Michelangelo | Ketika Jemari Pemahat Menyentuh Ujung Surga
![]() |
Michelangelo menyentuh surga. Visualisasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Di sebuah ruangan di Vatikan. Langit diciptakan kembali. Bukan oleh Tuhan. Tapi oleh seorang manusia yang tak merasa pantas disebut pelukis.
Michelangelo Buonarroti. Seorang pemahat dari Firenze yang tangannya lebih terbiasa menaklukkan marmer ketimbang mengayunkan kuas. Tapi justru dialah yang diundang melukis surga.
Baca Mengenal Tata Cara dan 10 Tahap Pemilihan Paus | Para Kardinal Sedunia Bertemu dalam Konklaf (1)
Panggilan itu datang dari Paus Julius II, seorang pemimpin gereja yang tidak hanya memikirkan keselamatan jiwa, tapi juga keabadian seni.
Paus Julius II memandang Michelangelo bukan semata sebagai seniman, tapi sebagai nabi yang belum tahu bahwa ia nabi. Seolah-olah, melalui bisikan yang tak terdengar, Julius tahu bahwa hanya Michelangelo yang bisa membuat langit turun ke bumi.
Keyakinan seperti itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari. Ia datang entah dari mana—dari tempat yang tinggi, dari pertemuan antara doa dan naluri. Bagaimana mungkin seseorang yang belum pernah melukis fresco, dipercaya untuk mengerjakan salah satu permukaan paling sakral di dunia? Tapi Julius II bukan hanya percaya, ia memerintah.
Dan Michelangelo, meski dengan hati memberontak, patuh. Pada paus, pada pimpinan rohaninya.
Serta merta ia naik ke perancah. Tinggi sekali. Sendiri. Empat tahun lamanya. Dari 1508 sampai 1512. Ia bekerja tidak sebagai pelukis, tapi sebagai peziarah. Ia mengabdi, bukan sekadar berkarya. Ia tak hanya menorehkan warna, tapi menyentuh misteri.
Hari demi hari ia menatap lengkung langit yang kosong. Lalu sedikit demi sedikit, muncul cahaya. Air. Langit. Bumi. Laki-laki pertama yang tercipta dari tanah, dan perempuan pertama yang lahir dari rusuk. Di tengah semuanya: jari Tuhan nyaris menyentuh jari Adam. Sebuah celah kecil, senyap, sakral. Di sanalah keabadian bersembunyi.
Baca Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus Seabad Terakhir
Lukisan itu bukan sekadar gambar. Ia adalah pergumulan. Ketegangan antara ilahi dan manusia, antara panggilan dan ketakutan. Setiap nabi, setiap sibila yang mengelilingi panel utama, dilukis dengan tubuh yang berat, penuh tenaga, penuh keraguan. Karena iman yang sejati bukan tanpa gemetar.
Dua puluh tahun kemudian, Michelangelo kembali ke Kapel Sistina. Kali ini ke dinding altar. Ia tak lagi melukis penciptaan, tapi penghakiman. The Last Judgment. Tubuh-tubuh dilempar, dicabut dari dunia, terangkat atau terhempas.
Dan di tengah semua itu, ia lukis dirinya sendiri. Dalam bentuk kulit kosong yang digenggam malaikat. Seakan ingin berkata, "Aku pun tak tahu nasibku."
Michelangelo adalah pemahat. Ia percaya pada bentuk. Pada kesunyian batu. Tapi di langit Sistina, ia melampaui dirinya. Ia melukis seolah-olah bekerja untuk Tuhan. Dan karena itu, ia mencipta yang tak akan pernah usang.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Kita, manusia zaman ini, barangkali tak berdiri di atas perancah. Kita tak memahat marmer, atau melukis nabi di langit. Tapi kita pun dipanggil. Kita pun diminta berkarya. Mungkin bukan oleh Paus, bukan oleh penguasa, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam—suara kecil di hati kita sendiri.
Apakah kita menjawabnya?
Karena di dunia ini, barangkali itulah yang ditunggu: satu pekerjaan yang dikerjakan sepenuh jiwa. Dengan kesetiaan seorang hamba, dengan keberanian seorang seniman. Sesuatu yang kita lakukan bukan untuk tepuk tangan, bukan untuk uang, tapi untuk keabadian. Untuk langit yang tak terlihat, tapi nyata.
Seperti Michelangelo, kita pun bisa menciptakan sesuatu yang tinggal. Yang menggetarkan. Yang membuat dunia berhenti sejenak dan menatap ke atas.
Karena siapa tahu, pekerjaan terbaik kita yang kita lakukan diam-diam, dalam peluh dan doa adalah juga bentuk ibadah.
Bentuk cinta. Bentuk langit.
- Rangkaya Bada