Duri Cinta Kebun Sawit (27) | Pleasure dan Job yang Saling Silang

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat,

Duri Cinta Kebun Sawit (27)
Pleasure dan Job yang saling silang by AI.

Sepulang dari kantor.

Magdalena tak langsung pulang. Ia mengarahkan mobilnya menuju sebuah rumah kecil di pinggir kota—rumah Janting.

Di sana, di balik jendela dengan tirai tipis yang bergoyang pelan diterpa angin sore, ia melihat lelaki itu sedang menulis. Di meja kecil, secangkir kopi masih mengepulkan uap, dan sebatang rokok tergeletak—belum sempat dihisap.

Janting tampak tenang. Tapi Magdalena tahu: ketenangan itu palsu. Ada badai di dalam kepalanya.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (26) | Tupai yang Jatuh ke Tanah

Ia membuka pintu pelan, nyaris tanpa suara.

“Kau tidak mengetuk?” tanya Janting tanpa menoleh.
“Kau tidak mengunci pintu,” jawab Magdalena ringan.

Janting menoleh. Senyum tipis melengkung di bibirnya.
“Lalu apa yang kau cari kali ini? Tubuhku? Atau jawaban dari pertanyaan yang tak pernah kau ucapkan?”

Magdalena menatapnya lama. Matanya gelap, dalam.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku.”

Tak ada jawaban. Hening melapisi ruang itu.

Magdalena melangkah mendekat. Duduk di atas meja, tepat di depan wajah Janting.
“Aku tahu. Aku tak akan memaksa kau bercerita. Tapi jangan anggap aku buta pada aroma kegelisahanmu.”

Janting berdiri. Menyentuh dagunya pelan.
“Aku sedang jatuh cinta. Itu kegelisahanku.”

Magdalena tertawa kecil. Sebuah tawa yang menolak percaya.
“Aku tidak butuh puisi.”

“Aku tidak sedang menulis puisi,” balas Janting. “Aku sedang menulis tentang kita.”

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (25) | Sentuhan yang Mengerti

Magdalena terdiam. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasa. Perlahan, ia menarik tangan Janting, meletakkannya di dadanya.
“Kalau kau memang sedang jatuh cinta…” bisiknya. “Tunjukkan. Dengan cara yang paling kau kuasai.”

Dan seperti pertunjukan yang hanya mereka pahami, tubuh mereka kembali menyatu.

Tak ada ledakan. Tak ada meja yang bergeser atau dinding yang menjadi sandaran.

Kali ini mereka lambat. Dalam. Setiap gerakan tubuh adalah huruf.

Dan mereka sedang menulis sebuah novel, di antara seprai putih dan napas yang menghangatkan leher.

Magdalena mengerang pelan. Kepalanya bersandar di dada Janting saat tubuhnya mencapai puncak—lagi.

Bukan karena ia haus.
Tapi karena ia mulai kecanduan.

***

Hari itu Magdalena mengenakan blazer hitam yang membalut tubuhnya sempurna. Kemeja sutra putih menyentuh kulitnya lembut, seperti bisikan. Ia tampak dingin. Nyaris tak tersentuh. Tak ada yang bisa menebak bahwa di balik wajahnya yang profesional, ada api yang tak pernah padam.

Rapat berlangsung di ruang konferensi.
Fokus mereka adalah rencana merger yang kian mendekati penandatanganan. 

Magdalena duduk di ujung meja, matanya tajam menelusuri setiap detail dokumen. Namun pikirannya melayang jauh—ke rumah kecil di pinggir kota. Ke lelaki yang diam-diam menyala dalam hidupnya.

Janting.

Lelaki itu bukan hanya sumber kekuatannya. Ia juga percikan yang membakar dari dalam. Api yang tak bisa dikendalikan.

Ponselnya bergetar.

Ia melirik sekilas. Nama Janting muncul di layar. Detak jantungnya berpacu.
Ia tahu, Janting bukan tipe yang sembarang mengirim pesan.

Dari: Janting
Kau terlihat menawan hari ini, Magdalena. Tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Jangan tahan itu terlalu lama. Aku akan menunggumu malam ini.

Magdalena menarik napas panjang.
Pesan itu mengguncangnya dari dalam. Seperti nada yang menyentuh nada lain—membangkitkan resonansi yang lama disimpan. Ada ketegangan di antara mereka. Ketegangan yang tak pernah benar-benar surut. Dorongan yang selalu ingin mendekat.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Namun, ia harus profesional. Ia tak boleh runtuh di hadapan dunia.

"Saya rasa kita perlu membahas lebih lanjut tentang anggaran pemasaran untuk merger ini," ujar Magdalena dengan suara tegas, mencoba mengalihkan perhatian semua orang kembali ke rapat. Namun, dalam hatinya, ia merasa terbelah: terjebak antara dunia yang menuntut keperkasaan profesionalnya dan dunia lain yang menginginkan dirinya terjerumus lebih dalam dalam api hasratnya dengan Janting.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar