Duri Cinta Kebun Sawit (24) |Terikat Sesuatu Lebih Besar dari Sekadar Hasrat

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

Duri Cinta Kebun Sawit
Dua manusia terikat sesuatu lebih besar dari sekadar hasrat. AI.

Udara malam. Dingin yang menggigit dan merayap ke dalam tulang. Tapi tubuh mereka seperti memancarkan api yang tak terpadamkan. 

Dua anak manusia, terikat oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar hasrat. Sebuah takdir yang mereka sendiri tak sepenuhnya mengerti. 

Dalam keheningan, kedekatan itu semakin tak terhindarkan, seperti magnet yang menarik dua kutub yang sama.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit

"Ada yang salah, Magdalena," kata Janting dengan suara berat, seolah setiap kata membawa beban yang lebih berat dari dunia. Matanya tak bisa lepas dari mata Magdalena yang menatapnya penuh tanya, penuh keresahan.

Magdalena mengangguk, perlahan. "Aku tahu. Aku merasa... ada yang salah. Kita harus segera menghadapi ini. Ada yang ingin menggulingkan kita, di dalam perusahaan itu."

Janting mendekat, tangannya meraih tangan Magdalena. Lembut, tapi ada kekuatan yang terkandung dalam genggaman itu. "Aku di sini, bersama kamu. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi ini."

Mereka saling memandang. Tak ada yang perlu dikatakan lagi. Ada kekhawatiran, ada ketakutan, dan di atas itu semua—ada sebuah ikatan yang lebih dalam. Cinta yang terjalin dalam segala keraguan dan kebingungan yang mereka rasakan.

Dengan sebuah isyarat yang tak pernah terucap, mereka saling mendekat. Janting meraih wajah Magdalena dengan lembut, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lebih dari sekadar sentuhan. Itu adalah ciuman yang mengandung janji—janji untuk bertahan. Janji untuk tetap ada di dalam kegelapan yang datang. Tak ada lagi kata-kata yang diperlukan. Hanya keinginan, yang memecah diam, yang mengalahkan segala keraguan.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (22) | Magdalena Memegang Rahasia Project Cassandra

Dalam kesunyian malam, tubuh mereka saling menemukan, seolah tanah yang mereka perjuangkan ini tahu, bahwa setiap sentuhan mereka adalah langkah menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih berbahaya, namun lebih dekat pada kebenaran mereka. Setiap desahan dan tarikan napas membuat mereka merasa lebih kuat, lebih siap menghadapi dunia yang mencoba menumbangkan mereka.

Janting berdiri di ambang pintu, seperti sebuah bayangan yang dibingkai oleh cahaya rembulan. Hujan mulai turun, tipis, merintik di rambutnya, bahunya, ujung jaket yang kini basah. Tapi matanya, itu yang paling nyata: terbakar seperti bara api di tengah kabut.

Magdalena tak berkata-kata.

Ia mundur sedikit. Memberi jalan tanpa suara. Dan Janting, dengan langkah yang berat, masuk.

Pintu itu menutup dengan lembut, seakan mengunci dunia luar. Di ruang tamu, lampu kuning yang temaram menari di permukaan kulit Magdalena. Daster tipis berwarna salem itu, terlalu tipis untuk malam yang berembun, terlalu tipis untuk seorang lelaki yang dirundung rindu.

Janting mendekat, langkahnya pelan, seperti tak ingin mengusik ketenangan malam. Magdalena berdiri diam, napasnya teratur, namun di dalam hatinya, segala yang terpendam mulai retak.

"Aku mencarimu dalam setiap malam dalam pikiranku," bisik Janting, dan kata-katanya menyusup langsung ke dalam dada Magdalena, seperti ciuman yang tak tampak namun sangat terasa.

Magdalena menatapnya dalam, seolah ingin menguak seluruh isi hatinya dengan mata itu. Tangannya bergerak, gemetar, menyentuh leher Janting, meraba kulitnya yang dingin dan basah oleh hujan. Perlahan ia mendekapnya, dan mereka terbenam dalam keheningan, saling menarik, saling melepaskan, seakan tak lagi mengenal waktu. Seluruh luka dan kerinduan meleleh dalam pelukan yang lebih tulus daripada janji manis.

Bibir mereka bertemu. Pelan, menelusuri garis rahang, lalu bibir, dan turun ke leher. Magdalena mencium dengan kelembutan yang menghapus jejak-jejak masa lalu yang tak ingin dikenang. Daster itu mulai melorot, perlahan, hampir tanpa suara. Dan malam ini menjadi saksi—bukan hanya tubuh yang terbuka, tetapi juga jiwa yang ingin dimiliki, dalam keheningan yang penuh hasrat.

Janting menyentuh punggung Magdalena dengan lembut, jemarinya bergerak seperti pena yang menulis di kulit yang hangat. Mereka bergerak ke sofa, tetapi tak pernah benar-benar duduk. Mereka hanya bersandar, saling mencari, saling membuka, saling kehilangan. Napas mereka memadatkan udara malam, membuat waktu terasa tak berarti.

Magdalena menggigil. Tapi itu bukan karena dingin.

"Aku takut jatuh," bisiknya, suaranya seolah hilang ditelan malam.

"Sudah jatuh," jawab Janting dengan lembut. "Dan aku menunggumu di bawah."

Dalam detik-detik berikutnya, tak ada lagi yang mereka pikirkan selain tubuh yang saling berpadu, selain tatapan yang saling mengerti tanpa perlu kata. Dunia luar pun seakan hilang. Yang ada hanya mereka—kulit, mata, dan detak jantung yang berdetak bersama, seperti irama tak terduga.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Dan malam itu tidak hanya membawa tubuh mereka bersatu, tetapi juga luka. 

Luka yang disembuhkan dengan pelukan yang lama. Dengan bisikan yang penuh patah. Dengan desah yang mengandung pengampunan.


LihatTutupKomentar