Filsafat Dayak sebagai Penanda Kebangkitan Intelektual "Dari Dalam"

Sekadau,etnonumerologi,estetika,epistemologi,Institut Teknologi Keling Kumang,Dayak Research Center,Kalimantan Barat,etika,Dayak,logika,Filsafat Dayak

Tebal             404 halaman
Tim penulis  : Prof. Tiwi Etika, Ph.D., Dr. Patricia Ganing, Dr. Louis Ringah Kanyan, Dr. Wilson anak Ayub, Masri Sareb Putra, M.A., Albertus Imas, M.A., Alexander Mering, S.H.
Penerbit        : Lembaga Literasi Dayak (LLDS) bekerja sama dengan Dayak Research Center (DRC), Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK)
Tahun            : April 2025
Format          : 15 x 23 cm
Harga            : Rp 150.000,--


Menyibak lembar demi lembar buku tergolong gemuk ini adalah seperti membuka sebuah dunia yang selama ini tersembunyi di balik narasi-narasi besar sejarah dan filsafat universal. Dunia itu —yang kerap terlupakan karena pusat perhatian akademik lebih sering tertuju pada pengalaman Barat atau Asia kontinental— kini ditampilkan secara utuh dan menggugah dalam buku ini. 

Filsafat Dayak, sebuah istilah yang mungkin terdengar asing atau bahkan diragukan keberadaannya oleh sebagian kalangan, justru dalam buku ini dihidupkan kembali dengan tanggung jawab akademik yang tinggi, rekonstruksi filosofis yang cermat, dan pengakuan atasnya sebagai warisan intelektual yang hidup.

Filsafat Dayak bukan sekadar buku, melainkan sebuah deklarasi: bahwa dari dalam hutan, dari dalam tanah, dari dalam sungai dan rumah panjang, lahir juga filsafat. 

Baca Dayak, Gua, dan Konsep Kosmologinya

Filsafat yang tidak mengumandangkan bahasa metafisika Barat klasik, melainkan berbicara melalui keheningan ritus, kepakan sayap burung enggang, anyaman tikar, getaran genderang gawai, dan kisah-kisah asal-mula dunia.

Keistimewaan buku ini terletak pada dua hal utama.

Pertama, keotentikan perspektif. Para penulis tidak mengamati dari luar ke dalam, sebagaimana lazim dalam studi-studi etnografis yang menjadikan masyarakat Dayak sebagai objek eksotis belaka. Buku ini dibangun dari dalam nalar Dayak sendiri: dari pengalaman hidup, dari bahasa, dari simbol-simbol yang bermakna dan terus hidup. Ini adalah filsafat yang berpikir dari tubuhnya sendiri—bukan dari tubuh yang dipinjamkan.


Kedua, kesistematisannya. Buku ini melampaui deskripsi; ia membangun bangunan filsafat yang utuh: mulai dari ontologi, kosmologi, etika, estetika, epistemologi, hingga logika dan semiotika. Semua ditata dengan metodologi yang rapi dan reflektif.

Buku ini patut disebut sebagai karya filsafat sejati, bukan sekadar narasi budaya. Ia memenuhi kriteria sebagai disiplin filsafat: kritis, sistematis, reflektif, dan fundamental. Sebagaimana Plato mengingatkan bahwa filsafat bermula dari thaumazein —keheranan eksistensial— demikian pula filsafat Dayak lahir dari pertanyaan seorang anak kepada orang tuanya: mengapa sungai harus dihormati? Mengapa tanah harus dijaga? Mengapa adat harus ditegakkan?

Dari buku ini, pembaca akan memperoleh gizi-intelektual tiga hal penting berikut ini:

  1. Pengalaman epistemik baru: pemahaman bahwa di balik praktik-praktik adat terdapat sistem logika dan nilai-nilai kognitif yang koheren. Konsep keseimbangan, resiprositas, kesakralan, dan belarasa Dayak ternyata mengandung prinsip-prinsip filosofis yang bisa memperkaya etika dan ekologi global.

  2. Dekonstruksi asumsi modern tentang rasionalitas: bahwa logika linear ala Barat bukan satu-satunya bentuk nalar sahih. Rasionalitas Dayak, yang bersandar pada pengamatan, relasi, intuisi ekologis, dan pengalaman kolektif, terbukti sebagai bentuk nalar alternatif yang valid.

  3. Pengakuan atas pluralitas cara berpikir: bahwa filsafat tidak tunggal, dan tidak harus selalu bermuara pada Aristoteles atau Descartes. Filsafat Dayak mengalir seperti sungai Kapuas—melengkung namun tetap menuju pemahaman yang mendalam tentang hidup.

Selain itu buku ini menawarkan filsafat yang membumi dalam praksis:

  1. Etika ekologi Dayak bisa menjadi dasar peradaban baru yang tidak rakus terhadap alam.

  2. Prinsip keseimbangan bisa menata masyarakat yang lebih adil dan egaliter.

  3. Konsep kesakralan hidup bisa menghaluskan kembali jiwa manusia modern yang kian keras dan terburu-buru.

Dengan demikian, filsafat Dayak bukan hanya bahan renungan, tapi juga sumber inspirasi praksis kehidupan. Ia menantang pembaca untuk menata ulang cara hidup, berpikir, dan merawat dunia.

Baca Agama Asli Suku Dayak dari Sisi Akademik

Penulis pengantar buku ini dengan tegas menyatakan: buku ini bukan sekadar membuka diskusi tentang Filsafat Dayak, tetapi menandai kebangkitan sejarah baru dalam dunia filsafat Nusantara. Jika filsafat Eropa lahir dari Agora Athena, dan filsafat India dari tapabrata para resi Himalaya, maka kini kita menyaksikan kebangkitan filsafat dari dalam rimba Borneo. Sebuah kesaksian bahwa filsafat tumbuh di mana pun manusia bertanya dan mencari makna hidup.

Buku ini diharapkan tidak hanya disambut dengan rasa ingin tahu, melainkan dengan rasa tanggung jawab oleh akademisi, pemerhati budaya, pemimpin masyarakat, hingga generasi muda. Masa depan filsafat Indonesia —dan bahkan dunia— terletak pada keberanian untuk mendengar suara-suara bijak yang selama ini dibungkam oleh modernitas: suara tanah, sungai, pohon, dan leluhur. Di antara suara-suara itu, Filsafat Dayak berbicara dengan kejernihan dan kekuatan yang tak terbantahkan.

Baca Rumah Upacara Adat di Tumbang Manggu sebagai Simbol dan Makna Budaya Dayak

Inilah buku pertama Filsafat Dayak komprehensif. Belum ada sebelumnya buku seperti ini.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar