan yang dikelola dengan kebodohan akan selalu berakhir dengan kejatuhan, dan rakyat yang cerdas pada akhirnya akan menentukan takdir mereka.

Dengan demikian, Machiavelli bukan hanya relevan bagi penguasa, tetapi juga bagi kita semua yang berusaha memahami permainan kekuasaan di dunia yang terus berubah ini.

Baca https://www.dayaktoday.com/2025/03/alegori-gua-niah-realitas-bangsa.html


Oligarki di Indonesia: Antara Tirani dan Harapan Demokrasi

Fenomena oligarki di Indonesia semakin menegaskan cengkeraman kekuasaan segelintir elite atas politik, ekonomi, dan hukum. Bukan sekadar dominasi orang kaya dalam politik, oligarki telah berkembang menjadi sebuah sistem yang sistematis, terorganisir, dan sulit ditembus oleh rakyat biasa. Dalam Discorsi, Niccolò Machiavelli menjelaskan bahwa setiap bentuk pemerintahan dapat mengalami degenerasi: kerajaan menjadi tirani, aristokrasi menjadi oligarki, dan demokrasi berpotensi jatuh dalam anarki. 

Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, kita semakin dekat dengan bentuk stato di pochi—pemerintahan oleh segelintir orang kaya atau berkuasa—yang mengarah ke tirani terselubung.

Tulisan ini akan menguraikan bagaimana oligarki telah merusak demokrasi Indonesia, mengendalikan sumber daya, melemahkan institusi hukum, serta menekan kebebasan publik. Lebih jauh, kita akan membahas strategi yang dapat dilakukan untuk keluar dari jerat oligarki agar tidak jatuh dalam siklus sejarah yang tragis.

Oligarki sebagai Tirani Modern

Seiring perjalanan reformasi, harapan akan demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif perlahan memudar. Justru, kita menyaksikan oligarki yang semakin mengakar dengan beberapa karakteristik berikut:

1. Dominasi Elite dalam Politik

Reformasi 1998 membuka ruang demokrasi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi oligarki untuk menyusun kembali strategi mempertahankan kekuasaan. Partai politik yang seharusnya menjadi kendaraan aspirasi rakyat malah dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki akses terhadap modal dan jaringan kekuasaan.

Contoh:

  • Dinasti politik menjadi semakin kuat, di mana keluarga tertentu menguasai berbagai jabatan strategis dari tingkat daerah hingga nasional.

  • UU Pemilu yang diskriminatif, yang lebih menguntungkan partai-partai besar dan menghambat calon independen serta partai-partai kecil yang ingin ikut bersaing.

  • Praktik politik uang yang merusak proses demokrasi, menjadikan jabatan publik sebagai transaksi ekonomi daripada amanah rakyat.

2. Penguasaan Sumber Daya oleh Segelintir Orang

Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam, tetapi ironisnya, sebagian besar kekayaan ini dikendalikan oleh korporasi besar yang berafiliasi dengan elite politik.

Contoh:

  • Konsesi tambang dan perkebunan sawit diberikan kepada korporasi besar tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis.

  • Konflik agraria yang semakin meningkat karena masyarakat adat dan petani kecil harus berhadapan dengan perusahaan yang memiliki dukungan dari aparat keamanan.

  • Eksploitasi lingkungan yang semakin parah akibat lemahnya regulasi yang lebih berpihak pada investor dibandingkan kelestarian ekosistem.

3. Kontrol terhadap Media dan Opini Publik

Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan pers dan keterbukaan informasi. Namun, di Indonesia, media utama dimiliki oleh segelintir konglomerat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

Contoh:

  • Framing berita yang menguntungkan pemerintah dan oligarki, sementara kritik terhadap kekuasaan sering kali mendapat tekanan.

  • UU ITE sebagai alat represi, digunakan untuk membungkam kritik dan oposisi.

  • Minimnya kebebasan akademik, di mana para peneliti dan aktivis sering kali mengalami tekanan ketika menyuarakan fakta yang tidak sejalan dengan kepentingan elite.

4. Pelemahan Institusi Demokrasi dan Hukum

Seharusnya, lembaga penegak hukum berfungsi sebagai benteng keadilan. Namun, di Indonesia, banyak kasus menunjukkan bahwa hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.

Contoh:

  • Revisi UU KPK, yang melemahkan independensi lembaga antikorupsi sehingga korupsi semakin sulit diberantas.

  • Judicial capture, di mana hakim dan jaksa cenderung berpihak pada kepentingan oligarki dibandingkan prinsip keadilan.

  • Kasus korupsi yang tidak terselesaikan, di mana banyak pejabat yang terjerat korupsi justru mendapat vonis ringan atau bahkan dibebaskan.

Bagaimana Indonesia Bisa Keluar dari Belenggu Oligarki?

Machiavelli percaya bahwa pemerintahan yang sehat harus memiliki mekanisme untuk menekan ambisi segelintir elite agar tidak mengorbankan kesejahteraan rakyat. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk membatasi cengkeraman oligarki di Indonesia:

1. Reformasi Politik yang Nyata

  • Membatasi politik dinasti dengan regulasi ketat agar jabatan publik tidak menjadi warisan keluarga.

  • Mendorong partisipasi politik yang lebih luas dengan memberikan akses lebih besar bagi calon independen dan partai baru untuk bersaing secara adil.

  • Mengurangi politik uang dengan memperketat aturan pendanaan kampanye dan memperkuat pengawasan terhadap transaksi keuangan partai politik.

2. Redistribusi Sumber Daya yang Adil

  • Melindungi hak-hak masyarakat adat dan petani dengan menegakkan hukum terhadap perusahaan yang melakukan perampasan lahan.

  • Memperkuat ekonomi kerakyatan dengan memberikan insentif bagi UMKM dan koperasi, bukan hanya korporasi besar.

  • Mendorong kebijakan pro-lingkungan, seperti moratorium izin tambang dan sawit di kawasan yang berisiko mengalami kerusakan ekologi.

3. Penguatan Kebebasan Pers dan Partisipasi Publik

  • Mencegah monopoli media, sehingga pemberitaan lebih beragam dan independen.

  • Melindungi kebebasan akademik, agar para intelektual dapat berkontribusi dalam memberikan solusi tanpa takut represi.

  • Meningkatkan literasi politik masyarakat, sehingga rakyat tidak mudah dimanipulasi oleh propaganda elite.

4. Reformasi Hukum dan Penegakan Anti-Korupsi

  • Mengembalikan independensi KPK agar dapat bekerja tanpa intervensi politik.

  • Menindak tegas pelaku korupsi, termasuk pejabat tinggi dan pengusaha yang selama ini kebal hukum.

  • Memastikan transparansi dalam sistem peradilan, sehingga tidak ada lagi praktik suap dan jual beli kasus.

Apakah Sejarah Akan Berulang?

Indonesia telah mengalami siklus naik dan turunnya demokrasi:

  • Orde Lama (1950-1965) ditandai dengan otoritarianisme Soekarno.

  • Orde Baru (1966-1998) dikuasai oleh Soeharto dengan sistem oligarki berbasis kroni.

  • Era Reformasi (1998-sekarang) sempat membawa harapan, tetapi kini kembali mengalami regresi akibat dominasi oligarki.

Apakah kita akan kembali jatuh dalam lingkaran sejarah yang tragis, atau bangkit dengan membangun demokrasi yang lebih sehat?

 Jawabannya ada pada kesadaran dan keberanian rakyat untuk melawan dominasi oligarki. Jika tidak ada perlawanan yang nyata, maka demokrasi hanya akan menjadi ilusi, dan kita akan terus terjebak dalam siklus kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat.

Baca Dayak dalam Pusaran "Political Decay" Bangsa Indonesia Hari Ini

Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan demokrasi dari cengkeraman oligarki yang semakin kuat. Dengan dominasi elite dalam politik, penguasaan sumber daya, kontrol terhadap media, serta pelemahan institusi hukum, oligarki telah menjelma menjadi tirani modern. Namun, harapan untuk keluar dari situasi ini masih ada jika ada upaya serius dalam reformasi politik, redistribusi sumber daya, penguatan kebebasan sipil, dan penegakan hukum yang lebih transparan. 

 Sejarah memang bisa berulang, tetapi dengan kesadaran kolektif, kita dapat mengubah arah perjalanan bangsa menuju demokrasi yang lebih adil dan inklusif. *)

LihatTutupKomentar