In Pectore
Kardinal in pectore, hanya ada di hati (rahasia) Paus. Ilustrasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Ada kata Latin yang tak hanya misterius, tapi juga berkuasa karena keheningannya: in pectore.
Adanya di dada. Di hati. Disimpan dalam ruang paling gelap dari satu-satunya manusia yang boleh memegang kunci surga: Paus. Tak ditulis. Tak diumumkan. Tak diakui. Namun hidup dalam napas, berdenyut dalam dada seorang pengganti Petrus. Ia—kardinal in pectore—adalah sosok tanpa wajah, bayangan dalam nyala lilin Vatikan. Mungkin ada. Mungkin tak pernah.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Saya baru saja menonton Conclave. Film itu menyodorkan fiksi sebagai fakta, dan fakta yang menyerupai mimpi buruk. Seorang anak muda muncul dari kegelapan sejarah, menuntut kuasa dalam ritus purba yang mestinya hanya didorong Roh Kudus. Sang anak yang menyuruh-nyuruh para tua.
Di situ, tak ada kebijaksanaan dalam usia. Hanya manuver dalam jubah. Dan nama yang diklaim telah disembunyikan in pectore.
Kardinal in pectore memang ada
Tapi sejarah tak sepenuhnya menyambut dongeng. Kardinal in pectore memang ada—tapi jarang, sangat jarang. Ia diangkat diam-diam, biasanya di negeri yang membahayakan jubah merah. Cina, misalnya. Tempat di mana menyebut nama bisa berarti menjatuhkan hukuman mati.
Maka nama sang kardinal in pectore disimpan oleh Paus, seperti menyimpan api di balik jubah. Tapi api pun perlu diwariskan. Sebelum Paus mengembuskan napas terakhirnya, nama itu wajib dibisikkan. Setidaknya diiberi anak kuncinya pada Camerlengo, pada Dekan Dewan Kardinal. Jika tidak, api itu padam. Nama itu hilang, tak pernah ada.
Ada kekejaman dalam sistem itu. Seseorang bisa naik derajat ke dalam lingkaran para putra tertinggi Gereja—dan, jika tak disebutkan, lenyap begitu saja. Tak ada catatan. Tak ada nisan.
Baca Papabili
Saya teringat satu bab dalam buku saya Iman & Akal Paus Benediktus XVI (2005), tepatnya Bab 5: "Konklaf: 4 Ballot Menjadikannya Paus Benediktus" (halaman 69–100)."Annuntio vobis gaudium magnum: habemus Papam!"
("Aku mengumumkan kepada kalian sebuah sukacita besar: kita telah memiliki Paus!")
Di sana saya uraikan bagaimana proses pemilihan Paus—konklaf—adalah koreografi ilahi yang diwarnai ritus dan hitungan.
Ballot dimasukkan satu per satu ke dalam patena. Nomen ditulis tangan, dengan kalimat yang nyaris sakral: Eligo in Summum Pontificem R.D. Card. xxx. Aku memilih Kardinal (tulis tangan siapa namanya?).
Konklav: ada juga intrik internal dan lobi
Namun siapa yang sungguh memilih? Roh Kudus? Atau lobi yang rapi dan senyap?
Sejarah mencatat yang berikut ini.
- Tahun 1922, konklaf terlama: lima hari, 14 putaran Paus Pius XI).
- Tahun 1939, tercepat: dua hari, tiga ballot (Paus Pius XII).
- Tahun 2005, cukup cepat: 2 hari, 4 ballot (Paus Benedictus XVI).
- Tahun 2013, 3 hari, 5 ballot (Paus Fransiskus).
Di antaranya: desas-desus, kompromi, bisikan di balik dinding Sistina. Dan di antara itu semua, mungkin, nama-nama yang tak pernah sampai ke surat suara. Mungkin nama yang hanya hidup in pectore.
Sembilan langkah sebelum suara putih berkepul dari cerobong dan terdengar kalimat itu: Habemus Papam. Kita telah punya Paus. Tapi adakah kita tahu, siapa yang tak jadi Paus? Siapa yang nyaris, tapi namanya disimpan terlalu lama dalam dada seorang Paus yang mati terlalu cepat?
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Dalam fiksi, seperti Conclave, kita disuguhi rahasia yang meledak di akhir. Dalam kenyataan, rahasia bisa mati tanpa jejak.
Dan mungkin itulah tragedi paling sunyi dari Gereja: ketika iman bertemu dengan politik, dan yang tertinggal hanya nama—yang tak pernah disebut.
In pectore: kasih yang disembunyikan.
Kekuasaan yang dibungkam. Dan sejarah yang ditulis dengan darah yang tak pernah mengering di altar.
Jakarta, 23 April 2025