80 Tahun Ketika Usia Mendepak para Santo
Cardinal elector ambang usianya: 80 tahun. Ilustrasi by AI.
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Ada jam yang tak terdengar di Vatikan. Ia berdetak tanpa lonceng, tanpa gemuruh. Tapi ia lebih berkuasa dari tiang-tiang marmer Bernini di Basilika Santo Petrus.
Jam itu tak menunjuk waktu doa atau misa, melainkan angka keramat: delapan puluh.
Motu Proprio (Peraturan Paus yang terbit atas kehendak sendiri)
Angka 80 ini, sejak 21 November 1970, menjadi gerbang yang tertutup bagi para pangeran Gereja.
Baca Papabili
Paus Paulus VI—Montini yang asketik, yang lebih sering merenung daripada berpidato—menyodorkan Motu Proprio dengan judul yang terasa seperti nyanyian elegi: Ingravescentem Aetatem. Usia yang makin berat. Betapa pelan, betapa menusuk.
Ia menulis, dan dunia bergeser.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja Katolik yang purba dan panjang, usia menjadi batas antara hak memilih dan tidak. Bukan karena dosa, bukan karena bidah. Tapi semata karena uban dan lelah.
Baca Mungkinkah Paus dari Timur?
Sejak hari itu. Tiada seorang kardinal pun jga yang genap 80 tahun diizinkan memasuki konklaf. Mereka masih disebut eminensia, masih didengarkan, masih dihormati. Tapi tidak lagi diperhitungkan dalam pemilihan Paus.
Konklaf suara yang dari atas
Ironis. Karena konklaf bukan hanya tempat memilih Paus. Ia adalah ruang di mana manusia mewakili Roh Kudus — tempat yang dipercaya langit turun ke bumi, memilih pemimpin satu miliar umat. Tapi Paus Paulus VI, seorang pemikir modern dalam jubah tradisional, tahu: Roh Kudus pun perlu ruang bergerak. Dan usia lanjut, dalam benaknya, mungkin bukan lagi merupakan ruang itu.
Baca Richelieu dan Reformasi Pemilihan Paus | Hanya Kardinal atau Eminentissimus
Maka sejarah mencatat: para orang kudus bisa dikeluarkan dari proses ilahi, hanya karena tanggal lahir mereka.
Bayangkan itu.
Seorang kardinal tua yang pernah berlutut di Trastevere, yang pernah menyelamatkan gereja di pedalaman Andes, yang pernah mengkristenkan satu generasi anak-anak miskin di Lagos. Semuanya harus berhenti di depan pintu Kapel Sistina. Tidak karena ia berdosa. Tapi karena ia berusia tua.
Mungkin ia duduk sendiri di kamarnya yang sepi. Mendengar lonceng berdentang. Sementara para sahabatnya masuk ke ruang konklaf. Ia sudah melewati ambang waktu. Ia tak lagi elector, hanya penyaksi dari jauh.
Paus Yohanes Paulus II, dalam semangatnya yang enerjik dan monumental, tak mengubah keputusan itu. Malah mengukuhkannya. Dalam Universi Dominici Gregis tahun 1996, ia mengatur dengan presisi: bukan pada hari konklaf dimulai, tapi pada hari sebelum Tahta Suci lowong, sede vacante. Di situlah batas usia kardinal elector, dipatok. Waktu tak hanya menjadi urusan jam. Ia jadi hukum.
Dan di tengah semua itu, muncullah istilah-istilah yang berikut ini.
Cardinal elector, cardinal papabile, dan cardinal electabili
1. Cardinal Elector (Kardinal Elektoral)
Ini adalah kardinal yang sah dan memiliki hak untuk memilih Paus dalam konklaf.
-
Hanya kardinal di bawah usia 80 tahun yang diizinkan menjadi elector menurut aturan yang ditetapkan oleh Paus Paulus VI dan diperbarui oleh Paus Yohanes Paulus II.
-
Jumlah maksimal cardinal electors adalah 120 orang.
-
Mereka berkumpul dalam konklaf (pertemuan tertutup) untuk memilih Paus baru ketika posisi takhta Petrus kosong.
2. Cardinal Papabile
Istilah "papabile" berasal dari bahasa Italia yang berarti "layak atau mungkin menjadi Paus".
-
Ini adalah kardinal yang dianggap memiliki kemungkinan besar terpilih menjadi Paus oleh para pengamat, media, atau bahkan sesama kardinal.
-
Namun, ini bukan status resmi—hanya prediksi atau spekulasi.
-
Banyak papabile yang akhirnya tidak terpilih, sementara kandidat tak terduga justru menjadi Paus. Contohnya, Kardinal Karol Wojtyła (Paus Yohanes Paulus II) dulu bukan papabile utama.
3. Electabili
Istilah ini tidak resmi dan lebih populer di kalangan pengamat atau media.
-
Berasal dari gabungan "electable" (layak dipilih) dan kadang bercampur dengan istilah lokal seperti "terpilih" atau "pilihan populer".
-
Biasanya digunakan untuk kardinal yang namanya tidak resmi masuk daftar, tapi sering disebut-sebut atau didorong dalam wacana publik atau media.
-
Ini bisa terjadi karena pengaruh politik gereja, opini publik, atau kehadiran kuat tokoh tersebut di komunitas internasional.
Ketiga istilah ini menunjukkan tingkatan yang berbeda dalam persepsi publik dan internal Gereja terhadap siapa yang mungkin akan menjadi Paus, meskipun pada akhirnya hasil konklaf sering kali mengejutkan.
Keinginan dunia luar
Ada keinginan dari dunia luar untuk ikut menerka kehendak surga. Media memahat wajah-wajah kemungkinan, seperti meramal cuaca Roh Kudus. Tapi Vatikan tetap diam. Konklaf adalah ruang tak bersuara, di mana suara terbanyak menyatu dengan suara terdalam.
Baca Konklaf, Medici, dan Reformasi Kepausan
Tapi marilah kita kembali ke Montini, Paus Paulus VI. Di balik keputusan administratifnya yang terkesan kering, ada satu pengakuan manusiawi: bahwa tubuh punya batas, bahwa ingatan bisa kabur, bahwa hikmat pun perlu tenaga untuk mengeksekusi. Ia tahu Gereja harus tetap muda. Bukan dalam wajah, tapi dalam kemampuan mengambil keputusan besar. Memilih seorang Paus bukanlah nostalgia; itu adalah keputusan untuk masa depan.
Tapi, seperti semua keputusan besar Gereja, ia juga memantik rasa getir. Karena keputusan itu, pada hakikatnya, menyisihkan yang telah terlalu lama melayani. Di saat mereka seharusnya duduk di kursi kehormatan, mereka malah dipindahkan ke bangku cadangan.
Kardinal-kardinal yang kehilangan hak pilih tetap memegang tongkat gembala. Tapi tidak lagi diizinkan memilih sang Gembala Agung.
Dan Gereja pun berdoa.
Mungkin, di antara gema doa-doa itu. Para kardinal tua masih menunduk. Bukan karena menyesal. Tapi karena paham: bahwa bahkan dalam Gereja yang kekal, waktu tetap berkuasa.
Jakarta, 1 Mei 2025