Gunung Api di Jawa dan Bakar Ladang di Kalimantan

Gunung api, Jawa, ladang, bakar ladang, Kalimantan, tradisi, Sintang, Yakobus Kumis, Sekjen Majelis Adat Dayak Nasional, Mochtar Lubis

Gunung Api di Jawa dan Bakar Ladang di Kalimantan
Orang Dayak bakar lahan ladang bukan hutan by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Di Jawa, letusan gunung api menghapus desa-desa dari peta. Lava menelan rumah, menyapu hutan, mengguratkan ulang lanskap dengan tangan panas yang tak kasatmata. 

Abu menggantung di langit, mengubah siang jadi senja. Tak ada protes. Tak ada tuntutan. Gunung meletus sebagaimana kodratnya. Ia membinasakan bukan karena benci, tapi karena begitulah caranya memberi hidup baru. Setelah dentum dan debu, sawah kembali hijau, pohon-pohon kembali berbuah. Kehancuran menjadi benih kesuburan.

Baca Prof. Ndan Imang Menjelaskan Sistem Ladang Berpindah sebagai Kearifan Lokal yang Dituding Negatif

Di Borneo, tak ada gunung api. Tanahnya tak disuburkan oleh abu vulkanik. Di pulau terbesar ke-3 dunia ini, manusia sendiri yang menciptakan kesuburan. Dengan api. Tapi bukan sembarang api. Api yang disulut bukan dengan amarah, melainkan dengan pengetahuan. Api yang ditabuh bukan untuk membakar, tapi untuk membuka jalan bagi benih. Api yang lahir dari perhitungan waktu, dari kearifan, dari ikatan yang halus antara manusia dan alam.

Menurut Mochtar Lubis (1980: 9), tradisi ladang berpindah telah hidup di Borneo lebih dari sepuluh milenium. Sepuluh ribu tahun bukan usia yang pendek bagi sebuah kesalahan. Tapi hari ini, Dayak dituduh pembakar hutan. Mereka dijadikan kambing hitam dalam opera besar yang ditulis oleh modal dan kekuasaan.

Api, dalam kosmos Dayak, bukan simbol penghancuran. Ia adalah pengetahuan yang menyala. Ia adalah alat yang dijinakkan oleh waktu dan adat. 

Baca Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri

Tapi dunia modern tak paham bahasa itu. Ia lebih akrab dengan sirene pemadam, dengan citra satelit, dengan kata "kriminal." Ia tak mendengar cerita yang diucapkan dari mulut ke mulut. Ia hanya membaca laporan, menghitung kerugian, menulis dakwaan.

***

Di Sintang, Kalimantan Barat, petani-petani Dayak digiring ke kantor polisi. Mereka ditangkap karena menyalakan api di tanahnya sendiri. Ironi yang telanjang: mereka yang menjaga hutan dianggap sebagai perusak. Nama-nama mereka kini hidup dalam ingatan kolektif Dayak, bukan sebagai terdakwa, tapi sebagai penjaga adat, sebagai batu perlawanan.

Yakobus Kumis, Sekjen Majelis Adat Dayak Nasional, bersuara lantang:
"Kami tidak akan menerima kriminalisasi petani Dayak. Menuduh mereka berarti menista budaya leluhur kami. Tak ada kata lain selain: lawan!"

Dayak bukan hanya mengenal tanahnya; mereka menyatu dengannya. Hutan bukan objek eksploitasi, tapi rumah. Sungai bukan sekadar aliran air, tapi nadi kehidupan. Mereka menyalakan api bukan untuk membakar, melainkan untuk membuka ruang bagi kehidupan baru. Mereka tahu arah angin. Mereka tahu kapan hujan tiba. Mereka mengatur api seperti seorang musisi memainkan nada: dengan kepekaan.

Namun dunia yang tak mengerti keheningan, hanya melihat asap. Dunia yang tak belajar dari ritme tanah, hanya tahu larangan. Dunia yang lupa bahwa tradisi juga adalah bentuk ilmu pengetahuan.

Hari ini, Dayak tidak sedang membakar hutan. Mereka sedang mempertahankan cara hidup. Mereka sedang menyelamatkan yang tersisa dari zaman yang terlalu cepat berubah.

Baca Ladang Orang Dayak

Dan di tengah-tengah itu, kita dihadapkan pada satu pertanyaan yang tak kunjung selesai:
Siapakah sebenarnya yang menghancurkan hutan?

Dan siapa yang menjaga nyalanya agar tetap hidup?

Jakarta, 15 April 2025

LihatTutupKomentar