Rumah Upacara Adat di Tumbang Manggu sebagai Simbol dan Makna Budaya Dayak

Tumbang Manggu, Katingan, Kalimantan Tengah, Balai Basarah, tiwah, HIndu, Kaharingan, Bakker, hampatong, pantak, Sanaman Mantikei

 

Rumah adat sebagai kekayaan rohani jasmani Dayak.
Rumah adat di Tumbang Manggu, Katingan, Kalimantan. Kredit foto: RMSP.

KATINGAN - dayaktoday.comBangunan dalam gambar ini merupakan rumah adat di Tumbang Manggu. Lokasi berada di sebuah desa di Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. 

Bangunan ini menjadi saksi tradisi dan kepercayaan masyarakat Dayak yang masih kuat hingga saat ini. 

Struktur dan ornamen dalam bangunan ini bukan sekadar elemen estetika, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual yang diwariskan turun-temurun. Setiap ukiran dan simbol memiliki makna filosofis yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan alam semesta.

Tempayan sebagai Penyangga Tiang: Lambang Kehidupan dan Warisan Leluhur

Salah satu ciri khas bangunan ini adalah adanya tempayan atau tajau pesaka, yang berfungsi sebagai penyangga tiang utama. 

Baca Agama Asli Suku Dayak: Kaharingan sebagai Warisan Leluhur

Bagi masyarakat Dayak, tempayan memiliki nilai historis dan spiritual yang tinggi. Dalam kehidupan tradisional, tajau pesaka digunakan sebagai tempat menyimpan tuak, beras, dan barang-barang berharga lainnya. Selain sebagai benda fungsional, tempayan juga menjadi simbol kesejahteraan dan status sosial.

Banyak tajau yang diwariskan turun-temurun sebagai benda pusaka keluarga, dan beberapa di antaranya bahkan dipercaya memiliki kekuatan gaib. 

Keberadaan tempayan dalam struktur rumah upacara adat ini menandakan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur dan kesinambungan kehidupan yang terus dijaga oleh generasi penerus. 

Dalam kepercayaan Dayak, unsur tanah dan air yang terdapat dalam tempayan juga melambangkan kesuburan serta keseimbangan dalam kehidupan.

Motif Ukiran Khas Dayak dan Atap Sirap: Representasi Alam dan Kosmologi

Bangunan ini dihiasi dengan ukiran khas Dayak, yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Ukiran ini tidak hanya sekadar dekorasi tetapi juga mencerminkan sistem kepercayaan masyarakat Dayak yang mempercayai adanya hubungan erat antara manusia, roh, dan alam semesta. Beberapa motif yang umum ditemukan dalam ukiran Dayak antara lain:

  • Motif Aso (naga atau makhluk mitologi): Melambangkan kekuatan dan perlindungan.
  • Motif tumbuhan dan akar rotan: Menunjukkan hubungan harmonis manusia dengan alam.
  • Motif burung enggang: Simbol kebangsawanan dalam budaya Dayak, terutama bagi suku Dayak Kenyah dan Kayan.

Selain itu, atap bangunan terbuat dari sirap, yang berasal dari kayu ulin atau kayu besi, salah satu kayu terkuat yang ada di Kalimantan. 

Baca Anagata (Masa Depan) Agama Asli Indonesia: Bagamana Kaharingan?

Penggunaan kayu sirap dalam konstruksi rumah adat ini mencerminkan cara masyarakat Dayak memanfaatkan hasil alam dengan bijaksana —mengambil secukupnya tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Kayu ulin dikenal memiliki daya tahan tinggi terhadap cuaca dan rayap, sehingga sering digunakan untuk membangun rumah adat dan perahu tradisional.

Hampatong sebagai Representasi Hubungan dengan Leluhur dan Roh Penjaga

Di sekitar bangunan ini terdapat hampatong, yaitu patung kayu yang menggambarkan sosok manusia atau makhluk spiritual. Pantak dalam budaya Dayak Jangkang memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai penjaga tempat suci, penanda wilayah, dan penghormatan terhadap leluhur. Patung-patung ini sering ditempatkan di sekitar rumah adat, makam, atau persimpangan jalan sebagai bentuk perlindungan dari roh jahat.

Dalam sistem kepercayaan Dayak, roh leluhur dipercaya tetap hadir dalam kehidupan masyarakat dan dapat memberikan berkah atau perlindungan kepada keturunannya. Oleh karena itu, hampatong juga dianggap sebagai media komunikasi antara dunia manusia dan dunia roh.

Beberapa hampatong dalam gambar menunjukkan sosok manusia dengan pakaian adat dan ekspresi wajah yang khas. Hal ini mencerminkan pentingnya nilai-nilai kekerabatan dan penghormatan terhadap sejarah serta warisan budaya yang terus dijaga oleh komunitas setempat.

Untuk diketahui bahwa Hampatong adalah patung kayu yang memiliki makna spiritual dan budaya dalam tradisi masyarakat Dayak, terutama di Kalimantan. Patung ini biasanya dibuat sebagai simbol penghormatan kepada leluhur, penjaga roh, atau bagian dari ritual adat tertentu, seperti Tiwah dalam kepercayaan Kaharingan.

Baca Autochthonous sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak

Hampatong sering ditempatkan di sekitar rumah panjang, pekuburan, atau tempat sakral lainnya. Bentuk dan ekspresinya bisa beragam, tergantung pada tujuan pembuatannya, misalnya sebagai pelindung kampung, penanda tempat keramat, atau representasi roh leluhur. Patung ini biasanya diukir dari kayu ulin, kayu khas Kalimantan yang tahan lama, dan sering dihiasi dengan motif khas Dayak.

Tumbang Manggu: Desa yang Menjaga Kepercayaan Asli

Tumbang Manggu adalah salah satu desa di Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Desa ini memiliki penduduk yang sebagian besar masih memegang teguh kepercayaan lokal atau yang dalam istilah Bakker (1971) disebut sebagai kepercayaan autokton, yang juga dikenal sebagai "Agama Asli".

Kepercayaan ini berpusat pada penghormatan terhadap alam dan leluhur, serta keyakinan bahwa setiap makhluk hidup memiliki roh yang harus dijaga keseimbangannya. Upacara adat yang dilakukan di rumah ini sering kali berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti ritual panen, pernikahan, kematian, dan upacara penyucian. Masyarakat setempat masih menjalankan berbagai praktik adat yang telah diwariskan secara turun-temurun, menjadikan desa ini sebagai salah satu pusat kebudayaan Dayak yang masih hidup dan berkembang.

 Rumah Adat sebagai Cerminan Identitas dan Kearifan Lokal

Bangunan ini bukan sekadar tempat untuk menjalankan upacara adat, tetapi juga merupakan manifestasi dari filosofi hidup, kepercayaan, dan kesejahteraan masyarakat Dayak. Setiap elemen dari rumah adat ini—baik tempayan, ukiran, maupun pantak—mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan roh leluhur.

Keberadaan bangunan ini menjadi bukti bahwa meskipun zaman terus berubah, masyarakat Dayak masih mempertahankan nilai-nilai leluhur mereka dengan kuat. Rumah upacara adat ini tidak hanya menjadi pusat kegiatan spiritual dan sosial, tetapi juga menjadi warisan budaya yang harus terus dijaga dan dilestarikan agar tidak hilang di tengah arus modernisasi.

Penganut Kaharingan

Menurut keterangan dari Prof. Dr. Tiwi Etika, dosen di Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Palangka Raya, penduduk Tumbang Manggu umumnya menganut Kaharingan, sebuah kepercayaan asli masyarakat Dayak yang telah berkembang sejak zaman nenek moyang. Kaharingan bukan sekadar agama, tetapi juga sistem nilai, budaya, dan identitas yang diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Dayak.

Meskipun Kaharingan berasal dari tradisi leluhur, dalam perkembangannya, kepercayaan ini telah mendapatkan pengakuan resmi di Indonesia di bawah naungan dan binaan Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Sejak tahun 1980-an, Kaharingan bernaung dalam administrasi agama Hindu. Sedemikian rupa, sehingga aspek-aspek peribadatan, pendidikan keagamaan, dan kelembagaannya mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah.

Di Tumbang Manggu, praktik Kaharingan masih terjaga melalui berbagai ritual adat, seperti Tiwah—upacara pelepasan roh leluhur, serta penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari filosofi hidup masyarakat Dayak. 

Rumah-rumah ibadah orang Dayak penganut Kaharingan yang dikenal sebagai Balai Basarah, menjadi tempat utama dalam menjalankan ajaran dan ritual keagamaan. Kepercayaan lokal ini juga mencerminkan hubungan erat antara manusia, alam, dan leluhur yang menjadi inti dari sistem kepercayaan Kaharingan.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar