Mengenal Tata Cara dan 10 Tahap Pemilihan Paus | Para Kardinal Sedunia Bertemu dalam Konklaf (1)

Paus, Fransiskus, kardinal, konklaf, Vatikan, Roma, Kapel Sistina, Santo Petrus, Yesus, Katolik, Suharyo, Bruno

 

Para Kardinal Sedunia Bertemu dalam Konklaf
Kardinal, red biretta, para pangeran paus. sumber: kardinal asia pasifik.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Tata cara pemilihan paus, seperti aliran waktu itu sendiri: mengalir dari masa ke masa.

Sejak Petrus, nelayan Galilea yang dipanggil "batu karang" itu — ditunjuk dari tangan Yesus sendiri — sejarah mulai bergerak dengan perlahan tapi pasti. 

Tahun 32 Masehi, sebuah takhta didirikan bukan di istana, melainkan di atas iman yang rapuh, pada manusia yang pernah menyangkal Tuhannya tiga kali. Tapi yang dari kerapuhan manusia itu Tuhan menjadikannya si batu karang, yang dalam bahasa Yunani (Πέτρα), yang berarti batu atau batu karang.

Terbilang dari Petrus (32 - 67 M) hingga Paus Fransiskus, telah ada: 266 Paus.

Dunia berubah. Kekuasaan jatuh. Kota-kota runtuh. Bahasa mati. Tapi dari satu ke lain, takhta itu berpindah tangan, menyandang gelar yang sama: pengganti Petrus, abdi dari para abdi Tuhan — servus servorum Dei. Sebuah nama yang tak sekadar menunjuk jabatan, melainkan luka, harap, dan keteguhan di antara reruntuhan waktu.

Namun, sejak tahun 1179, tak lagi sebuah panggilan ilahi yang memilih, tetapi kardinal Gereja Katolik —segelintir pangeran-pangeran paus yang terpilih (atau yang dikenal dengan red biretta)—yang menentukan siapa yang layak menggantikan sang pemimpin. 

Baca Papabili

Dari keheningan, dari dunia yang penuh gemuruh ini, para kardinal memilih sang pewaris, 15 hingga 20 hari setelah Paus wafat. Maka dimulailah langkah pertama: para kardinal sedunia berkumpul di Vatikan untuk konklaf.

Pangeran paus: 252 red biretta

Saat ini, Gereja Katolik memiliki 252 kardinal, dengan 135 di antaranya berusia di bawah 80 tahun dan memenuhi syarat untuk memilih Paus berikutnya. 

Para kardinal pemilih berasal dari berbagai wilayah: 23 dari Asia, 21 dari Amerika Latin, 18 dari Afrika, 16 dari Eropa (semuanya Italia), 16 dari Amerika Utara, dan 4 dari Oseania. 

Indonesia diwakili oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Satunya lagi adalah Kardinal Paskalis Bruno Syukur OFM, Uskup Keuskupan Bogor, yang baru diangkat menjadi kardinal pada Konsistori 8 Desember 2024.

Di jantung Kota Roma yang berdebu ini, tak ada yang lebih sunyi dan sakral dari saat itu. Dunia Katolik, yang seperti lautan luas dengan gelombang iman dan pencarian, kini terhenti sejenak. Tahta kosong. 

Baca Statistik Balot dan Hari Pemilihan Paus Seabad Terakhir

Sede Vacante. Dan dunia menghela napas. Di bawah cahaya lilin yang bergetar, dalam bayang-bayang kolom yang menjulang, para kardinal berkumpul, tak sekadar untuk memilih pemimpin duniawi, tetapi untuk mengangkat seorang yang akan mengemban tanggung jawab spiritual yang lebih besar dari sekadar gereja yang tampak. 

Para kardinal, yang datang dari segala penjuru dunia, berkumpul dalam sebuah ruang yang lebih besar daripada sekadar tembok Vatikan. 

Para pemilik red biretta berkumpul dalam silentium magnum. Bukan hanya keheningan yang dalam, juga kesunyian paling sepi. Tenggela. Larut hanyut dalam keheningan jiwa yang hanya bisa ditemukan di tempat kapel Sistina.

Konklaf

Kata konklaf berasal dari bahasa Latin, yaitu conclave, yang berarti "ruangan tertutup" atau "ruang yang terkunci." Secara harfiah, conclave terdiri dari dua bagian: con- yang berarti "dengan" atau "bersama," dan clavis yang berarti "kunci." Jadi, conclave merujuk pada suatu tempat yang dikunci atau ditutup, yang digunakan untuk menggambarkan tempat di mana para kardinal Gereja Katolik berkumpul dalam pemilihan Paus.

Penggunaan kata konklaf untuk merujuk pada pertemuan tertutup para kardinal ini dimulai pada abad ke-13, ketika para kardinal memilih Paus dalam suatu ruangan yang terkunci dan tak bisa diganggu, untuk memastikan kebebasan mereka dalam mengambil keputusan tanpa gangguan dari luar. Konklaf Paus pertama kali digunakan pada 1274, saat Paus Gregorius X mengatur prosedur pemilihan Paus yang tertutup dan dikendalikan dengan ketat.

Seiring berjalannya waktu, konklaf kemudian menjadi istilah yang lebih umum digunakan untuk menggambarkan seluruh proses pemilihan Paus di dalam Gereja Katolik.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Konklaf dalam konteks proses pemilihan paus ini bukanlah ritual administratif belaka. Ia adalah perjalanan yang merenung dan membekas. Sebuah perenungan atas kehidupan, atas kesendirian, dan atas hubungan manusia dengan Tuhan. Di saat dunia berbicara tentang politik, ekonomi, dan kekuasaan, di sini, di Kapel Sistina, tak ada lagi suara selain doa dan pemikiran yang bergulir dalam ruang sunyi. Seperti gelombang yang mereda setelah badai, di dalam hati para kardinal hanya ada satu suara: suara iman yang meresap, yang membawa mereka kepada keputusan yang lebih tinggi dari sekadar keinginan manusiawi. 

Di bawah langit-langit yang dipenuhi lukisan-lukisan agung itu, mereka adalah saksi sejarah yang akan menulis bab baru dalam perjalanan panjang Gereja yang telah berdiri lebih dari dua milenium.

Persiapan untuk konklaf

Persiapan untuk konklaf adalah sebuah simfoni yang diam. Para staf Vatikan bekerja dalam sunyi, merapikan setiap sudut, memastikan bahwa tak ada yang mengganggu sakralitas peristiwa ini. 

Kapel Sistina, yang sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk, kini menjadi tempat yang terjaga, steril dari dunia luar. Segala bentuk komunikasi diputuskan, seakan seluruh dunia yang penuh dengan keramaian dan kebisingan itu tak lagi ada. Para kardinal disembunyikan dalam tembok-tembok Vatikan yang kokoh, jauh dari segala keingintahuan dan dunia luar. Di sini, mereka tak hanya memilih seorang pemimpin; mereka memilih simbol dari harapan, doa, dan pengabdian yang akan mengarahkan jutaan jiwa menuju cahaya.

Meski segala persiapan tampak sempurna, dalam keheningan ini terdapat ketegangan yang tak tampak oleh mata. Ketegangan bukan dari pencarian kekuasaan, melainkan dari tanggung jawab yang begitu besar. 

Seorang Paus bukan hanya seorang pemimpin duniawi, tetapi juga seorang yang harus mengarahkan umat dalam pencarian spiritual yang tak terhingga. Dalam dirinya harus ada kekuatan untuk memimpin, kebijaksanaan untuk mengayomi, dan kasih yang tak mengenal batas. 

Di dalam keheningan itu masing-masing kardinal berhadapan dengan diri mereka sendiri—dengan perasaan, dengan doa, dan dengan pertanyaan batin yang paling mendalam: 

"Siapa di antara kita yang pantas memimpin umat dengan bilangan lebih dari 1,3 miliar sedunia ini?"

Sementara itu, dunia terus berputar. Media berspekulasi, menebak-nebak siapa yang akan terpilih. Nama-nama dikemukakan, profil dipublikasikan, spekulasi mengalir bagai arus sungai. Tetapi di dalam Kapel Sistina, arus itu terhenti. Semua yang ada hanyalah doa yang terucap dengan lirih, dalam. Setiap suara adalah suara Tuhan, dan setiap keputusan adalah keputusan yang harus diterima dengan kerendahan hati. 

Dalam sepuluh tahapan yang telah disiapkan dengan penuh teliti, proses ini berjalan. Dari pemilihan juru masak yang terpercaya, hingga pembakaran cerobong asap yang akhirnya memberi tanda: putih, atau hitam. Putih, maka dunia tahu. Seorang Paus baru telah terpilih.

Waktu berlalu. Dan akhirnya sinyal itu datang. Cerobong asap putih membubung tinggi ke langit Roma. Dunia tahu, tak lama lagi, Paus baru akan muncul, mengenakan jubah putih yang bersih, dengan wajah yang penuh harapan dan kebijaksanaan. Semua menunggu. Bukan hanya dunia Katolik, tetapi seluruh umat manusia yang mendengar namanya. Sebuah nama baru yang akan mengguncang dunia dan mengarahkan langkah-langkah umat dalam perjalanan spiritual mereka yang panjang.

Di balik proses yang tampaknya sederhana ini, terdapat kekuatan yang jauh lebih besar. Sebuah simbol dari harapan, pengabdian, dan keberlanjutan iman yang tak pernah padam. 

Sebuah peneguhan bahwa di tengah dunia yang terus berubah, ada satu hal yang tetap: pencarian akan kebenaran dan kasih yang abadi. 

Dan ketika cerobong asap putih itu muncul, dunia tak hanya melihat seorang pemimpin baru, tetapi seorang pemimpin yang akan membawa umat ini menuju suatu perjalanan yang lebih dalam. Sebuah perjalanan menuju cahaya yang tak terhingga.

Jakarta, 28 April 2025

Sumber: dari buku Iman & Akal Paus Benedictus XVI, 2007, halaman 92-99. Penulis adalah penulis artikel ini.

LihatTutupKomentar