Tabloid CITRA dan Masa Keemasan Sebagai Kolumnis

Citra, Tabloid, kolomnis, iklan, consumer goods, TV, media cetak, billing, Rajawali Citra Televisi Indonesia, RCTI, SCTV, TPI, Kompas, Republika

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:

Preambul:

Literasi Dayak, dan orang Dayak, patut literat dalam hal media. Media digital yang sedang trend zaman ini diawali media analog. Konten sama, teknologi yang menyampaikan pesan, berbeda, atau berkembang. Itulah yang oleh Fidler (1997) disebut: mediamorfosis.

Silakan mengikuti narasi dari Masri Sareb Putra, salah seorang  putra Dayak yang berkanjang menulis sejak tahun 1987.

Tahun 1990-an adalah masa keemasan saya sebagai kolumnis. Kala itu, hampir setiap bulan, tak kurang dari 14 artikel saya menghiasi berbagai media cetak, dari nasional, regional, hingga lokal. Tak ada koran atau majalah yang luput dari jangkauan pena saya.

Dari media paling bergengsi seperti Kompas, Republika, dan Media Indonesia, hingga koran-koran regional seperti Analisa di Medan, Bali Post, dan Suara Karya. Setiap tulisan saya seolah menemukan jalannya sendiri untuk sampai ke pembaca yang lebih luas, menembus batas-batas geografis dan membawa gagasan ke berbagai pelosok negeri.

Salah satu media yang begitu melekat dalam ingatan saya adalah Tabloid CITRA. Di era kejayaannya, CITRA bukan sekadar tabloid hiburan atau gaya hidup; ia menjadi ruang bagi opini-opini tajam, refleksi mendalam, serta wacana yang membentuk pemikiran banyak orang. Di sinilah, saya merasakan kebebasan dalam menulis: menyuarakan gagasan, membedah fenomena sosial, hingga mengkritisi kebijakan dengan bahasa yang lugas namun tetap bernas.

Bagi seorang kolumnis, produktivitas adalah segalanya. Bukan hanya tentang seberapa banyak tulisan yang diterbitkan, tetapi juga bagaimana setiap artikel mampu memberi dampak, menggugah pikiran, dan meninggalkan jejak di benak pembaca. Setiap kali melihat tulisan saya dimuat—entah di halaman opini, budaya, atau feature—ada kepuasan tersendiri. Seperti seorang petani yang melihat sawahnya menguning menjelang panen, atau seorang pelukis yang menyelesaikan satu mahakarya.

Tahun-tahun itu mengajarkan saya bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, melainkan panggilan. Sebuah panggilan untuk terus berpikir kritis, berbagi wawasan, dan tak pernah berhenti berkarya.

Citra
NO. 148/II/25-31 JANUARI 1993

IKLAN: MEDIA CETAK VERSUS TELEVISI

Oleh: RM Sareb Putra

Salah satu media promosi yang secara langsung bisa menyampaikan pesan dan mendatangkan penjualan adalah iklan. Dalam mempertinggi pertumbuhan periklanan di Indonesia, tidak bisa tidak menyebut TV swasta.

Artikel di Citra era booming media cetak.
Artikel di Citra era booming media cetak.


Sejak Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) melepas dekoder, terjadi perubahan perilaku periklanan di Indonesia, yakni peningkatan billing. Apalagi sejak 1989, dengan kehadiran RCTI, serta televisi swasta seperti SCTV dan TPI, peta persaingan bisnis iklan semakin ketat.

Menurut lembaga riset pemasaran Momimart, pada tahun 1990, belanja iklan di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 19% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, Surindo Utama, yang secara khusus memantau iklan di RCTI, menyebutkan bahwa televisi berhasil merebut pasar iklan terbesar, melebihi media cetak dan radio.

Meskipun media elektronik (TV) meraih pangsa pasar terbesar, hal ini tidak otomatis menyingkirkan pemasukan dari media cetak. Alasannya, anggaran iklan bukan diambil alih sepenuhnya oleh televisi, melainkan dibagi dengan media lainnya.

Kehadiran televisi swasta sering dianggap mengancam eksistensi media cetak. Ada kekhawatiran bahwa TV akan membunuh media cetak. Hal ini bukan tanpa alasan. Iklan di TV, dengan tampilan visual yang menarik, membuat media cetak harus mengantisipasi kemungkinan pergeseran pasar.

Namun, meskipun RCTI kini telah menjadi TV yang bisa diakses semua pemirsa setelah dekoder dibuka, para pengiklan mulai menyadari bahwa menempatkan iklan di media cetak relatif lebih murah dibandingkan di televisi.

Seberapa besar belanja iklan di Indonesia?

Pada tahun 1991, total belanja iklan di Indonesia mencapai Rp 471,8 miliar, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 316,6 miliar.

Lalu, produk apa saja yang mendapat porsi belanja iklan terbesar?

Berdasarkan data tahun 1990, berbagai macam produk dan jasa menjadi komponen utama dalam belanja iklan. Bahkan, produk seperti rokok, farmasi, dan perbankan menempati posisi teratas dalam pengeluaran iklan.

Belanja iklan 1990 (dalam juta rupiah)

ProdukTV (RCTI)Surat KabarMajalahRadio
Personal care16.77912.21614.04714.887
Food & beverages12.42111.8569.9923.486
Pharmaceuticals8.0196.7065.3023.446
Banks6.71930.0877.6327.430
Cigarettes5.0147.6205.800-
Automotive4.0565.8524.150-
Print media4.1055.8005.500-
Apparel/Textile2.4865.6503.650-
Market/Retail2.05212.08415.9181.025

Dari sudut pandang pengiklan, efektivitas iklan sangat bergantung pada frekuensi penayangan.

Menurut BIS, pada tahun 1990 realisasi belanja iklan untuk sektor perbankan mencapai Rp 60,3 miliar, namun turun menjadi Rp 53,3 miliar pada tahun 1991. Hingga tahun 1992, realisasi belanja iklan di surat kabar mengalami penurunan menjadi Rp 20,3 miliar.

Sebaliknya, pemasukan iklan dari media elektronik cenderung meningkat. BIS memperkirakan bahwa pada tahun 1993 belanja iklan di televisi akan mengalami lonjakan signifikan.

Bisa dipastikan bahwa pada tahun 1993, pengiklan dari berbagai kategori industri akan semakin banyak menggunakan televisi untuk menayangkan iklan, terutama produk seperti sampo, sabun mandi, makanan, kosmetik, serta consumer goods lainnya—meskipun tidak semuanya akan beralih ke TV.

Untuk menghadapi tren ini, RCTI tengah mengkaji kemungkinan menurunkan tarif iklan guna menarik lebih banyak pengiklan.

Tata Cara Periklanan

Iklan di media cetak memungkinkan pengiklan memilih cara penyampaian pesan yang lebih nyaman karena mereka dapat mengontrol biaya dengan lebih fleksibel.

Berbeda dengan televisi, di mana iklan memiliki biaya produksi dan penayangan yang jauh lebih tinggi. Bahkan industri rokok, yang biasanya aktif beriklan di media cetak, kini mulai mempertimbangkan kembali biaya tinggi yang harus dikeluarkan jika beriklan di televisi.*)

LihatTutupKomentar