Bagaimana Penyair-pengarang Dayak Menjadi Chairil Anwar?

Chairil Anwar, legenda, idola, puisi, penyair, Indonesia, Aku, Karet, Aanleg, passion, Dayak, literasi, sastra, Blog, Podcast, YouTube, AI.

Chairil Anwar dan karyanya yang tak pernah mati. Kreasi: penulisnya.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Chairil Anwar wafat pada 28 April 1949. 

Itu fakta. Ia dikubur di Karet. Itu catatan administratif. Tapi apa benar seorang penyair mati ketika tubuhnya membusuk? Chairil, justru, mulai hidup ketika tubuhnya membeku. Tubuhnya memang diam. Tapi puisinya—tak pernah diam.

Chairil  hanya sekolah sampai kelas II MULO. Tak selesai. Tak penting. Tak perlu selesai. Yang selesai bukan pendidikan. Tapi hidup. 

Baca Casio

Chairil menyelesaikan hidupnya lebih cepat, barangkali karena ia sudah menemukan cara untuk hidup lebih lama dari tubuhnya sendiri.

Chairil: aanleg, passion, cinta-puisi

Saya pernah masuk sebuah perpustakaan. Swasta. Di bilangan Bundaran Slipi. Tidak saya cari Chairil, tapi ia menyergap saya. 

Buku-buku tua, rak kayu, katalog dengan tulisan tangan. Saya menyusuri lorong buku, dan di satu sudut: Deru Campur Debu, Kerikil Tajam yang Terampas dan yang Putus. Nama-nama yang tampak seperti penggalan luka. Lalu: edisi asli sajak-sajak Chairil, cetakan 1949. Langka. Hampir mustahil.

Saya ambil buku itu. Diam-diam. Perlahan. Tak ingin mengganggu magi yang tiba-tiba datang. Buku itu seolah tubuh Chairil sendiri. Kertasnya getas, tapi nafasnya masih terasa.

Tahun 1985, saya pernah menulis tentang Chairil. Ketika itu, saya menafsirnya dari kacamata eksistensialis. Mungkin Heidegger. Mungkin Sartre. Tapi Chairil tak pernah butuh tafsir. Ia sudah menafsirkan dirinya sendiri. Ia menulis:

“Aku mau hidup seribu tahun lagi!”

Apakah itu puisi? Atau janji? Atau kutuk pada kematian?

Saya tidak tahu. Tapi Chairil tahu. Ia tahu bahwa tubuhnya akan hancur. Tapi kata tidak. Kata bisa hidup lebih lama dari usia manusia. Kata adalah daging kedua bagi penyair. Dan Chairil mengerti cara menanam tubuhnya dalam kata.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Chairil tidak lahir dari sekolah, tetapi dari luka zaman. Ia menulis dari sudut sempit sejarah. Ia menentang kemapanan bahasa yang didominasi konvensi Timur, yang menganggap puisi sebagai doa atau kidung. Chairil mengubahnya jadi senjata. Ia menulis puisi seperti menulis wasiat. Kalimatnya pendek. Putus. Tapi menusuk. Seperti peluru.

Ia membaca Lorca, Marsman, Rilke, Du Perron. Ia menyadur mereka. Tapi tidak menyalin. Chairil mengindonesiakan Barat—bukan hanya dalam bunyi, tapi dalam jiwa. Ia tidak ingin jadi Barat. Ia ingin Indonesia—tapi Indonesia yang bergolak, yang tak tenang, yang ingin keluar dari kurung sejarah dan kolonialisme. Ia ingin Indonesia yang bisa berkata "Aku", tanpa malu, tanpa takut.

Penyair, kata Chairil, bukan juru tenang. Ia adalah juru resah.

Evawani, putrinya, tak punya ingatan tentang ayahnya. Waktu Chairil wafat, ia belum genap satu tahun. Tapi sejarah tidak menuntut ingatan personal. Sejarah menuntut kehadiran yang terus diingat. Dan Chairil—anehnya—diingat oleh jutaan siswa setiap tahun.

Anak-anak sekolah membaca puisi Chairil. Di kelas. Di lomba. Di panggung. Mereka menabur bunga. Tapi bunga itu bukan bunga kamboja di Karet. Bunga itu adalah kata. Kata-kata Chairil. Kata yang ditanam dalam ingatan. Dalam suara mereka. Dalam intonasi dan lafal yang kadang salah, tapi tetap menggetarkan.

Chairil menjadi ziarah. Tak hanya ke kuburnya. Tapi ke pikirannya. Ke jiwanya. Ke puisinya. Ke pemberontakannya terhadap maut.

Sapardi mencatat: Chairil mengubah arah puisi Indonesia. Ia mematahkan bayang-bayang Amir Hamzah. Ia menolak patuh. Ia menolak indah yang kosong. Ia memilih luka. Karena luka, adalah bukti bahwa kita hidup.

Kita hidup karena sakit. Karena kehilangan. Karena tak selesai. Chairil mengerti itu. Ia menuliskannya. Maka ia tidak mati. Ia hidup dalam setiap sajak yang dibaca dengan suara serak oleh siswa SMA. Dalam setiap bisikan yang terbata-bata di atas panggung. Dalam setiap jeda yang terlalu lama ketika seseorang membaca larik:

“Kenang-kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu…”

Di Krawang-Bekasi. Di Rengasdengklok. Di dalam sejarah yang berulang. Chairil hadir. Ia seperti menubuatkan sejarah Indonesia lewat sajak. Ia bukan hanya penyair. Ia nabi kecil dalam bahasa.

Bagaimana enyair-pengarang Dayak menjadi Chairil Anwar?

Pertanyaan ini bukan soal meniru. Bukan pula soal menjadi Chairil kedua. Sebab Chairil Anwar adalah satu. Seperti halnya Langit tak mungkin digandakan, begitu pula penyair yang menggetarkan sejarah dengan suara dan sunyi sekaligus.

Baca Dayak: Literasi Dayak dari Masa ke Masa Selayang Pandang

Pertanyaan ini lebih dalam: bagaimana seorang pengarang Dayak—yang lahir dari tanah hutan, dari sungai-sungai panjang, dari langit-langit rumah panjang yang dipenuhi asap dan doa—bisa menulis dengan kekuatan yang menembus waktu, seperti Chairil?

Jawabannya: dengan berani menyuarakan “aku”.

Chairil meletakkan dirinya sebagai subjek. “Aku ini binatang jalang,” katanya. Kalimat itu mengoyak. Tapi juga membebaskan. Di dunia yang dipenuhi kata “kami” dan “mereka,” Chairil membentangkan ruang bagi individu untuk hadir secara utuh—tanpa permisi, tanpa kompromi. Itulah langkah awal seorang penyair yang abadi: menyatakan dirinya sebagai suara, bukan gema.

Lalu bagaimana dengan penyair dan pengarang Dayak?

Sering kali kita menulis untuk mewakili. Mewakili budaya. Mewakili suku. Mewakili adat. Tapi belum tentu mewakili luka dan mimpi pribadi. Padahal, sastra yang besar justru lahir dari keberanian mencatat yang paling personal—dan karena itu paling universal.

Seorang penyair Dayak, jika ingin menjadi Chairil, tidak cukup hanya menulis tentang ngayau, gawai, manajah antu, atau tembawang. Ia harus menggali lebih dalam: apa yang terasa getir dalam hidupnya? Apa arti kehilangan ketika tanah leluhur dijual? Apa makna menjadi manusia dalam tubuh Dayak di tengah tekanan modernitas dan eksploitasi?

Chairil tidak menulis untuk menyenangkan siapa pun. Ia tidak menulis demi panggung. Ia menulis demi hidup. “Kalau sampai waktuku,” katanya, “’ku mau tak seorang ‘kan merayu.” Penyair Dayak harus punya keberanian yang sama: untuk berdiri sendiri, di antara adat dan zaman, lalu bicara dengan suara yang jernih, tajam, dan tak tergantikan.

Baca Penerbit dan Penulis Dayak Raih Predikat "Buku Terbaik Perpustakaan Nasional 2024"

Tapi kita hidup di zaman lain. Zaman digital. Chairil hanya punya mesin tik. Kita punya media sosial. Blog. Podcast. YouTube. AI. Maka tantangannya bukan hanya menulis, tapi merekam jejak.

Penyair Dayak yang akan dikenang bukan hanya yang menulis di atas kertas. Tapi juga yang mengarsipkan dirinya. Membuat dokumentasi. Menyimpan draft. Menulis catatan pinggir. Merekam suara. Mengabadikan pembacaan puisi. Mengonversi kenangan menjadi konten. Bukan demi viralitas, tapi demi kelangsungan ingatan.

Penyair Dayak yang bisa menjadi “Chairil Anwar” bukan hanya yang dikenal luas. Tapi yang dikenang dalam-dalam. Yang karyanya menjadi rujukan, menjadi bahan ajar, menjadi sumber kekuatan bagi generasi muda Dayak yang kelak ingin tahu: dari mana mereka datang, dan ke mana mereka pergi.

Chairil menjadi abadi karena puisinya punya tubuh. Dicetak. Diterbitkan. Dikutip. Disalin tangan ke tangan. Sekarang, penyair Dayak harus membuat tubuh-tubuh digital bagi puisinya. Bukan untuk mengejar kekekalan—sebab tak ada yang kekal di dunia ini. Tapi untuk memastikan bahwa satu kata pun yang jujur, tidak hilang begitu saja ditelan algoritma.

Baca Literasi Dayak di Plaza Indonesia

Chairil hidup dalam kata-kata. Penyair Dayak akan hidup dalam kata-kata dan data.

Karena itu, menulis adalah satu hal. Merekam adalah hal lain. Tapi yang utama: menghidupkan kata dengan kejujuran. Hanya itu yang akan membuat kita dikenang. Seperti Chairil. Seperti batu nisan yang tak pernah benar-benar diam, karena di baliknya, suara masih terus mengalir.

Mari kita tutup catatan ini dengan kalimat yang hampir seperti gumaman:

Penyair tidak mati.
Ia hanya berubah menjadi suara.
Yang datang dalam sunyi.
Yang hadir saat kita membaca.
Atau saat kita kehilangan kata.

Dan Chairil adalah suara itu.

Jakarta, 23 April 2025

LihatTutupKomentar