Djamin Johanes: Kalpataru untuk Kayu Belian
PONTIANAK - DAYAKTODAY: Djamin Johanes bagaikan bunga: tumbuh harum, dalam diam. Ia tidak banyak berbicara tentang apa yang telah diperbuatnya, tidak pula mencari sorotan atas usahanya.
Seperti bunga yang mekar tanpa mengumumkan keharumannya. Kerja keras dan kebaikan yang Djamin Johanes tabur, bersemi dan menarik perhatian banyak orang.
Kerja keras tanpa pamrih
Dengan tangan yang tekun, ia menanam kayu belian (ulin), pohon khas Borneo yang terkenal akan kekuatan dan keawetannya. Apa yang ia lakukan bukan sekadar menanam pohon, tetapi menghidupkan kembali warisan alam yang hampir punah.
Baca Who’s Destroying Borneo’s Forests? The Corporate Takeover of Dayak Lands
Usaha Djamin Johanes yang sunyi akhirnya berbuah penghargaan. Pada tahun 2002, Djamin dianugerahi Kalpataru. Suatu tanda kehormatan tertinggi bagi para pejuang lingkungan di Indonesia. Tanpa pernah mengharapkannya, kerja kerasnya yang dilakukan dalam kesederhanaan justru Djamin Johanes menjadi teladan bagi banyak orang.
Dengan mata berkaca-kaca, Djamin Johanes menerima penghargaan itu, bukan karena nilai materinya, melainkan karena ia merasa misinya untuk menjaga belian telah mendapat pengakuan. Baginya, penghargaan sejati bukanlah piala atau uang, melainkan kelestarian belian yang akan tetap berdiri tegak untuk anak cucu di masa depan.
Menanam Harapan, Merawat Warisan
"Bunga dan pohon tumbuh dalam diam. Matahari dan bulan bergerak dalam kesunyian. Kita harus belajar diam dan tenang untuk menemukan harum dan cahaya."
Kata-kata Bunda Teresa ini sangat tepat menggambarkan Djamin Johanes, seorang pria bersahaja dari Kampung Biang, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ia bukan pejabat, bukan akademisi, bukan pula aktivis lingkungan. Ia hanya seorang petani yang bekerja dalam diam, tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan.
Perjalanannya dimulai ketika ia berkunjung ke Jawa. Ia melihat bagaimana penduduk setempat menanam pohon jati dan sengon, dua jenis kayu yang bernilai tinggi.
Pemandangan itu menggugah pikirannya. Mengapa di setiap tempat di Jawa orang menanam jati dan sengon, tetapi tak ada yang menanam belian? Padahal, belian—atau kayu ulin—adalah kayu khas Borneo yang terkenal akan kekuatan dan daya tahannya.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Sekembalinya ke kampung halaman, Djamin memutuskan untuk bertindak. Ia mencari buah dan bibit belian dari hutan-hutan sekitar. Tahun 1993 menjadi titik awal perjalanannya. Ia mulai menanam bibit belian di sekitar rumahnya, meskipun tak semua orang mengerti niatnya. Jika tak menemukan bibit di alam, ia rela merogoh kocek sendiri untuk membeli.
Bagi Djamin, menanam belian bukan sekadar menanam pohon, melainkan menanam harapan bagi masa depan.
Ribuan Pohon, Sejuta Manfaat
Seiring berjalannya waktu, pohon-pohon belian yang ia tanam tumbuh subur. Awalnya hanya puluhan, kemudian ratusan, hingga akhirnya ribuan. Pohon-pohon itu tersebar bukan hanya di sekitar rumahnya, tetapi juga merambat ke hutan-hutan sekitar.
Djamin menanam belian dengan sistem tumpangsari, mengombinasikannya dengan pohon tengkawang dan meranti, menciptakan keseimbangan alam yang lestari.
Dalam keheningan, usahanya ternyata diperhatikan. Orang-orang mulai menyadari bahwa yang ia lakukan bukan sesuatu yang biasa. Tahun 2002, setelah hampir satu dekade menanam tanpa henti, Djamin menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah Indonesia. Ia terkejut sekaligus terharu. Baginya, ia hanya melakukan sesuatu yang sederhana: menanam pohon yang hampir punah agar anak cucunya kelak masih bisa melihat dan memanfaatkannya.
Penghargaan Kalpataru yang diterimanya berupa uang sebesar Rp5.000.000,00. Jumlah itu memang tidak seberapa dibandingkan dengan kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Namun, bagi Djamin, penghargaan ini bukan soal uang. Ia merasa dihargai, merasa bahwa usahanya selama ini tidak sia-sia.
Melestarikan, Bukan Menghabiskan
Kini, setelah lebih dari dua puluh tahun berlalu, ribuan pohon belian hasil tanamannya telah tumbuh tinggi dan besar. Sebagian bahkan sudah layak panen. Namun, Djamin tidak tergoda untuk menebangnya begitu saja. Ia tetap berpegang pada prinsip tebang-tanam: jika satu pohon ditebang, maka harus ada penggantinya yang ditanam kembali.
Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum
Ia ingin memastikan bahwa belian tetap lestari, bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang.
Djamin paham bahwa sumber daya alam yang tidak dijaga akan cepat habis.
Oleh karena itu, ia mengajarkan kepada anak-anaknya, kepada tetangganya, kepada siapa saja yang ingin belajar, bahwa menanam pohon adalah investasi jangka panjang bagi kehidupan.
Kini, hutan-hutan di sepanjang daerah aliran Sungai Biang kembali hijau dengan pohon belian.
Warisan Djamin bukan hanya pohon-pohon yang kokoh berdiri, tetapi juga kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Apa yang ia mulai dalam diam, kini berbicara nyaring kepada dunia: bahwa satu orang dengan tekad kuat bisa membawa perubahan besar bagi lingkungan dan masyarakat.
-- Miserere Nobis