Koperasi dan Konglomerasi di Indonesia: Lagu Lama yang Masih Tetap Sumbang
Koperasi dan konglomerasi: lagu lama yang (masih) tetap sumbang.Visualisasi oleh AI berdasar narasi. |
Memanglah koperasi sebagai pranata ekonomi rakyat, terasa amat tepat dimunculkan. Terutama ketika akhir-akhir ini piranti konglomerasi di Indonesia makin merajalela.
Krisis semen yang menguncang masyarakat serta kasus langkanya kertas merupakan ulah (oknum) konglomerat. Mereka melakukan monopoli barang. Dan memainkan harga sesuka udelnya.
Baca Dampak Fluktuasi Harga Minyak Nabati dan Sawit bagi Petani Dayak di Kalimantan
Praktik monopoli seperti itu, dibenarkan oleh hasil studi Bank Dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Dunia mengemukakan bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung kepada sekelompok kecil keluarga yang mendominasi dunia usaha. Satu bukti Undang-Undang deregulasi tidak mampu membendung kekuasaan konglomerasi.
Di antara tokoh nasional yang tersengat, laksana Bung Hatta. Dalam pidato peringatan Hari Koperasi ke-1, 12 Juli 1947, Hatta tegas menyatakan bahwa koperasi merupakan satu-satunya jalan untuk membendung paham kapitalisme yang dihembuskan Barat. Koperasi juga ampuh dijadikan alat menolak komunisme, liberalisme, dan Marxisme. Menurut Hatta, para kapitalis dan pemodal asing yang masih bercokol di Indonesia, hendaknya hanya sementara waktu saja.
Ketika perekonomian nasional berajrah dan memiliki dasar kuat, para kapitalis dan pemodal asing dipersilakan mencari lahan baru. Bung Hatta juga menyatakan, sistem perekonomian nasional yang ideal telah tercancang dalam pasal 33 UUD 1945. "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan."
Menurut Hatta, asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Untungnya, ketika Orde Baru tampil di panggung politik, koperasi makin dikedepankan. Hal itu pun diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkoperasian Nomor 12 Tahun 1967. Isinya, koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Baca Dayak dalam Pusaran Industri Minyak Sawit Dunia yang kian Meningkat
Tetapi pada dasarnya, koperasi yang hidup di negeri ini belum mampu bergerak sebagai soko guru perekonomian. Penyebabnya, praktik monopoli di pasar oleh para konglomerat masih marak terjadi. Akibatnya, banyak koperasi yang terganjal, sulit berkembang.
Misalnya dalam masalah perbankan, banyak koperasi sulit mendapatkan pinjaman. Sebaliknya, bank lebih suka menggelontorkan dana kepada konglomerat. Demikian juga dalam bidang permodalan, pasar (konsumen) hingga kebijakan pemerintah, semuanya kurang berpihak kepada koperasi, sekurang-kurangnya 25 persen dari total saham perusahaan.
Tak lama setelah itu, Presiden mengundang sejumlah konglomerat ke Padepokan, Bogor. Di situ, tonggak monopoli tertancap. Tidak kesempatan itu, imbauan Presiden menyentuh hingga ke masalah konglomerat, yakni mekanisme pengalihan saham dari perusahaan besar ke koperasi.
Guyang bersambut. Masih segar dalam ingatan kita, saat itu, konglomerat William Surya dari Roda Group atas inisiatif sendiri melepas perusahaannya secara cuma-cuma.
Suatu hal yang patut dicatat, sebab tidak semua pereusahaan besar mau mengalah begitu saja.
Baca Munaldus Ungkap Visi Besar Konglomerasi Keling Kumang
Mengapa kurang sesuai? Karena, meskipun saham telah dialihkan ke koperasi, namun tidak berati koperasi berkuasa penuh. Praktiknya, perusahaan besar tetap memainkan peranan.
Meskipun ada mekanisme pengalihan saham itu, tetapi peranan koperasi belum sebanding daripada sekadar mekanisme pengalihan saham konglomerat kepada koperasi, yakni kekuatan pelaku ekonomi di Indonesia makin kurang berimbang.
Ketidakseimbangan antara koperasi, BUMN, konglomerat swasta, serta pengusaha menengah dan kecil begitu kontras terlihat di pasar modal dan perbankan. Bahkan, di pasar modal, belum satupun koperasi mampu menjual obligasi.
Kelemahan yang sama dialami pengusaha menengah dan kecil. Sementara itu BUMN mulai pulih kekuatan, dengan menjual obligasi, melalui PT Jasa Marga dan beberapa bank BUMN.
Ketidakseimbangan kekuatan pelaku ekonomi itulah yang melahirkan oligopoli dan kartel, serta menciptakan dominasi ekonomi. Dominasi lahir memberikan kesempatan bagi penguasa ekonomi untuk menekan harga, menentukan tingkat produksi, mengendalikan distribusi dan pemasaran, serta memperketat sistem perdagangan.
Itulah yang menjadi keprihatinan Amerika Serikat pada abad ke-19. Sebab, waktu itu 67 persen ekonomi negeri itu dikuasai tiga perusahaan besar. Dari sinilah tumbuh inspirasi membuat undang-undang anti monopoli, yakni The Sherman Antitrust Law, 1890.
Undang-undang ini mengubah peta ekonomi AS, dari sistem sentralisasi ke desentralisasi. Sentralisasi hanya memperkaya segelintir orang, sedangkan desentralisasi membuat ekonomi makin berkembang.
Namun sayang, undang-undang ini tidak berlaku di Indonesia. Tidak heran, sejak 1990-an, berbagai dominasi terjadi di negeri ini.
Hasil studi Yoon Hwan Shin dari Universitas Yale menyimpulkan, terdapat 11 konglomerat afiliasi, dimonopoli BUMN.
Bidang yang dikuasai, antara lain pasar, perhubungan, amunisi, asuransi dan jasa telekomunikasi.
Sementara itu, terdapat 45 konglomerasi afiliasi yang ada di luar BUMN.
Dari kondisi ini, kelihatan bahwa peranan koperasi dalam perekonomian nasional tetap kecil.
Untuk menumbuhkan dominasi kuat koperasi, maka pemerintah harus memberi payung hukum yang lebih memadai. Misalnya, lahirnya UU Anti-Monopoli. Selain itu pula, koperasi hendaknya mendapatkan perhatian besar, misalnya dengan memberikan kredit usaha murah, pembinaan manajemen, dan jalur distribusi luas.
Jika koperasi kuat, maka perekonomian nasional pun kuat. Itu sejalan dengan semangat pasal 33 UUD 1945.
Hasil studi Yoon Hwan Shin dari Universitas Yale menyimpulkan, terdapat 11 konglomerat afiliasi, dimonopoli BUMN.
Agar kuat, maka sistem koperasi di negeri ini harus segera dipertegas dan diperbaiki. Jika tidak, koperasi hanyalah mimpi belaka.
Selama ini, banyak regulasi yang dianggap tidak sesuai. Padahal tujuan dari koperasi bukanlah self profit perusahaan semata, melainkan tanggung jawab sosial yang besar.
-- Masri Sareb Putra adalah mahasiswa yang sedang melakukan penelitian disertasi Doktoralnya di Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya.