Dominasi Konglomerasi dan Kegagalan Koperasi

Koperasi, konglomerasi, UUD 45, politial will, political do, political interest

Dominasi Konglomerasi dan Kegagalan Koperasi
Lebih 30 tahun topik ini tidak beranjak dan tidak ada jalan di tempat: Dominasi Konglomerasi dan Kegagalan Koperasi. Ilustrasi by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA : Selama lebih dari 30 tahun, sistem ekonomi Indonesia masih berkutat pada pertarungan antara konglomerasi dan koperasi. 

Topik konglomerasi dan koperasi dibahas di seminar nasional. Dibicarakan di kampus-kampus. Paper para profesor dan pakar dibukukan dalam prosiding seminar. Ratusan artikel telah ditulis dan dimuat media.

Baca Koperasi dan Konglomerasi di Indonesia: Lagu Lama yang Masih Tetap Sumbang

Sayangnya, tidak ada perkembangan berarti. Apalagi solusi konkret yang bisa mengubah struktur ekonomi nasional menjadi lebih adil dan merata.

Lagu lama yang masih tetap sumbang

Kita terus terjebak dalam siklus yang sama: ekonomi Indonesia dikuasai oleh segelintir orang. 

Fenomena yang sesuai dengan prinsip Pareto, di mana 80% aset ekonomi berada di tangan 20% populasi. Sementara itu, koperasi yang seharusnya menjadi sokoguru perekonomian sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 tidak berkembang sebagaimana mestinya. 

Bukannya menjadi motor penggerak ekonomi rakyat, koperasi justru sering tersisih oleh sistem yang lebih berpihak pada kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik.

Indonesia telah mengalami berbagai tahap pembangunan ekonomi, terutama sejak era Orde Baru dengan konsep PELITA (Pembangunan Lima Tahun). 

Ketika PELITA V berakhir, banyak pihak mulai mempertanyakan arah pembangunan ekonomi yang lebih berpihak kepada konglomerasi daripada ekonomi berbasis rakyat. Pembangunan ekonomi memang membawa pertumbuhan, tetapi juga menimbulkan masalah serius:

  1. Pemusatan ekonomi pada konglomerat besar – Sekitar 20 kelompok usaha besar menguasai ekonomi nasional dan bahkan memiliki pengaruh besar dalam politik serta kekuasaan negara. Hubungan antara bisnis dan kekuasaan semakin erat, menciptakan oligarki ekonomi dan politik yang sulit ditembus oleh pelaku usaha kecil dan menengah, apalagi koperasi.
  2. Kesenjangan sosial yang semakin lebar – Kelompok kecil yang kaya semakin dominan, sementara kelompok miskin yang berjumlah besar semakin tertinggal. Akibatnya, jurang antara yang kaya dan miskin semakin dalam, menimbulkan kecemburuan sosial yang berpotensi mengancam stabilitas bangsa.
  3. Ekonomi yang tidak inklusif – Koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) masih menghadapi berbagai hambatan, baik dalam akses permodalan, regulasi yang ketat, maupun minimnya perlindungan dari pemerintah. Akibatnya, mayoritas rakyat hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi, bukan pelaku utama.

Political Will, Political Do, atau Political Interest?

Dalam setiap kebijakan ekonomi, selalu muncul pertanyaan fundamental: apakah pemerintah benar-benar memiliki political will untuk membangun sistem yang lebih adil? Ataukah semua kebijakan hanya merupakan bentuk political do yang sekadar tindakan tanpa makna substansial? 

FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Ataukah justru ada political interest yang melanggengkan status quo demi kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik?

Secara teori, pemerintah sering menyuarakan komitmen terhadap ekonomi yang lebih merata, berbasis kerakyatan, dan berpihak pada koperasi serta usaha kecil. 

Dalam banyak dokumen kebijakan, konsep ekonomi berbasis keadilan sosial sering muncul sebagai jargon yang indah. Namun, apakah ini benar-benar diwujudkan?

Jika benar ada political will, maka seharusnya kebijakan yang diambil bersifat pro-rakyat, misalnya:

  1. Perlindungan terhadap koperasi dan UKM dari dominasi konglomerasi yang semakin besar. Regulasi seharusnya dibuat untuk membatasi ekspansi perusahaan besar yang dapat mematikan usaha kecil.
  2. Akses modal yang lebih mudah bagi pelaku usaha kecil dan menengah, tanpa persyaratan yang memberatkan. Saat ini, pinjaman bank lebih mudah diakses oleh konglomerat daripada koperasi yang membutuhkan modal untuk berkembang.
  3. Penguatan ekosistem ekonomi berbasis komunitas, misalnya melalui insentif bagi koperasi dan perusahaan berbasis masyarakat agar mereka mampu bersaing dengan raksasa ekonomi.

Namun, fakta di lapangan sering kali menunjukkan bahwa political will ini hanya sebatas wacana. Ketimpangan ekonomi semakin melebar, koperasi tidak mendapatkan dukungan yang cukup, dan usaha kecil semakin sulit bersaing dengan korporasi raksasa.

Baca The Fertilizer Dilemma at Indonesia's Border: When Politics Overrides Productivity

Banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering kali diklaim sebagai bentuk nyata keberpihakan terhadap ekonomi rakyat. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali bersifat seremonial atau hanya bertujuan memenuhi kepentingan politis tertentu.

Sebagai contoh, dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah telah banyak meluncurkan program bantuan modal bagi UMKM dan koperasi. 

Namun, apakah program tersebut benar-benar efektif? Banyak dari kebijakan tersebut hanya sebatas program tanpa implementasi yang nyata di lapangan. 

Dana yang dikucurkan tidak selalu sampai ke tangan yang benar, birokrasi yang rumit sering kali menjadi penghambat, dan pada akhirnya, program-program ini hanya berakhir sebagai angka di atas kertas.

Political do sering kali menjadi alat pencitraan, di mana pemerintah terlihat "melakukan sesuatu," tetapi tidak ada dampak nyata bagi ekonomi rakyat. Ini bisa kita lihat dalam berbagai bentuk, seperti:

  1. Program bantuan yang tidak berkelanjutan dan hanya bersifat sementara.
  2. Regulasi yang tampak pro-rakyat, tetapi pada praktiknya justru lebih menguntungkan perusahaan besar.
  3. Kampanye pro-koperasi yang hanya muncul saat momentum politik tertentu, seperti menjelang pemilu.

Political Interest: Melanggengkan Dominasi Konglomerasi

Pada akhirnya, banyak kebijakan ekonomi justru lebih condong ke political interest, di mana keputusan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat, melainkan demi mempertahankan status quo dan kepentingan kelompok tertentu.

Fenomena ini terlihat dari bagaimana konglomerasi terus mendapatkan akses istimewa dalam berbagai aspek, seperti:

  1. Kemudahan regulasi dan insentif pajak bagi perusahaan besar, sementara koperasi dan UMKM menghadapi regulasi yang lebih ketat.
  2. Akses permodalan yang lebih luas bagi konglomerat, sementara rakyat kecil harus berjuang dengan bunga kredit tinggi.
  3. Kebijakan investasi yang lebih berpihak kepada korporasi besar, termasuk investasi asing yang sering kali mengabaikan kepentingan lokal.

Political interest ini juga sering diperkuat oleh hubungan erat antara elite politik dan pengusaha besar. 

Banyak kebijakan yang dibuat bukan untuk menciptakan ekonomi yang adil, tetapi justru untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu atas sistem ekonomi nasional.

Membuka Jalan bagi Ekonomi yang Lebih Adil

Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan political interest, maka political will harus diwujudkan dalam political do yang nyata dan berdampak. 

Pemerintah tidak boleh hanya berbicara soal ekonomi berbasis kerakyatan, tetapi juga harus mengambil tindakan konkret untuk:

  1. Mengurangi ketimpangan ekonomi dengan kebijakan yang benar-benar melindungi koperasi dan usaha kecil.
  2. Menghapus berbagai regulasi yang justru menghambat perkembangan ekonomi berbasis komunitas.
  3. Membangun sistem keuangan yang lebih inklusif, di mana akses modal tidak hanya dimonopoli oleh konglomerat.
  4. Menegakkan hukum secara adil agar tidak ada lagi praktik-praktik curang yang merugikan ekonomi rakyat.

Jika political will tetap hanya sebatas retorika, dan political do masih sebatas formalitas. Maka political interest akan terus mengendalikan ekonomi Indonesia. 

Pada gilirannya, rakyat kecil tetap akan menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak kepada mereka.

-- Masri Sareb Putra, M.A. adalah mahasiswa  yang sedang melakukan penelitian disertasi Doktoral pada Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya.


Daftar Bacaan

Meliala, Adrianus (Penyunting). 1993. Praktik Bisnis Curang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Priasmoro, dkk. (editor) 1994. Konglomerasi Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI). 

Rachbini, Didik. 1995. Risiko Pembangunan yang Dibimbing Utang. Jakarta: PT Grasindo.

Subangun, Emanuel. 1995. Kapitalisme Gotong Royong. Yogyakarta: CRI Alocita.
LihatTutupKomentar