Casio

Casio, Jam tangan Paus Fransiskus, Rolex. Omega, Arbain Rambey, ugahari, sederhana, jam tangan, Pancasila,

Cassio: bukan sedang promosi.
Jam tangan serupa Paus Fransiskus. Dok. Masri.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Aku lupa. Sejak bila waktu tak lagi kuikat di pergelangan tangan?

Barangkali sejak hari-hari menjadi begitu cepat dan jam tangan hanya terasa seperti beban.

Waktu yang kembali

Tapi segalanya berubah pagi itu. Sejak pensiun dini, 2013, saya tak lagi mengenakan jam tangan.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Saya melepaskan waktu dari pergelangan. Membiarkannya mengalir, liar, tak lagi menempel, tak lagi mengingatkan.

Karena saya tahu, waktu bisa menyiksa dalam diam. Ia mengetuk halus, tapi pasti. Ia tak berteriak, tapi menagih: detik demi detik. Ia memberi tanggal, lalu menuntut makna dari setiap angka itu.

Saya pun menggunting kartu kredit. Satu-satu. Habis.
Saya ingin hidup tanpa "jatuh tempo", tanpa kewajiban yang muncul setiap awal bulan. Saya ingin bebas—dari sistem yang bekerja bahkan saat saya tertidur.

Tapi pagi jelang siang itu, 9 September 2024. Jadi, tiga hari setelah Paus Fransiskus meninggalkan Indonesia. Sebuah paket tiba. Putri saya yang memesannyanya, via online. 

Saya membukanya perlahan. Di dalamnya, sebuah jam tangan: hitam, sederhana. Dial-nya putih. Tak mencolok. Tak minta perhatian. Tapi ia menatap saya diam-diam, seolah berkata: “Waktumu telah kembali.”

Baca In Pectore

Itulah jam tangan serupa yang dikenakan Paus Fransiskus ketika dan selama berada di bumi Pancasila.

Jam tangan Paus Fransiskus

Paus yang datang ke negeri ini, beberapa bulan lalu, bukan dengan takhta, bukan dengan garda kehormatan. Ia datang dengan senyum yang menjangkau, dan seutas jam sederhana di pergelangan tangan kirinya.
Casio.

Bukan Rolex. Bukan Omega.
Ia memilih jam yang tak banyak bicara, tapi justru mengatakannya semua.

Jam itu tampak kecil di tangan seorang kepala gereja sejagat. Tapi begitulah caranya mengajar: bukan dari atas mimbar, tapi dari laku yang paling biasa.
Tak ada khutbah tentang kesederhanaan.
Tak ada seruan panjang tentang hidup sederhana.
Ia hanya hadir, melambai, dan membiarkan seutas jam tangan hitam berkata: Beginilah seharusnya hidup. Tak perlu berlebihan.

Aku mengenakannya pelan, meniru cara Paus.
Tanganku yang telah sepuluh tahun tak memeluk waktu di pergelangan, kini merasakannya lagi. Tapi bukan sekadar waktu yang datang, melainkan sejenis perasaan: seperti sedang memanggul pesan seorang sahabat jauh yang bijak—dan diam.

Arbain Rambey juga

Arbain Rambey, kawan di Kompas dulu, juga jatuh hati pada jam ini. Ia memamerkannya dengan gaya Paus: miring, tenang, jenaka.
Dan aku tahu, tak hanya kami yang tersentuh.

Di media sosial, foto-foto bermunculan. Meme dan komentar mengalir. Banyak yang membeli, tapi lebih banyak yang tersentuh.

Di tengah dunia yang senang berisik dan gemar menonjolkan diri, Paus datang seperti bisikan. Seperti tetesan embun dinihari yang tak menggugah gaduh, tapi menyejukkan akar.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Dan Casio itu—benda mungil tak bernama megah—menjadi warisan.
Bukan karena harganya.
Bukan karena mereknya.
Tapi karena contoh yang dibawanya.

Warisan itu bukan bangunan gereja. Bukan lembaga.
Warisan itu adalah cara seorang pemimpin mengajarkan kebaikan tanpa memaksakan.
Cara seorang tua mengajak dunia diam sejenak, lalu berkata lewat laku:
Kita tak perlu memiliki banyak, untuk memberi banyak.

Kini jam itu ada di tanganku.
Dan setiap kali aku melihatnya, aku tak sekadar melihat pukul berapa.

Aku mengingat seorang Paus yang memilih tidak bersinar, agar terang datang dari dalam.

Kudengar detik yang mengingatkan: kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan kekuatan, yang diam.

Jam itu berdetak. Tak nyaring.
Tapi ia menandai satu hal yang jarang terjadi:
seseorang mengubah dunia, hanya dengan menjadi biasa.

Jakarta, 23 April 2025

LihatTutupKomentar