Autochthonous sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak

Dayak, autochthonous, allochthonous, asli, sistem kepercayaan, āgama, relegere, Michiel de Vaan, Mircea Buddhisme, De Natura Deorum, Retractiones,

Agama berasal dari bahasa Sanskerta āgama (आगम), yang berarti "tradisi" atau "ajaran yang diturunkan"
Visualisasi sesuai dengan konten narasi menggunakan jasa AI.

PONTIANAK- dayaktoday.comKata agama berasal dari bahasa Sanskerta āgama (आगम), yang berarti "tradisi" atau "ajaran yang diturunkan" (Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary, 1899). 

Dalam konteks Hindu dan Buddhisme, āgama juga merujuk pada kitab-kitab suci yang bersifat otoritatif (Renou, L’Inde Classique, 1947).

Dalam bahasa Latin, konsep yang sepadan dengan agama adalah religio (kata benda) dan re-ligere (kata kerja). Istilah ini pertama kali muncul dalam teks Romawi Kuno, seperti karya Cicero dalam De Natura Deorum (45 SM), di mana ia menjelaskan bahwa religio berasal dari relegere, yang berarti "membaca kembali dengan penuh perhatian" (Cicero, De Natura Deorum, II.72). Namun, pada abad ke-4 Masehi, St. Augustine berpendapat bahwa religio berasal dari re-ligere, yang berarti "mengikat kembali" manusia dengan Tuhan (Augustinus, Retractiones, I.13.3).

Baca Melacak Jejak Pemakaman Prasejarah Gua Niah: Penan atau Ibankah Sang Pewaris?

Menurut Michiel de Vaan dalam Etymological Dictionary of Latin and the Other Italic Languages (Brill, 2008), religio secara etimologis mengacu pada praktik ritual dan hubungan manusia dengan yang ilahi. Dalam konteks antropologi, Mircea Eliade dalam Patterns in Comparative Religion (University of Nebraska Press, 1958) menjelaskan bahwa agama adalah ekspresi dari pengalaman sakral yang berakar dalam struktur kosmologi masyarakat.

Agama Autochthonous vs. Allochthonous

Dalam studi agama, terdapat konsep agama autochthonous (pribumi) dan allochthonous (pendatang). Agama autochthonous adalah sistem kepercayaan yang berkembang secara alami dalam suatu komunitas tanpa pengaruh eksternal, seperti kepercayaan animisme dan dinamisme di masyarakat adat. Jacob Olupona dalam Indigenous Religions: A Companion (Routledge, 2000) menjelaskan bahwa agama pribumi memiliki keterkaitan erat dengan tanah leluhur, siklus alam, dan praktik ritual yang diwariskan turun-temurun.

Sebaliknya, agama allochthonous adalah agama yang diperkenalkan ke suatu wilayah oleh faktor eksternal, seperti kolonisasi atau misionaris. Contohnya adalah penyebaran Kristen dan Islam ke Afrika dan Asia melalui perdagangan dan penjajahan. Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912, terjemahan Karen Fields, 1995) menekankan bahwa agama memainkan peran dalam membentuk solidaritas sosial, baik dalam konteks autochthonous maupun allochthonous.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Dari perspektif etimologi, āgama dalam bahasa Sanskerta menekankan aspek tradisi dan ajaran, sementara religio dalam bahasa Latin berhubungan dengan keterikatan manusia kepada sesuatu yang lebih tinggi. 

Dalam studi antropologi, agama dapat dikategorikan sebagai autochthonous atau allochthonous, bergantung pada asal-usul dan penyebarannya dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pemahaman tentang agama tidak hanya bersifat linguistik tetapi juga terkait dengan aspek sejarah, sosial, dan budaya.

Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak

Kepercayaan asli orang Dayak bukanlah animisme, dinamisme, atau shamanisme sebagaimana sering disalahpahami dalam kajian antropologi klasik. Sebaliknya, sistem kepercayaan mereka dapat dikategorikan sebagai Agama Autochthonous—sebuah kepercayaan yang berasal dari dalam komunitas mereka sendiri, tanpa pengaruh eksternal yang signifikan pada awalnya.

Agama Autochthonous dalam tradisi Dayak menekankan hubungan yang erat dengan alam, roh leluhur, dan konsep keseimbangan kosmis. Kepercayaan ini diwariskan secara lisan dan dipraktikkan melalui ritus-ritus sakral seperti upacara panen, ritual penyucian, serta penghormatan terhadap roh penjaga alam dan leluhur.

Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum

Sebagai bentuk agama yang tumbuh bersama kehidupan masyarakat, sistem ini memiliki struktur moral dan etika yang kuat. Prinsip-prinsipnya mencakup penghormatan terhadap alam sebagai manifestasi kekuatan ilahi serta konsep tanggung jawab kolektif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam banyak aspek, ajaran-ajaran ini masih bertahan dan diadaptasi dalam kehidupan masyarakat Dayak kontemporer.

-- Masri Sareb Putra, M.A.

Referensi 

  1. Monier-Williams. A Sanskrit-English Dictionary. Oxford: Clarendon Press, 1899.
  2. Renou, Louis. L’Inde Classique. Paris: Payot, 1947.
  3. Cicero. De Natura Deorum. Trans. H. Rackham. Harvard University Press, 1933.
  4. Augustinus. Retractiones. Ed. Joseph Zycha. Vienna: CSEL, 1900.
  5. Michiel de Vaan. Etymological Dictionary of Latin and the Other Italic Languages. Brill, 2008.
  6. Mircea Eliade. Patterns in Comparative Religion. University of Nebraska Press, 1958.
  7. Jacob Olupona. Indigenous Religions: A Companion. Routledge, 2000.
  8. Émile Durkheim. The Elementary Forms of Religious Life. Trans. Karen Fields. Free Press, 1995.
LihatTutupKomentar