Kampung Wirajaya Dayak
Kampung Wirajaya Dayak: mimpi yang akan jadi nyata. Ilustrasi by AI. |
Oleh Hendy Dermawan
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA:
Saya selalu percaya bahwa manusia tidak lahir dari tanah, tetapi dari cerita. Tanah hanya membungkus tubuh. Tapi cerita —itulah yang menjaga jiwanya tetap hidup.
Dan di sebuah sudut Borneo, di mana akar-akar besar saling bersilang di antara lembab dan sunyi, saya mendengar sebuah cerita yang belum selesai. Ia bernama Kampung Wirajaya Dayak. Bukan kampung dalam pengertian tempat semata, melainkan ruang imajinasi yang berani melawan lupa.
Kampung Wirajaya Dayak bukan nostalgia yang ditanam di halaman rumah, tetapi keberanian yang tumbuh dari akar dan menjulang ke langit. Sebuah utopia yang justru ingin dicoba di dunia yang tak sempurna, dengan luka-lukanya, dengan ragu-ragunya, dengan harapan kecil yang terus menolak padam.
Baca Adeng, Pejuang Tanah dan Wilayah Adat Terati yang Dibunuh namun Tak Pernah Mati
Kisah reflektif dari kampung-kampung Dayak
Di tengah derasnya arus modernisasi, orang Dayak berdiri di persimpangan jalan: antara kehilangan akar atau menumbuhkan harapan.
Jalan pertama lebih sunyi, dan sering tak disadari. Ia datang dalam bentuk ketergesaan membangun, menambang, dan mengganti segala yang "lama" dengan yang katanya “baru.”
Jalan kedua lebih berat: ia mengajak kita menoleh ke belakang bukan untuk mundur, melainkan untuk menyadari dari mana kita berasal. Karena masa depan tidak dapat dibangun jika masa lalu dikubur hidup-hidup.
Kita tak mungkin terbang tinggi jika akar kita tercabut dari tanah.
Kisah-kisah reflektif dari kampung-kampung Dayak masa kini menunjukkan betapa ajaran leluhur perlahan menghilang dari keseharian.
Bahasa ibu yang tak lagi diajarkan. Hukum adat yang mulai diabaikan. Nilai gotong royong yang digantikan kepentingan pribadi.
Tradisi bukan lagi panduan, tapi tontonan musiman.
Lalu ke mana arah kita jika warisan ini tak dijaga?
Apakah kita akan membiarkan generasi mendatang tumbuh hanya dengan setengah ingatan?
Atau malah tanpa ingatan sama sekali?
Baca Ngayau (1)
Padahal, Borneo —pulau yang oleh para leluhur disebut dengan nama penuh kasih dan hormat— menyimpan kekayaan yang luar biasa. Hutan dan sungainya bukan hanya lanskap, tapi nadi kehidupan. Borneo menyumbang hasil hutan bukan kayu seperti madu, rotan, tengkawang, dan kopi yang telah lama menopang ekonomi lokal.
Pulau itu luasnya lebih dari tujuh ratus ribu kilometer persegi. Angka yang dingin, nyaris tak punya denyut. Tapi barangkali, seperti semua yang terlalu besar, ia justru tak bisa disusutkan hanya dalam bilangan. Sebab Borneo — atau Kalimantan, atau Pulau Laki-Laki, sebagaimana disebut dalam bahasa asalnya — bukan sekadar daratan yang dihitung dengan alat ukur.
Borneo, dahulu bernama Varuna-dvipa era pengaruh Hindu-India, adalah gugusan hutan, sungai yang malas namun teguh, kabut yang menetap seperti kerinduan yang tak selesai. Di sanalah Indonesia menancapkan sebagian besar tubuhnya: Kalimantan, 73 persen dari pulau itu. Sisanya, Malaysia menamai dengan Sabah dan Sarawak. Brunei hadir kecil, nyaris seperti jeda dalam sebuah kalimat panjang. Tapi semua itu, seperti puisi, tak pernah utuh bila satu bagian dihapus.
Borneo tak bisa dipisah dari kisah-kisah manusia yang membentuknya: yang pertama adalah Dayak sebagai first nation yang menenun waktu dengan cerita. Yang mengenal tanah seperti mengenal nama sendiri, yang percaya bahwa hutan punya roh, dan sungai punya suara.
Pulau ini tak pernah benar-benar diam. Ia bergerak dalam ingatan dan luka, dalam ancaman dan harapan. Ia luas — ya, luas — tapi lebih luas lagi adalah kemungkinan yang dibawanya.
Tapi ada kekayaan lain yang tak bisa dihitung dengan mata uang: sistem sosial yang berpijak pada gotong royong, hukum adat yang bersandar pada keadilan restoratif, dan seni ukir yang tak hanya mengukir kayu, tapi juga ingatan.
Ancaman nyata terus mengintai
Namun ancaman nyata terus mengintai. Dari ketertinggalan pendidikan hingga migrasi ke kota. Dari kemiskinan struktural hingga hilangnya kebanggaan terhadap jati diri.
Di banyak desa, anak-anak lebih fasih menyanyikan lagu pop Korea daripada mantra-mantra hutan yang dulu menyelamatkan hidup manusia. Bahkan listrik dan internet —dua tanda zaman modern— masih menjadi kemewahan. Dan yang paling menyakitkan dari kehilangan itu adalah ketika kita tidak lagi sadar bahwa kita telah kehilangannya.
Baca Damang Batu dan Pertemuan Tumbang Anoi 1894
Lalu, Kampung Wirajaya Dayak muncul. Bukan sebagai proyek pembangunan, tapi sebagai pernyataan sikap. Ia bukan tempat yang sekadar akan dibangun secara fisik, tetapi ruang nilai yang ditumbuhkan dari dalam.
Dari kesadaran, dari percakapan panjang, dari luka dan harapan yang dikumpulkan. Empat pilar utama dibangun untuk menopang mimpi ini: pendidikan kontekstual, ekonomi lokal, pelestarian budaya, dan ekologi spiritual.
Pendidikan di sini bukan hanya soal membaca buku, tapi juga membaca alam dan sejarah sendiri. Ekonomi bukan hanya soal jual beli, tapi soal keberlanjutan dan martabat. Pelestarian budaya bukan konservasi mati, tapi transformasi hidup—bagaimana tradisi bisa berdialog dengan zaman.
Dan ekologi spiritual adalah kesadaran bahwa hutan bukan hanya sumber daya, tapi rumah jiwa. Semua ini bersandar pada satu hal: bahwa perubahan sejati tak mungkin datang dari luar, tapi dari dalam komunitas sendiri.
Saya membayangkan seorang anak muda mengajar sambil memintal kembali kisah neneknya. Di ruang belajar terbuka, di bawah rindangnya pohon tengkawang, anak-anak tidak hanya menyalin alfabet latin, tetapi juga mendengar cerita tentang bagaimana manusia harus hidup dengan pohon.
Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan
Seorang ibu menenun, bukan untuk turis, tetapi untuk cucunya—agar setiap simpul benang membawa makna. Seorang tetua adat berdiri, bukan sebagai simbol, tetapi sebagai sumber hikmah. Di kampung ini, rotan tak hanya dipanen, tetapi dirawat. Madu tak hanya dikumpulkan, tetapi dipahami sebagai hasil kesepakatan halus antara manusia dan alam.
Terbit secercah harapan memang di depan. Tapi ia bukan harapan yang ringan. Ia adalah harapan yang menuntut kerja keras, kolaborasi, dan kesabaran. Yang hanya bisa diujudkan oleh pemimpi di siang hari dan dia yang bekerja tanpa mengenal malam.
Kisah-kisah nyata dari desa-desa Dayak disajikan sebagai cermin dan lentera. Di sana kita melihat bahwa perubahan memang mungkin, walau perlahan. Sebuah desa mulai menggunakan kembali bahasa ibunya. Yang lain mendirikan koperasi kecil berbasis rotan. Ada pula yang memanggil kembali anak-anak mudanya dari kota untuk memimpin kampung. Semua ini bukan hal besar, tapi dari yang kecil itulah masa depan disulam.
Maka Kampung Wirajaya Dayak adalah ajakan. Ajakan kolektif untuk bersatu membangun masa depan bersama. Ini bukan kerja satu lembaga, satu pemerintah, satu tokoh. Ini kerja berjemaah: anak muda, tetua adat, ibu rumah tangga, diaspora Dayak di kota, kampus, LSM, dan bahkan CSR yang sadar. Karena kampung bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat pulang. Dan siapa pun yang pernah mencintai kampungnya tahu: pulang adalah bentuk paling jujur dari pengabdian.
Dan saya pun teringat akan satu kalimat yang mungkin bisa jadi pengantar doa: “Bangkit dari warisan, tumbuh untuk anak cucu.”
Seuntai kalimat yang tidak perlu diteriakkan di podium, cukup dibisikkan di telinga tanah. Karena dari tanah itu, akar akan kembali tumbuh, dan langit akan kembali terbuka. Karena Kampung Wirajaya bukan hanya rencana —ia adalah nyala. Sebuah api yang menyala di dalam diri setiap anak Dayak.
Dan tugas kita bukan menyalakan api itu, melainkan menjaga agar ia tak pernah padam.
Jakarta, 10 April 2025