Paus Baru dan Ketika Abu yang Bicara

Paus, Habemus Papam,, kardinal, konklaf, piala, balot, asap cerobong, kapel, Sistina, Gereja, Katolik, ritual, patena piala, benda liturgi

 

Proses menimbulkan asap tanda konklaf
Asap hitam atau putih dari cerobong asap kapel Sistina dibakar dari balot. Dok. Masri.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Dalam ruang konklaf yang sunyi dan penuh gema. Tak ada suara selain langkah-langkah yang membawa sejarah. 

Para kardinal datang bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai perpanjangan dari tubuh Gereja yang telah melintasi dua milenia penderitaan dan harapan. 

Langkah mereka adalah ziarah. Setiap derap sepatu menyentuh lantai marmer, seperti menyentuh nadi zaman.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Mereka membawa balot. Yakni selembar kecil yang dilipat, nyaris seperti doa yang rahasia. 

Kertas itu bukan sekadar media pilihan. Ia adalah saksi kepercayaan: bahwa kehendak manusia bisa ditanggalkan demi memberi ruang bagi bisikan Roh Kudus. Mungkin di tempat lain, suara adalah alat kuasa. Tapi di sini, suara adalah tanda penyerahan.

Di tengah ruangan, altar kecil menatap diam. Di atasnya, patena dan piala, benda non-liturgi yang biasa menjadi titik temu antara langit dan bumi..

Namun hari itu, bukan tubuh dan darah Kristus yang diangkat, melainkan harapan akan seorang gembala yang bersedia memikul salib yang tidak kelihatan—salib dari harapan yang terlalu besar, dari umat yang terlalu banyak.

Di hadapan piala itu, kekuasaan tak lagi terlihat agung. Ia justru menjadi beban. Jabatan Paus bukanlah kursi emas, tetapi tempat tertinggi untuk tunduk. Ia adalah pengingkaran terhadap ambisi. Ia adalah kesediaan untuk menghilang agar Kristus tampak.

Setelah suara dihitung, balot dikumpulkan. Kertas-kertas kecil itu kemudian dibakar. 

Dunia menanti di luar. Apakah asap yang keluar akan hitam—lambang dari keputusan yang belum selesai? Atau putih—yang menandai bahwa dalam kesepakatan manusia, Roh telah bekerja?

Baca Papabili

Asap putih bukan sekadar hasil pembakaran. Ia adalah tanda dari proses yang tak terlihat: kompromi yang tak bersuara, keyakinan yang bertumbuh dalam keheningan. 

Dan ketika asap itu mengepul ke langit, dunia menoleh, jantung gereja berdegup.

"Habemus Papam!" demikian warta gembira yang diwartakan seorang kardinal. 

Tapi mungkin kata itu bukan tentang kepemilikan, melainkan tentang pengharapan. Kita memiliki Paus bukan untuk memerintah, tetapi untuk mengingatkan bahwa di atas takhta tertinggi Gereja pun, yang pertama tetap adalah hamba.

Baca Balot (Surat Suara) Pemilihan Paus yang Dibisikkan Roh Kudus

Dalam waktu yang riuh ini, dunia jarang percaya pada simbol. Tapi Gereja, dalam ritual yang tampak kuno ini, justru menyampaikan sesuatu yang tak lekang: bahwa keputusan terpenting dalam hidup—entah itu memilih pemimpin, atau memilih untuk mengasihi—selalu lahir dari keheningan.

Dan dari keheningan itu, asap putih naik. Abu pun bisa berbicara.

-- Nurmalita Sari Maria

LihatTutupKomentar