Mungkinkah Paus dari Timur?
Luis Antonio Tagle: papabili. Ilustrasi: AI.
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Lazimnya, seorang Paus bukan hanya terpilih. Ia muncul. Seperti kabut pagi yang tiba-tiba turun ke lembah. Seperti suara yang selama ini tidak terdengar, tapi ternyata sejak lama ada di sekitar kita.
Sejarah kepausan bukan hanya soal agama. Ia adalah cermin dari pergulatan zaman. Tak ada yang sungguh netral dalam konklaf. Seolah Roh Kudus bekerja dalam keheningan saja.
Masalah umat manusia sejagad, zaman itu
Tapi di balik keheningan Ruang Konklav, dan aura sakral Kapel Sistina, ada desir waktu yang menentukan arah angin: masalah umat manusia sejagad, zaman itu!
Di ruangan yang sunyi oleh doa namun padat oleh pertaruhan sejarah, para kardinal tidak hanya memilih seorang pemimpin rohani—mereka sedang menimbang takdir dunia. Bayang-bayang perang, ketidakadilan sosial, krisis iman, dan teriakan sunyi dari benua-benua yang terluka berdesakan masuk bersama tiap helaan napas dan bisikan doa.
Waktu seakan berhenti di bawah langit-langit megah lukisan Michelangelo, namun di luar sana, dunia bergerak gelisah, menanti arah baru, kompas moral yang tegak di tengah arus zaman yang limbung. Maka desir waktu itu bukan sekadar angin, tapi hembusan sejarah yang mengetuk hati setiap pemilih: untuk tidak hanya melihat ke surga, tapi juga menjejakkan kaki di bumi yang luka.
Baca Papabili
Tahun 1978, dunia sedang letih. Blok Timur dan Barat seperti dua tangan yang tak lagi saling merangkul, tetapi saling menggenggam leher. Di tengah krisis minyak, runtuhnya kepercayaan, dan surutnya harapan, muncullah Karol Wojtyła dari Kraków. Bukan dari Italia, bukan dari pusat. Ia datang dari pinggiran. Dari sebuah negeri yang pernah menghafal salib dalam bisu, dan menyimpan nyanyian liturgi di dalam dada yang takut. Ketika ia berkata “Jangan takut”, dunia tahu: kata-kata itu bukan retorika, tapi luka yang telah sembuh.
Dua puluh tujuh tahun kemudian. Ketika pengetahuan melonjak. Tatkala manusia mulai percaya bahwa Tuhan bisa dikompres dalam rumus, datanglah Joseph Ratzinger. Pria Bavaria ini bukan hanya imam, tapi penjaga ortodoksi. Seorang filsuf yang berdebat dengan Habermas dan berdialog dengan masa depan. Ia tahu bahwa zaman bukan sekadar berubah—zaman sedang melupakan. Dan tugasnya: mengingatkan bahwa iman bukan kebodohan, melainkan bentuk terdalam dari pengakuan akan keterbatasan.
Lalu Bergoglio
Dari Buenos Aires yang panas dan penuh kesenjangan, ia datang nyaris tanpa sorak. Namanya nyaris tak disebut. Tapi ketika ia memilih nama Fransiskus, dunia seolah terdiam.
Seperti ada gema yang menggema dari abad ke-13. Ia menolak istana, menolak gelar, menolak gaya. Ia mencium kaki para narapidana. Ia membasuh luka dunia dengan tangan yang tahu bagaimana rasanya memeluk kemiskinan.
Setiap Paus adalah jawaban. Tapi pertanyaannya berubah.
Luis Antonio Tagle
Kini zaman menuntut jawaban lain.
Dunia tak sedang bertanya tentang iman atau akal. Dunia sedang goyah di antara benua. Antara poros Cina dan Amerika. Antara kebebasan dan pengungsi. Antara diplomasi dan darah.
Di sinilah nama itu berbisik: Luis Antonio Tagle.
Profesor dari Manila. Darah Tionghoa dan Filipina mengalir bersilang di tubuhnya. Ia bicara dalam bahasa akademik, tapi dengan mata yang memandang penuh belarasa. Kuliah-kuliahnya mengalir dari Boston hingga Leuven, tapi hatinya tertinggal di lorong-lorong sempit kota yang penuh doa. Ia memahami barat, tapi tumbuh dalam denyut timur. Ia mendengarkan dengan cara yang tidak diajarkan di ruang kuliah.
Ia bukan hanya pintar. Ia menawan dalam cara yang tidak mencolok. Dan ia mengerti: abad ke-21 bukan hanya tentang ideologi, tetapi tentang identitas. Ia tahu rasanya menjadi “lain” dalam dunia yang masih takut pada perbedaan.
Tapi...
Mungkinkah?
Beranikah para kardinal—yang sebagian besar lahir di tanah Eropa yang dingin dan telah lama menjadi pusat dunia—mengambil langkah sejauh itu? Bukan hanya keluar dari Vatikan, tapi dari cara berpikir yang selama ini menganggap Roma adalah kutub segalanya?
Beranikah mereka... melihat ke Timur?
Karena mungkin, untuk pertama kalinya, pertanyaan zaman tak dijawab oleh yang terbiasa berbicara keras, tapi oleh yang tahu bagaimana menjadi diam. Yang tidak mengangkat tangan, tapi menundukkan kepala. Yang tidak berdiri di panggung dunia, tetapi menyalakan lilin kecil di altar yang jauh.
Karena kadang, suara Tuhan datang dari tempat yang tak disangka. Dari perahu nelayan di Filipina. Dari kamp pengungsi Rohingya. Dari seorang imam kecil yang belajar menafsirkan dunia lewat tatapan orang-orang miskin.
Karena kadang, yang paling berani adalah mereka yang tak terlihat.
Dan siapa tahu. Mungkin Roh Kudus kali ini bertiup dari Timur?
Jakarta, 22 April 2025