Dayak Katolik dan Hati yang terarah ke Vatikan
Dayak Katolik dan hati yang terarah ke Vatikan. Ilustrasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Paus Fransiskus hari-hari terakhir ini menapaki keheningan abadi. Di Kalimantan, ada sesuatu yang tak terungkapkan, namun terasa dalam diamnya. Wajah-wajah orang Dayak, yang tersebar jauh di penjuru tanah Borneo, menatap layar-layar kecil dengan penuh keheningan.
Bukan hanya sebagai penonton dari jauh. Orang Dayak menyaksikan perpisahan ini dengan ketulusan yang mendalam. Seakan-akan perjalanan Paus ini adalah bagian dari perjalanan mereka sendiri.
Dayak Katolik inkulturasi :Wajah Gereja lokal
Dalam setiap doa yang terucap. Dalam setiap renungan yang diam-diam terucap/ Orang Dayak seolah mengingat kembali perjalanan panjang yang telah membawa mereka pada titik ini.
Baca Papabili
Jika hari ini, Dayak sebagian besar memeluk agama Katolik, itu merupakan perjalanan panjang misi dari Batavia (Staal SJ, Ordo Kapusin, dan pater Ventimiglia; semuanya diyakini karya Tuhan yang nyata di dunia).
Ketika pemerintah Indonesia pada era Orde Baru mewajibkan rakyatnya untuk memeluk salah satu dari lima agama resmi negara, orang Dayak memilih Katolik. Namun, pilihan ini bukanlah keputusan semata-mata berdasarkan kekuatan politik, melainkan sebuah panggilan batin yang sulit dijelaskan.
Katolik datang seperti sebuah sinar yang menembus kabut pagi mereka. Bukan sebagai sesuatu yang asing, melainkan sebagai jalan yang telah mereka kenal sejak dahulu.
Benih-benih ajaran moral yang terkandung dalam agama ini – kejujuran, kebaikan, dan suara hati – sudah lama hidup dalam diri mereka. Dengan pelan, mereka menghidupi iman ini, menjadikannya bagian dari napas dan denyut kehidupan mereka.
Seminarium verbi Dayak
Deodatus Kolek dalam buku Dayak Katolik menulis tentang bagaimana orang Dayak menghidupi iman mereka.
"Seminarium verbi," katanya, adalah benih firman yang sudah tertanam dalam jiwa mereka jauh sebelum mereka mengenal agama ini.
Baca Paus Baru dan Ketika Abu yang Bicara
Kejujuran yang meresap dalam setiap tindakan, kebaikan yang tidak mengenal batas, dan kesederhanaan yang menjadi pedoman hidup mereka, semuanya telah ada sejak lama.
Katolik, bagi Dayak bukanlah sebuah agama yang semata-mata datang dari luar, melainkan sebuah kelanjutan dari nilai-nilai yang telah hidup dalam mereka. Hal ini ditegaskan Lumen Gentium dan ad Gentes. Gereja Katolik hadir di tengah-tengah Dayak bukan untuk melenyapkannya, melainkan untuk melengkapi dan menyempurnakannya.
Orang Dayak menerima Katolik, tetapi tidak sekadar menerima. Mereka menghidupkannya. Bukan hanya dalam liturgi atau doa, tetapi dalam cara mereka memandang hidup, saling berbagi, dan menjaga harmoni dengan alam.
Di sinilah letak kedalaman iman mereka: sebuah iman yang tidak hanya tercermin dalam simbol-simbol, tetapi dalam setiap tindakan yang mencerminkan nilai kasih dan kedamaian.
Uskup-Uskup Dayak dan Gereja lokal
Kini, dengan penuh kebanggaan, orang Dayak melihat para pemimpin rohani mereka berdiri sebagai uskup yang memimpin gereja-gereja lokal. Mgr. Agustinus Agus, Mgr. Valentinus Saeng, Mgr. Samuel Oton Sidin, dan Mgr. Victorius Dwiardy – mereka bukan hanya pemimpin gereja, tetapi juga simbol dari keberlanjutan iman yang tumbuh subur di tanah Borneo.
Baca Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus Seabad Terakhir
Para uskup itu adalah wajah-wajah yang memimpin dengan kelembutan, dengan pemahaman yang dalam tentang makna pelayanan. Bagi mereka, gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang untuk menghidupi nilai-nilai hidup yang telah mereka jaga selama berabad-abad.
Sebagai uskup yang memimpin wilayah gereja lokal, mereka tidak hanya mengajarkan ajaran agama, tetapi juga menjaga keutuhan budaya dan kearifan lokal. Mereka menjadi jembatan antara ajaran Katolik dan kehidupan masyarakat Dayak yang kaya dengan tradisi dan nilai-nilai luhur. Dalam diri mereka, orang Dayak melihat kepemimpinan yang tidak hanya bersifat rohani, tetapi juga sosial, budaya, dan moral. Mereka memimpin dengan hati yang terbuka, dengan tangan yang siap menolong, dan dengan langkah yang mantap menuju kedamaian.
Iman yang mengakar dalam budaya dan tanah Dayak
Dalam setiap peristiwa besar yang menyentuh gereja, seperti kepergian Paus Fransiskus, orang Dayak tidak hanya melihatnya sebagai sebuah momen sejarah yang jauh. Mereka merasakannya dalam kedalaman hati mereka, karena gereja dan iman bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan mereka. Gereja Katolik telah mengakar dalam tanah mereka seperti pohon yang kokoh, memberi naungan dan kedamaian.
Orang Dayak mengajarkan kita bahwa iman bukan hanya tentang mengikuti ajaran yang diturunkan dari atas, tetapi tentang mengenali dan merayakan nilai-nilai yang telah ada dalam diri kita sejak lama. Iman yang hidup, yang tumbuh dengan perlahan dan penuh pengertian, adalah iman yang benar-benar menjadi bagian dari siapa kita, dari tanah yang kita pijak, dan dari masyarakat yang kita huni.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Maka, dalam setiap langkah mereka mengikuti perjalanan Paus Fransiskus, orang Dayak mengajarkan kita bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang tak terpisahkan dari iman, budaya, dan kebaikan hati. Seperti aliran sungai yang mengalir dengan lembut, iman orang Dayak tetap mengalir, menyuburkan tanah mereka dan memberi kehidupan bagi generasi yang akan datang.
-- Ambrosius Rampai/dayaktoday.com