Kabinet tanpa Menyertakan Dayak : Perlu ada Partai Dayak (Lagi)
Tak satu pun suara Dayak direken, apalagi menggema di Istana by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Saya senantiasa percaya. Kekuasaan bukan soal siapa yang memegang palu godam sidang, tapi dia yang menentukan arah angin.
Dalam satu dekade terakhir, Dayak di Kalimantan Barat telah mencapai tonggak yang layak disebut keberhasilan elektoral.
Ada tujuh bupati. Satu wakil gubernur. Empat kursi di DPR-RI. Satu di antaranya memimpin komisi penting DI DPR-RI, yakni Infrastruktur/Pembangunan/ Transportasi. Tak buruk-buruk amat, sebenarnya!
Baca Grace Lukas dan Perjuangan Sertifikat Lahan dan Rumah Warga di Kabupaten Sekadau
Itu merupakan capaian yang, di atas kertas, seharusnya menjadi jalan menuju pengaruh yang lebih substansial. Tapi tetap saja, tak satu pun nama dari tanah itu terdengar dalam pembacaan kabinet.
Tak satu pun suara Dayak direken, apalagi menggema di Istana.
Lalu, kita bertanya: mengapa?
Mungkin jawabannya bukan hanya soal politik, tapi soal memori. Sejarah kita punya cara sendiri menyusun ingatan dan melupakan luka.
Dayak dijadikan kuda troya
Dayak, jika diperlukan, dirangkul. Jika tidak, dilupakan.
Itu bukan sekadar sentimen. Ia adalah pola. Sejak kerusuhan etnis tahun 1967 di Kalimantan Barat, Dayak lebih sering disebut dalam bab-bab sejarah yang berjudul “konflik,” “pemberontakan,” atau “ketegangan.” Tapi jarang ditulis sebagai arsitek dalam pembangunan nasional. Nama mereka hadir ketika negara butuh stabilitas, pengamanan, atau legitimasi lokal. Namun begitu genting itu berlalu, suara mereka kembali dibungkam oleh hening, seperti nyanyian malam yang ditelan fajar.
Baca Longhouse of the Dayak People: A Reflection of Living Values
Ketika kerusuhan etnis pecah di tahun itu—1967—Dayak diposisikan sebagai kekuatan lokal yang harus "dijinakkan". Bukan dipahami. Bukan diajak bicara. Mereka dibaca dari balik meja militer, bukan meja musyawarah. Dan sejarah itu berulang dengan cara yang berbeda, tetapi luka yang sama.
Menjelang pembentukan dan selama Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi bahan perbantahan yang keras, narasi itu muncul kembali dalam balutan modernitas.
Jakarta yang jenuh ingin bernapas di tanah yang katanya masih “segar.” Tapi bagi masyarakat lokal—khususnya Dayak di Kalimantan Timur—IKN bukan hanya mimpi urbanis. Ia bisa menjadi pengulangan sejarah. Mereka dirangkul untuk tanahnya, bukan untuk pikirannya. Dirangkul untuk adatnya yang ditampilkan sebagai ornamen kebangsaan, tapi tak diajak duduk dalam perumusan undang-undangnya.
Yang datang ke Kalimantan bukan hanya pembangunan, tapi juga paradigma: bahwa pusat selalu tahu lebih baik dari pinggiran. Maka suara lokal dibingkai sebagai partisipasi, tapi keputusan tetaplah monopoli. Padahal, siapa pun yang pernah tinggal di Borneo tahu, suara alam di sana bukan untuk diperintah, tapi didengar.
Dayak tahu itu. Tapi mereka jarang diberi pengeras suara.
Di Kalimantan Barat, di tengah capaian politik lokal yang tampak mengilap, mereka tetap tidak disebut dalam formasi kabinet. Di Jakarta, barangkali tak satu pun tokoh Dayak masuk dalam diskusi calon menteri. Bahkan mungkin, tak terpikirkan. Sebagian besar politisi pusat masih membaca Dayak dari foto-foto hiasan bandara, bukan dari buku-buku sejarah.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Mereka lupa. Lupa bahwa bangsa ini disusun bukan hanya oleh kota-kota besar, tapi juga oleh akar yang tumbuh jauh dari jantung republik. Tanah Dayak bukan sekadar penyedia kayu, emas, dan sawit. Tapi juga penjaga identitas yang sudah lama ditinggalkan oleh peta ekonomi.
Saya tidak ingin meromantisasi. Politik, saya tahu, tak dibangun dari puisi. Tapi kadang puisi diperlukan agar politik tak menjadi begitu bisu.
Dan kalau kita harus menulis ulang sejarah, mari mulai dengan memberi nama pada yang selama ini disembunyikan oleh jeda. Bahwa orang Dayak bukan lagi sekadar warga daerah. Mereka adalah pemilik sah republik ini.
Dibutuhkan saat darurat
Tak ada bangsa yang adil bila sebagian warganya hanya dibutuhkan saat darurat. Tak ada keadilan bila satu kelompok hanya dikenal ketika gunung meletus, ketika banjir datang, ketika ibukota dipindah.
Barangkali, bangsa ini masih perlu belajar bahwa representasi bukanlah hadiah. Ia adalah hak. Dan hak tidak boleh dikalkulasi berdasarkan popularitas, lobi, atau kedekatan politik.
Baca Ngayau (1)
Tapi itu pelajaran yang tidak akan datang sendiri. Ia harus diperjuangkan. Dengan kata. Dengan suara. Dengan ingatan.
Sebab, pada akhirnya, politik bukan hanya tentang siapa yang menang. Tapi tentang siapa yang diakui.
Dan pengakuan, seperti cinta, tak lahir dari keterpaksaan. Tapi dari kesediaan untuk melihat yang selama ini tidak terlihat.
Perlu ada Partai Dayak (lagi)
Pada awal kemerdekaan, duet Oevaang Oeray dan Palaunsoeka mendirikan Partai Daya (PD), yang cukup diperhitungkan. Namun, dinamika politik nasional tidak memungkinkannya untuk berkembang, dan partai ini dibubarkan oleh Basuki Rachmat tiga bulan lebih cepat dari yang seharusnya.
Baca Negara Leviathan
Inilah perbedaan dengan Malaysia saat ini, di mana banyak mentri dari kalangan Dayak: Di Malaysia, orang Dayak punya partai sendiri dan memimpin partai tersebut. Punya partai sendiri ternyata membuat kuat secara politik. Selain untuk bargaining posisi, juga untuk: menekan.
Mencermati hak-hak politis Dayak, sebagai warganegara tidak diperhatikan, agaknya perlu dipikirkan mendirikan Partai Dayak lagi. Musykilkah? Tidak! Bukankah di Indonesia telah ada preseden dimungkinkannya partai lokal?
-- Rangkaya Bada