Kebenaran dalam Fiksi

fiksi, kebenaran, ilusi, Dayak, Don Quixote, nina bobok, taktik penguasa, mimpi, sejarah, Kafka, Gregor Samsa, Kendall Walton, make-believe, Hamlet,

Kebenaran dalam Fiksi
Kebenaran dalam Fiksi by AI.

🌍 DAYAK TODAY  |  JAKARTA: Dalam dunia yang bergerak antara kepastian dan ilusi, fiksi hadir bukan sekadar sebagai pelarian, melainkan sebagai penjelasan lain atas kenyataan. 


Kita tahu realitas tak pernah bisa kita genggam sepenuhnya. Ada celah-celah dalam narasi besar yang kita sebut sejarah; ada lompatan dalam logika yang kita anggap sebagai fakta. 

Fiksi datang mengisi ruang-ruang kosong itu—bukan untuk menggantikannya, tetapi untuk memperlihatkan bahwa dunia, sebagaimana kita pahami, selalu lebih luas dari yang kita bayangkan.

David Lewis, filsuf yang tak banyak dibicarakan di kafe-kafe sastra, pernah mengajukan gagasan: bahwa fiksi, dalam batas-batas tertentu, memiliki kebenarannya sendiri. 

Ada sebuah “dunia mungkin” dalam setiap novel, cerpen, atau puisi, di mana tokoh-tokohnya bergerak, mencintai, berkhianat, dan mati seperti kita, namun dalam aturan yang berbeda. Dunia mungkin itu bukan sekadar rekaan belaka, melainkan sebuah cara lain untuk memahami kehidupan.

Orwell menulis 1984 bukan karena ia percaya bahwa Big Brother benar-benar ada, melainkan karena ia tahu bahwa pengawasan totalitarian bisa tumbuh kapan saja, di mana saja. 

Kafka menggambarkan Gregor Samsa yang berubah menjadi serangga bukan karena ia ingin kita membayangkan biologi yang absurd, tetapi karena ia hendak menunjukkan bagaimana keterasingan bekerja dalam kehidupan manusia. Di situ, fiksi memberi kita kebenaran yang tak bisa diungkap dengan angka-angka statistik atau laporan jurnalistik.

Tapi di mana batas antara fiksi dan dusta? Kita sering mendengar pernyataan bahwa sastra adalah kebohongan yang diceritakan dengan baik. Mungkin ada benarnya. Namun fiksi tidak berdiri dalam ranah kebohongan, melainkan dalam ranah kemungkinan. Ia adalah sebuah make-believe, seperti yang dikatakan oleh Kendall Walton. Kita tahu bahwa Don Quixote tak pernah ada, tetapi kita juga tahu bahwa kegilaan seorang idealis bisa menghancurkan sekaligus menyelamatkan dunia. Kita tahu bahwa Hamlet hanyalah tokoh dalam drama, tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa ia lebih hidup daripada sebagian dari kita?

Fiksi, dengan segala rekaannya, adalah cermin yang membengkokkan dunia agar kita bisa melihatnya lebih jelas. Di sana, di antara yang nyata dan yang imajiner, kita menemukan kebenaran yang tak pernah bisa kita tangkap sepenuhnya di dunia ini. Dan mungkin, itulah sebabnya kita terus membaca. Terus menulis. Terus hidup dalam kisah-kisah yang tak selalu terjadi, tetapi selalu benar.

Namun, fiksi tak hanya lahir dari tangan para sastrawan, tetapi juga dari ruang kekuasaan. Para penguasa, sejak dahulu kala, telah menyadari bahwa imajinasi bukan sekadar milik seniman, tetapi juga alat ampuh untuk menundukkan rakyat. Kekuatan fiksi bukan hanya ada di dalam novel dan puisi, tetapi juga dalam narasi-narasi politik yang disusun untuk membentuk persepsi masyarakat.

Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang membangun mitos tentang diri mereka, menciptakan citra sebagai penyelamat, sebagai pahlawan yang ditakdirkan untuk memimpin. Kaisar Romawi menggunakan propaganda seni dan sastra untuk menampilkan diri mereka sebagai utusan para dewa. Rezim-rezim totalitarian di abad ke-20 menguasai media, mengendalikan narasi sejarah, dan menyusun ulang kebenaran demi menjaga dominasi mereka.

Orwell telah mengingatkan kita tentang bahaya ini dalam 1984, di mana pemerintah menciptakan fiksi yang harus dipercayai oleh seluruh rakyatnya. “Siapa yang mengendalikan masa lalu, mengendalikan masa depan,” tulisnya. Fakta dapat dihapus, sejarah dapat ditulis ulang, dan kebenaran dapat diubah sesuai dengan kepentingan penguasa. Kita menyaksikan bagaimana di banyak negara, pemerintah membangun mitologi tentang kejayaan nasional, menjadikan rakyat sebagai pion yang terus-menerus dimabukkan oleh mimpi-mimpi besar, agar mereka tidak sadar bahwa mereka sedang kehilangan kebebasan berpikir dan bertindak.

Di banyak tempat, fiksi yang diciptakan oleh kekuasaan bukanlah sekadar kisah dongeng, melainkan strategi untuk membungkam kritik. Kita melihat bagaimana media sering kali diarahkan untuk menampilkan narasi yang seolah-olah rakyat hidup dalam kemakmuran, padahal ketimpangan sosial menganga lebar. Bagaimana janji-janji pembangunan diceritakan sebagai kisah besar yang harus diyakini, sementara tanah-tanah rakyat dirampas demi proyek-proyek yang menguntungkan segelintir orang.

Narasi-narasi ini sering kali dikemas dengan cara yang meyakinkan. Mereka menggunakan bahasa yang menyentuh emosi, membangkitkan nasionalisme, atau bahkan membajak agama sebagai alat legitimasi. Masyarakat yang terus-menerus dicekoki dengan fiksi semacam ini perlahan-lahan kehilangan daya kritisnya. Mereka tak lagi mempertanyakan keabsahan janji-janji penguasa, karena mereka telah percaya bahwa mereka sedang berjalan menuju kejayaan—meskipun kenyataan di sekitar mereka berkata lain.

Tetapi di sinilah peran penting fiksi yang sesungguhnya—fiksi yang lahir dari tangan para penulis, bukan dari propaganda politik. Sastra, sejak dulu, adalah ruang untuk menantang narasi resmi. Para pengarang besar, dari Pramoedya Ananta Toer hingga Gabriel García Márquez, menulis untuk membuka mata masyarakat, bukan untuk membius mereka. Mereka menunjukkan bahwa fiksi bisa menjadi alat pembebasan, bukan sekadar alat kontrol.

Maka, kita harus selalu bertanya: fiksi mana yang sedang kita percayai? Apakah kita larut dalam kisah-kisah yang diciptakan oleh penguasa untuk membuat kita bungkam? Ataukah kita memilih fiksi yang membebaskan pikiran kita, yang menantang kita untuk berpikir lebih dalam, untuk mempertanyakan, dan untuk tidak mudah tertidur dalam mimpi yang bukan milik kita?

Di era informasi ini, batas antara kebenaran dan ilusi semakin kabur. Kita dibanjiri narasi dari segala arah—media sosial, televisi, pernyataan resmi, iklan-iklan yang menjanjikan dunia yang lebih baik. Tapi seperti yang pernah dikatakan seorang filsuf: “Jika sebuah kebohongan diulang cukup sering, ia akan menjadi kebenaran.” Maka, tugas kita bukan hanya membaca fiksi, tetapi juga membacanya dengan kesadaran penuh. Kita harus terus bertanya, siapa yang menulis narasi ini? Untuk tujuan apa? Dan apakah kita akan menerimanya begitu saja?

Fiksi selalu memiliki kekuatan. Ia bisa menjadi alat untuk membebaskan, atau sebaliknya, alat untuk mengendalikan. Tetapi pada akhirnya, kitalah yang harus memilih. Kita bisa membiarkan diri kita tenggelam dalam dongeng yang meninabobokan, atau kita bisa membaca dengan mata terbuka, menyelami kata-kata, dan menemukan kebenaran di antara yang nyata dan yang imajiner.

Jakarta, 01/April 2025.

LihatTutupKomentar