Kardinal Richelieu | Ketika Kuasa Kaisar dan Gereja Kawin-mawin
Richelieu: potret kuasa kaisar dan Gereja kawin-mawin: cicero-papisme. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di wajah Richelieu, sejarah membekukan momen saat kuasa Tuhan dan kuasa Raja bersalin rupa menjadi satu tubuh. Ia tak sepenuhnya seorang kardinal, tapi bukan pula sekadar negarawan.
Lihat mata yang tenang itu: di situ Kaisar dan Gereja berciuman dalam satu embusan napas. Dari ranjang sejarah yang kelam itulah lahir istilah: cicero-papisme—perkawinan gelap antara mimbar dan kekuasaan duniawi.
Cicero-papisme
Richelieu bukan sekadar pelaku dari kawin-mawin yang seharusnya tak terjadi. Ia adalah simbol. Alegori hidup tentang salib yang menjelma mahkota, mimbar yang menggenggam senjata, dan doa yang menjelma dekrit. Dalam dirinya, iman jadi alat, kekuasaan jadi dogma.
Baca Michelangelo | Ketika Jemari Pemahat Menyentuh Ujung Surga
Selalu ada sosok omnipotens. Yang di dalam dirinya terpusat segala kuasa: uang, jabatan, kekayaan, dan otoritas agama.
Bukan hanya di Indonesia. Bahkan Gereja Katolik telah lema menyejarahkannya.
Armand Jean du Plessis, atau yang kemudian disebut sebagai Kardinal Richelieu adalah contoh. Sosok yang barangkali adalah jenis manusia yang mengolah kekuasaan seperti seorang penyair mengolah bahasa: dengan kesadaran bahwa yang tampak bukanlah yang seluruhnya.
Richelieu Kardinal penuh kuasa
5 September 1622. Di Roma, sebuah upacara berlangsung. Paus Gregorius XV melantik seorang pria muda dari Prancis menjadi kardinal.
Tapi barangkali, pada saat itulah, Richelieu tak hanya menerima jubah merah. Ia menerima sesuatu yang lebih: izin untuk memainkan waktu dan sejarah seperti potongan bidak catur yang disusun ulang.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Ia masuk gereja, tapi tak sepenuhnya keluar dari dunia. Politik, bagi Richelieu, adalah bagian dari keimanan — bukan karena ia suci, tetapi karena ia tahu, kekacauan bisa jadi lebih berdosa ketimbang tipu muslihat yang terencana.
Richelieu bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah gema dari masa ketika ambisi dan doa sering kali duduk berdampingan, ketika kuasa dapat dikenakan seperti jubah, dan ditanggalkan hanya oleh maut.
Inilah Kardinal Richelieu — seorang pendeta dalam bayang-bayang kekuasaan, atau barangkali, kekuasaan dalam jubah seorang kardinal.
Profil Singkat Kardinal Richelieu
-
Nama Lengkap: Armand Jean du Plessis de Richelieu
-
Tanggal Lahir: 9 September 1585, Paris, Prancis
-
Tanggal Meninggal: 4 Desember 1642, Paris, Prancis
-
Jabatan Keagamaan: Uskup Luçon (1607–1642), Kardinal (1622–1642)
-
Jabatan Pemerintahan: Perdana Menteri (1624–1642)
-
Julukan: “Eminensi Merah”
-
Pendidikan: Kolej Navarre, Paris
Sejarah sering mengalir lewat orang-orang yang tak terlihat berbicara lantang, tapi bekerja dalam diam yang menghitung.
Setelah menerima jubah kardinal, Richelieu melangkah pelan ke tengah panggung politik Prancis. Bukan sebagai guntur, tapi sebagai kabut yang menyusup ke setiap ruang.
Baca Balot (Surat Suara) Pemilihan Paus yang Dibisikkan Roh Kudus
Diangkat perdana menteri
Tahun 1624, ia diangkat sebagai Chief Minister oleh Raja Louis XIII. Namun jabatan itu hanya kulit dari sesuatu yang lebih dalam: Richelieu menjadi arsitek kekuasaan yang tak lagi semata milik raja. Ia menyusun negara seperti seseorang menyusun altar: ada hierarki, ada harmoni, tapi juga pengorbanan.
Ia memerangi bangsawan. Bukan dengan pedang, tapi dengan strategi. Ia menaklukkan kaum Huguenot, bukan untuk meniadakan mereka, tetapi untuk memastikan negara lebih besar dari gereja, dan kekuasaan lebih luas dari iman. Ia mengubah wajah Prancis dari negeri yang retak-retak karena feodalisme menjadi benih negara modern.
Dan di tengah semua itu, Richelieu tetap sunyi. Ia menulis, membangun Académie Française, mencintai bahasa seperti seorang biarawan mencintai doa. Tapi ia juga menandatangani perintah penangkapan, mengatur pengintaian, bahkan membiarkan darah mengalir bila itu perlu bagi negara.
Seperti selalu, kekuasaan bukan hanya soal keputusan, tapi juga rasa bersalah yang datang setelahnya. Richelieu tahu itu. Ia membiarkan dirinya menjadi kambing hitam jika perlu, karena kadang, sejarah memang butuh seseorang yang mau disalahkan demi masa depan yang lebih teratur.
Tubuh melemah tapi kuasa berjalan
Di akhir hidupnya, tubuh Richelieu melemah. Tapi kuasanya masih berjalan. Ia tahu, ia bukan orang yang akan dikenang dengan cinta. Tapi mungkin, itu harga dari menjadi orang yang bekerja bukan untuk disukai, melainkan untuk memastikan negara tak runtuh oleh kelembutan yang sia-sia.
Baca Papabili
Setiap kekuasaan, bahkan yang paling kuat sekalipun, punya tanggal kedaluwarsa. Richelieu tahu itu. Ia bukan orang yang mengejar keabadian, tapi ia mengatur hidupnya seolah tahu bahwa kematian pun bisa dirancang.
Desember 1642. Tubuh Richelieu lunglai.
Tubuh yang dulu menahan badai politik kini dihuni sakit dan keletihan. Tapi seperti seorang penulis yang mengakhiri kalimat dengan titik yang tepat, Richelieu meninggal dalam irama yang ia atur sendiri. Ia tak membiarkan Prancis terjatuh bersamanya. Ia menyiapkan Mazarin, pengganti yang tak kalah licin dan penuh siasat.
Richelieu wafat dalam usia 57 tahun. Tapi sebagian orang berkata: ia telah hidup jauh lebih lama dalam jejak negara yang dibangunnya. Richelieu meninggalkan warisan yang tak selalu disyukuri, tapi tak bisa diingkari. Ia meletakkan fondasi bagi absolutisme raja—ironis, untuk seorang imam yang seharusnya membatasi kuasa duniawi. Tapi di sanalah letak paradoks yang menjadi napas hidupnya.
Ia percaya bahwa negara lebih penting dari pribadi. Dan mungkin, dari moral itu sendiri. Ia mencintai ketertiban seperti biarawan mencintai sunyi. Bagi Richelieu, negara tak harus adil, tapi harus utuh. Dan dalam keutuhan itulah, keadilan punya peluang lahir.
Pendidikan politik Richelieu
Warisannya bukan hanya bangunan akademi, bukan pula reformasi militer atau pembenahan anggaran. Warisannya adalah kesadaran bahwa politik, jika dijalani dengan sepenuh keheningan, bisa menjadi doa yang paling panjang.
Baca Konklaf | Asal usul dan Sejarahnya Masa ke Masa (1)
Ia tak menulis buku besar, tak mendirikan ordo. Tapi Richelieu telah menulis Prancis. Dengan pena. Dengan intrik. Dengan kesendirian.
Richelieu dikenal karena upayanya memperkuat kekuasaan kerajaan dan menekan pengaruh bangsawan serta Huguenot di Prancis.
Dalam kebijakan luar negeri, Richelieu beraliansi dengan negara-negara Protestan seperti Swedia. Tujuan politiknya untuk menahan kekuatan Habsburg dalam Perang Tiga Puluh Tahun.
Vatikan = Pemisahan Kuasa Agama dan Kuasa Dunia
Historia docet—sejarah mengajar kita bahwa ketika Gereja dan negara terlalu erat bersatu, kekuasaan rohani dan duniawi bisa saling menindas. Pengalaman pahit ini mendorong Gereja Katolik mengambil langkah besar: memisahkan otoritas spiritual dari politik. Langkah monumental ini diwujudkan melalui Pakta Lateran tahun 1929.
Lateran Treaty atau Pakta Lateran ditandatangani pada 11 Februari 1929 antara Tahta Suci dan Kerajaan Italia.
Pakta dan Perjanjian ini mengakhiri konflik panjang yang dikenal sebagai "Masalah Roma" sejak Italia merebut Negara Gereja pada 1870.
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Melalui pakta ini, Italia mengakui kedaulatan penuh Tahta Suci atas wilayah seluas 44 hektar yang kini dikenal sebagai Negara Kota Vatikan. Sementara Vatikan mengakui Roma sebagai ibu kota Italia.
Di luar dokumen itu, sejarah tidak selesai. Ia hanya beralih ke babak baru. Karena setiap perjanjian, seperti doa, tak selalu menjanjikan surga. Tapi setidaknya ia menghindarkan neraka.
-- Rangkaya Bada
Daftar Pustaka
-
Bergin, J. (1990) Richelieu: Father of the Modern State. New Haven: Yale University Press.
-
Church, W.F. (1972) Richelieu and Reason of State. Princeton: Princeton University Press.
-
Goenawan Mohamad (Various years) Catatan Pinggir, Series 1–10. Jakarta: Penerbit Kompas.
-
Knecht, R.J. (1991) Richelieu. London: Routledge.
-
Levi, A. (2000) Cardinal Richelieu and the Making of France. London: Constable.
-
McLuhan, M. (1964) Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw-Hill.
-
McPhee, P. (2002) A Short History of the French Revolution. London: Routledge.
-
Moote, A.L. (1989) Louis XIII, the Just. Berkeley: University of California Press.
-
Parrott, D. (2001) Richelieu's Army: War, Government and Society in France, 1624–1642. Cambridge: Cambridge University Press.
-
Putra, M.S. (2007) Iman & Akal Paus Benedictus XVI. Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah.
-
Richelieu, A.J. du Plessis (1961) Political Testament of Cardinal Richelieu. Translated by H.B. Hill. Madison: University of Wisconsin Press.