Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus Seabad Terakhir

Kardinal, paus, Pius X, Benedictus XV, Pius XI, Yohanes XXIII, Pius XII, Paulus VI, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, Paus Fransiskus

 

Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus seabad terakhir
Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus seabad terakhir. By Masri.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Kapel Sistina selalu menarik perhatian dunia.

Bukan hanya karena langit-langitnya yang dilukis Michelangelo, tetapi juga karena di ruang itulah, orang-orang memilih pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia. 

Tapi yang menarik perhatian saya bukan sekadar siapa yang terpilih, melainkan bagaimana. Dan lebih tepatnya: berapa lama.

Baca Mengenal 3 Cara Kardinal Memilih Paus

Saya tertarik pada hitungan yang tidak biasa. Pemilihan Paus bukanlah proses yang tunduk pada jam. Ia seperti doa—kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu memiliki ritmenya sendiri. Seperti napas.

Tahun 1903, Pius X terpilih setelah empat hari dan tujuh balot (Surat Suara - akan dinarasikan sendiri nanti). Awal abad yang masih diliputi keraguan. Gereja menghadapi modernitas dengan kacamata yang belum jelas fokusnya. Empat hari bisa terasa seperti empat dekade bila Roh dianggap lambat berbicara.

Lalu, pada 1914, saat dunia mulai runtuh dalam Perang Dunia I, Benedictus XV dipilih dalam tiga hari, melalui sepuluh balot. Ada kesan tergesa—seperti Gereja takut kehilangan suaranya di tengah dentuman artileri. Atau mungkin, suara Tuhan terdengar lebih cepat karena dunia terlalu bising.

Baca Camerlengo

Yang menarik justru pemilihan Pius XI di tahun 1922. Prosesnya memakan lima hari, dengan empat belas balot—terlama dari semua yang saya catat. Di sini saya merenung: mengapa butuh begitu lama untuk memilih satu nama? Mungkin karena dunia saat itu lupa pada kedamaian, dan ketika perdamaian dilupakan, suara dari langit tak mudah dijangkau.

Kontras dengan itu, pemilihan Pius XII di tahun 1939 hanya berlangsung dua hari dengan tiga balot. Dunia kembali menuju perang, tapi Gereja seolah sudah tahu siapa yang harus duduk di takhta Petrus. Saya bertanya-tanya: apakah pemilihan ini cepat karena semuanya sudah disepakati diam-diam? Atau karena ketakutan membuat suara-suara menjadi seragam?

1958 menghadirkan Yohanes XXIII. Ia terpilih setelah empat hari dan sebelas balot. Ia dianggap sebagai Paus transisi, pengganti sementara yang akan menjaga kursi tetap hangat. Tapi ternyata ia membuka Konsili Vatikan II—momen besar yang membuka jendela Gereja ke dunia modern. Ternyata, sebelas balot cukup untuk mengundang angin perubahan.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Paulus VI pada 1963 hanya memerlukan tiga hari dan enam balot Cukup cepat untuk memberi kesan kesinambungan dari pendahulunya, tapi cukup lama untuk memberi ruang bagi pertimbangan. Tidak semua hal harus diputuskan dalam kecepatan.

Tahun 1978 jadi tahun yang unik. Dua kali konklaf. Yohanes Paulus I terpilih lebih dulu dalam dua hari, empat balot. Hanya bertahan 33 hari sebagai Paus. Rasanya seperti seberkas cahaya yang lewat cepat—menghangatkan sejenak, lalu padam.

Kemudian datang Yohanes Paulus II. Masih di tahun yang sama, hanya dua bulan berselang. Ia memerlukan tiga hari dan delapan balot untuk sampai ke tampuk. Ia datang dari Polandia—dari balik Tirai Besi. Dan tiba-tiba, suara Roma punya aksen asing. Tapi mungkin justru dari jarak itu, Gereja melihat dunia dengan cara yang baru.

Benediktus XVI, 2005. Pemilihannya berlangsung hanya dua hari, empat balot. Seorang teolog, seorang konservatif. Terlihat seperti konsensus yang cepat. Tapi saya tidak yakin apakah kecepatan itu berarti kesepakatan, atau justru kebutuhan untuk kejelasan di tengah ketidakpastian pasca-Wojtyła.

Terakhir, Paus Fransiskus—dipilih tahun 2013 dalam tiga hari, lima balot. Dari Argentina, dari Selatan dunia. Ia datang dengan nama yang belum pernah dipakai sebelumnya: Fransiskus. Nama yang lebih mengingatkan pada kesederhanaan daripada institusi. Pilihan yang terasa seperti bisikan yang lembut, namun cukup kuat untuk mengubah nada seluruh paduan suara.

Apa arti semua ini? Mengapa saya mencatat hari dan jumlah balot?

Karena saya percaya, cara Gereja memilih Paus adalah refleksi dari bagaimana manusia mencoba mendengarkan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Waktu, dalam hal ini, menjadi semacam instrumen spiritual. Kita terbiasa mengukur efisiensi dengan kecepatan. Tapi dalam Sistina, efisiensi barangkali berarti kesesuaian dengan kehendak yang tak kelihatan.

Dua hari. Tiga hari. Empat belas balot. Lima. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah ritme dari sesuatu yang lebih dalam: keraguan, harapan, pergulatan.

Dan mungkin, dalam ruang yang dipenuhi lukisan langit itu, justru dalam hitungan-hitungan itulah dunia paling didengar oleh Surga.

Sumber: Masri Sareb Putra dalam Iman & Akal Paus Benedictus XVI, Nusa Indah, 2005.

Jakarta, 24 April 2025

LihatTutupKomentar