Melacak Jejak Pemakaman Prasejarah Gua Niah: Penan atau Ibankah Sang Pewaris?

Niah, gua, mulut, Tom Harrisson, Direktur Museum Sarawak, Neolitikum, Barbara Harrisson, Niah, Batu Niah, Miri, Sarawak, Malaysia, Dayak Penan, Iban

Mulut Gua Niah taampak dari dalam dipotret oleh Masri Sareb Putra.

BATU NIAH - dayaktoday.comDi mulut gua Niah, Sarawak, Malaysia, ditemukan salah satu pemakaman prasejarah terbesar di Asia Tenggara. 

Penemuan ini terjadi pada akhir 1950-an di sisi utara pulau Borneo.

Baca The Iban are the Largest and Most Dominant Indigenous Group in Sarawak

Setelah ikut melawan pendudukan Jepang di Perang Dunia II, Tom Harrisson menjadi Direktur Museum Sarawak. Ia seorang pecinta alam sejati. Suatu hari, ia mengunjungi gua Niah untuk meneliti satwa liar. Di sana, ia juga mencari tempat yang cocok untuk penggalian arkeologi.

Saat itu, para ilmuwan berdebat tentang asal-usul manusia di Asia Tenggara. Mereka mencari bukti apakah ada hubungan antara kera dan manusia di wilayah ini. Pada tahun 1954, Harrisson menggali parit uji coba di mulut gua Niah. Ia menemukan banyak bukti keberadaan manusia purba. Ada arang, pecahan tulang hewan, tulang manusia, alat batu, dan tembikar. Temuan ini membuatnya semakin yakin.

Baca Gua Niah dan Jejak Peradaban Kuno di Borneo

Pada tahun 1957, Harrisson dan istrinya, Barbara, mulai melakukan penggalian besar-besaran. Setahun kemudian, mereka menemukan sesuatu yang luar biasa. Di lubang terdalam, mereka menemukan tengkorak manusia modern purba. 

Bersama tengkorak itu, ditemukan pula arang yang bisa ditentukan usianya. Hasilnya, usia tengkorak itu sekitar 40.000 tahun! Saat itu, ini adalah fosil manusia modern tertua di dunia. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gua ini sudah dihuni sejak 45.000 tahun lalu.

Gua Niah di Era Neolitikum

Pada era Neolitikum, gua Niah adalah tempat hidup manusia. Mereka tinggal di sana, berburu, dan mengumpulkan makanan. Selain itu, mereka juga mulai membuat gerabah. Kehidupan mereka lebih maju dibanding zaman sebelumnya.

Salah satu temuan menarik adalah cara mereka mengubur orang mati. Ada yang dimakamkan dalam peti kayu sederhana. Ada juga yang dikubur dalam guci besar. Di dalam makam, ditemukan gerabah dan perhiasan. Ini tanda mereka percaya pada kehidupan setelah mati.

Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo

Selain tempat tinggal, gua ini juga jadi pusat ekonomi. Mereka berburu, menangkap ikan, dan mencari hasil hutan. Tulang hewan dan cangkang ditemukan di sekitar gua. Jejak padi ada, tapi mereka belum bertani. Mereka masih mengandalkan alam untuk bertahan hidup.

Menariknya, penduduk Neolitikum di sini mirip yang lebih tua. Tulang mereka hampir sama dengan penghuni sebelumnya. Artinya, mereka bukan pendatang dari luar. Mereka mungkin keturunan manusia yang sudah lama ada. Ini menantang teori migrasi Austronesia.

Gua Niah masih menyimpan banyak misteri. Arkeolog terus meneliti jejak manusia purba di sana. Setiap temuan memberi wawasan tentang kehidupan masa lalu. Gua ini adalah saksi bisu perjalanan manusia. Kisahnya masih terus terungkap hingga kini.

Jasa Barbara Harrisson

Para arkeolog juga meneliti pemakaman Neolitik di gua ini. Banyak ahli meyakini bahwa pada masa Neolitik, wilayah ini didatangi pendatang baru. Mereka adalah petani berbahasa Austronesia dari Tiongkok yang datang lewat Taiwan dan Filipina. 

Namun, penelitian Jessica Manser[1] menunjukkan hal yang berbeda dari yang diperkirakan sebelumnya. Ia menemukan bahwa tulang-tulang manusia yang berasal dari zaman Neolitik memiliki kesamaan morfologi dengan tulang-tulang dari zaman Pleistosen yang lebih tua.

 Temuan ini menandakan bahwa manusia yang hidup di kawasan sekitar Gua Niah tidak berasal dari luar wilayah tersebut. Dengan kata lain, mereka bukan pendatang baru, melainkan merupakan bagian dari kelompok manusia yang telah lama tinggal di kawasan itu, yang terus berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dari masa ke masa.

Memang ditemukan butiran padi di beberapa kuburan. Hal ini menunjukkan bahwa penghuni mengenal pertanian. Namun, sisa makanan yang mereka tinggalkan menunjukkan pola makan lama yang tetap bertahan.

Barbara Harrisson sedang mendokumentasikan salah satu pemakaman Neolitikum pada awal 1960-an. Kredit gambar: Graeme Barker/www.museum.upenn.edu/expedition 19

Barbara Harrisson mengklasifikasikan pemakaman Neolitik ini ke dalam beberapa periode. Kuburan tertua berupa peti kayu yang dibuat dari batang pohon besar. Pada periode berikutnya, jenazah mulai dikubur dalam guci tanah liat. Beberapa jasad bahkan dibakar sebagian sebelum dikubur. Barang-barang kuburannya beragam. Ada pot tanah liat, kapak batu, manik-manik, anyaman, dan kain.


Pemakaman ini membentang jauh ke dalam gua. Namun, ukuran mulut gua yang sangat besar membuat bagian dalamnya tetap mendapat sedikit cahaya. Jika mata sudah terbiasa, orang bisa melihat jauh ke dalam gua yang luas itu.

Orang Penan atau Iban?

Ingatan kolektif orang-orang Sarawak, terutama mereka yang kini tinggal di Miri dan Batu Niah, sering kali mengaitkan orang Penan dengan warisan kuno Gua Niah. Asumsi ini muncul dari pandangan bahwa orang Penan memiliki gaya hidup yang sangat mirip dengan manusia prasejarah yang dahulu tinggal di gua tersebut. 

Penelitian dan pengamatan terhadap kebudayaan dan cara hidup orang Penan menunjukkan bahwa mereka masih mempertahankan banyak aspek cara hidup tradisional yang sangat mirip dengan kelompok-kelompok manusia purba yang menggunakan gua sebagai tempat tinggal dan tempat penguburan. Misalnya, cara berburu, pengumpulan makanan, dan penggunaan alat-alat batu primitif oleh orang Penan menunjukkan kesamaan dengan kehidupan orang-orang yang dahulu menghuni Gua Niah, yang mungkin memiliki pola hidup semi-nomaden. 

Bukti ini didukung oleh penemuan sisa-sisa peralatan batu dan kerangka manusia di situs gua yang menunjukkan praktik serupa dengan yang dilakukan oleh orang Penan hingga zaman sekarang.

Orang Iban, yang kini merupakan mayoritas penghuni Batu Niah dan daerah sekitarnya, diperkirakan baru datang ke wilayah tersebut setelah orang Penan. Hal ini dapat dilihat dari pola migrasi mereka yang lebih baru dibandingkan dengan orang Penan yang sudah lama menghuni wilayah tersebut. 

Orang Iban dikenal sebagai kelompok yang berasal dari Kalimantan dan masuk ke Sarawak melalui jalur transmigrasi yang diperkirakan terjadi beberapa abad yang lalu. Kehadiran mereka di Batu Niah mungkin berkaitan dengan pemukiman mereka yang semakin meluas seiring dengan berkembangnya pertanian dan kehidupan yang lebih menetap. 

Baca Gua Niah: Proses Pembentukanya dari era Pleistosen hingga Kini

Meskipun ada bukti bahwa orang Iban telah hidup di Sarawak sejak zaman prasejarah, namun bukti arkeologis menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar baru tiba di kawasan Batu Niah setelah orang Penan, yang telah lama beradaptasi dengan lingkungan tersebut. 

Sumber-sumber sejarah yang mengungkapkan perjalanan dan kedatangan orang Iban ke Sarawak memberikan konteks mengenai perbedaan waktu kedatangan mereka dibandingkan dengan kelompok-kelompok penduduk asli lainnya.

Ketika saya meneliti untuk menulis novel sejarah Keling Kumang (2014), saya menemukan berbagai buku lama yang sangat berharga terkait dengan sejarah dan migrasi Iban. Salah satunya adalah karya Tawi Ballai (1967), yang memberikan wawasan mendalam tentang perjalanan panjang orang Iban dari tanah asal mereka hingga menyebar ke berbagai wilayah di Borneo. Dalam buku tersebut, Tawi Ballai menjelaskan bahwa migrasi Iban dapat dibagi ke dalam tiga musim besar, yang masing-masing menandai fase penting dalam perjalanan mereka.

Musim pertama dimulai dari "Tanah Semula Jadi", yang dikenal dengan nama Tampun Juah, yang terletak di Segumon, Sekayam Hulu. Di tempat inilah, orang Iban pertama kali membangun kediaman mereka, dengan sebuah nama yang sangat penting bagi sejarah mereka—Keling dan Kumang. Tempat ini mereka sebut sebagai "Panggau Libau", yang berarti tempat yang penuh dengan kehidupan dan sejarah yang kaya. Nama tersebut, yang berarti "Rumah Besar", menjadi simbol dari tanah leluhur yang sakral bagi orang Iban. Orang Iban di Kalimantan Barat menyebut negeri Keling Kumang zaman dahulu sebagai Kerajaan "Buah Main".

Dari "Panggau Libau", orang Iban mulai berlayar mengikuti sungai Sekayam. Mereka dikatakan Ballai "kibak" ke arah kiri dari Muara Sekayam menyusuri aliran sungai Kapuas hingga sampai di  muara Sungai Sekadau, ke hulu, sampai sugai Ketungau. Dari Tampun Juah orang Iban berpindah ke hulu Sungai Kapuas, melalui rute yang sulit dan penuh tantangan. 

Baca Dayak: The Transformation from a Primitive Image to a Modern Civilization

Proses migrasi mensia Iban ini tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mencari tempat yang lebih subur untuk bertani dan berkembang, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual yang mengikat orang Iban dengan sejarah leluhur mereka, yang selalu mengingatkan mereka akan ikatan kuat mereka terhadap tanah yang mereka tinggalkan dan yang mereka tuju.

Perjalanan migrasi suku Iban adalah topik yang memerlukan ruang dan waktu lebih untuk dibahas secara mendalam. Untuk itu, saya akan menyajikan narasi khusus yang akan menggali lebih jauh akar sejarah dan tradisi yang membentuk bangsa Iban. Narasi ini akan berfokus pada bagaimana perjalanan panjang tersebut tidak hanya membentuk orang Iban secara fisik, tetapi juga membentuk identitas mereka sebagai satu bangsa yang terus berkembang, meskipun menghadapi berbagai tantangan zaman.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana aspek budaya dan pengetahuan yang mereka bawa selama migrasi turut memperkaya identitas mereka. Salah satunya adalah melalui "perkongsian" yang disampaikan oleh Dr. Patricia Ganing, seorang peneliti folklor dan adat budaya Iban. Menurutnya, ia menerima informasi dari seorang pengkaji Punan, Calvin Jomarung, yang dijemput sebagai panelis pada acara Sarawak Book Fair di Miri tahun lalu. Calvin menyatakan bahwa dalam bahasa Punan, Niah berarti Dewi Kumang, yang mengandung makna dan simbolisme penting dalam budaya mereka.

Namun pro-kontra dan narasi manakah yang lebih arkais, Penan atau Iban di Gua Niah, akan menjadi narasi yang berikutnya.

-- Masri Sareb Putra, M.A. adalah mahasiswa Doktoral Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya yang penelitian disertasinya terkait topik asal usul dan menyejarahnya Manusia Dayak.



[1] Dr. Jessica Manser adalah seorang antropolog biologi. Ia memfokuskan penelitiannya pada variasi kraniofasial dan gigi manusia prasejarah di Asia Tenggara. Penelitiannya berfokus pada makam manusia di Gua Niah, Sarawak. Setelah meraih gelar PhD di NYU, Dr. Manser menjadi pengajar di beberapa universitas. Ia pernah mengajar di Queens College, Hunter College, dan Columbia University. Pada tahun 2013, ia bergabung dengan NYU Dentistry sebagai instruktur anatomi kepala dan leher.

Pada tahun 2024, Dr. Manser menjadi anggota fakultas penuh waktu di NYU Dentistry. Ia kini menjabat sebagai pengarah kursus untuk mata kuliah farmakologi. Selain itu, ia juga mengajar di mata kuliah Anatomi Dasar dan Anatomi Kepala dan Leher. Dr. Manser juga menjadi penasihat untuk program MS Biologi-Odontologi dan pengarah seminar integratif di bidang Biologi Oral.

Dr. Manser telah menerbitkan banyak karya ilmiah. Salah satu publikasinya adalah tentang antropologi fisik makam manusia di Niah Cave. Ia juga menulis tentang masyarakat 'Neolitik' di Asia Tenggara. Karya lainnya membahas perkembangan manusia prasejarah di kawasan tersebut.


LihatTutupKomentar