Duri Cinta Kebun Sawit (26) | Tupai yang Jatuh ke Tanah

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

 

Duri Cinta Kebun Sawit (26)
Magdalena : Tupai yang jatuh ke tanah by AI.


Tubuh Magdalena yang tadi lelah kembali hidup.

Punggungnya melengkung saat Janting menyusuri lekuk tubuhnya seperti seorang arsitek yang sedang membangun rumah baru. Ia mengerang, pelan dan panjang, seperti lagu yang tak bisa dihentikan.

Magdalena memejamkan mata.
Malam kedua telah dimulai.

Dan Magdalena tahu, ini bukan hanya pertemuan dua tubuh. Ini adalah badai yang akan mengubah arah hidupnya.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (25) | Sentuhan yang Mengerti

Magdalena dan Janting tertidur berpelukan. Namun, pagi datang seperti tamu yang tidak diundang: menyibak kenyataan yang semalaman ditutupi selimut hasrat.

Magdalena terbangun lebih dulu. Rambutnya berantakan. Bibirnya sedikit bengkak karena terlalu banyak dicium. Tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Ia menatap wajah Janting yang masih lelap dan tiba-tiba merasakan rasa takut yang aneh. Ia tahu ia telah melangkah terlalu jauh, tapi lebih dari itu, ia takut karena... ia menyukainya.

Ia bangkit perlahan, menyelimuti tubuhnya dengan kemeja Janting yang masih basah oleh keringat malam tadi. Saat kemeja itu menyentuh kulitnya, 

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (24) |Terikat Sesuatu Lebih Besar dari Sekadar Hasrat

Magdalena terhenti. Aroma tubuh Janting masih tertinggal di sana: maskulin, asin, sedikit manis. Seperti ingatan yang tak bisa hilang meski sudah mandi berkali-kali. Ia menyentuh lehernya sendiri: ada bekas gigitan di sana, lembut, tapi jelas.
Tubuhnya seperti ladang yang baru saja dipanen: lelah, tetapi penuh bekas kehidupan.

Tiba-tiba ponselnya bergetar.

Dari: Suami
"Apakah kamu sempat masak untuk Rea pagi ini? Aku lembur semalam, maaf tak sempat bantu apa-apa."

Magdalena menggigit bibirnya. Ia merasa perih, bukan karena pesan itu, tapi karena... suaminya tetap tidak berubah. Tetap dingin. Tetap jauh, meski tinggal satu atap. Dan Janting... lelaki asing yang kini masih tidur lelap... telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar tubuh.

Janting bergumam, membuka matanya. "Kau mau kabur?"
Magdalena menoleh. "Kau pikir aku pengecut?"

"Tidak," jawab Janting, duduk dan menarik Magdalena ke pangkuannya. "Kau hanya belum tahu cara hidup dengan jujur pada dirimu sendiri."

Magdalena terpaku. Kalimat itu menikam. Lalu, ia mencium Janting.
Kali ini bukan ciuman erotik, tetapi ciuman sedih. Ciuman takut. Ciuman yang mencoba menyembunyikan semua luka dan kebimbangan. Namun tetap saja, dalam ciuman itu, tubuh Magdalena bereaksi. Hatinya gemetar.

Tangannya naik ke tengkuk Janting. Lidah mereka bertemu lagi. Dan dengan cepat, napas mereka berkejaran.


Magdalena terdorong ke meja kerja, punggungnya mengenai tumpukan dokumen perusahaan. Ia mendesah. Bukan karena sakit melainkan karena meja itu, tempat ia biasa menghitung angka, kini jadi altar hasrat yang baru. Tubuhnya terbuka, menyambut dengan rakus. Ia seperti ingin menyatu, melarut, membakar dirinya habis-habisan dalam Janting.
Gemetar, panas, dan basah.
Ia tidak butuh jawaban malam itu. Ia hanya ingin terus merasakan bahwa dirinya hidup sepenuhnya.
Dan ketika tubuh mereka kembali menari, Magdalena tahu: ia telah melangkah terlalu jauh untuk kembali.
Tapi... siapa yang ingin kembali?

***

Tanpa terasa, malam berganti pagi.

Hari itu, Magdalena mengenakan blazer lengan panjang dengan dada yang menyisakan celah. Rambut mayang mengurainya disanggul rapi. 

Dan dengan sepatu hak rendah warna krem, ia tampak anggun sekali. Wajahnya bersinar, bukan karena bedak, tetapi karena semalaman tubuhnya mabuk oleh cinta dan tubuh lelaki yang membuatnya merasa... utuh.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Namun, di ruang rapat lantai 2, ia adalah Magdalena yang lain.
“Rencana merger akan segera ditandatangani,” kata Pak Gani, direktur utama, sambil melirik laptopnya. 

“Bu Magdalena, tolong siapkan semua dokumen sebelum akhir minggu. Kau tahu ini krusial.”

Magdalena mengangguk pelan. “Tentu, Pak.”

Tak satu pun dari mereka tahu, bahwa semalam Magdalena dan Janting—lelaki yang seharusnya menjadi musuh perusahaan—bercinta di meja kerja yang sama tempat dokumen itu disusun.

Dunia ini aneh, pikir Magdalena. Ia bisa jadi profesional di pagi hari, dan jadi liar saat malam turun. Tapi yang membuatnya bergidik bukan soal moral, melainkan soal rasa berkuasa. 

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa bisa memainkan dua peran: istri dari pria yang tak menyentuhnya. Sekaligus kekasih dari pria yang menyentuhnya sampai ke dalam jiwanya.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar