Richelieu dan Reformasi Pemilihan Paus | Hanya Kardinal atau Eminentissimus

Richelieu, Armand Jean du Plessis,Poitou, Uskup Luçon, Raja Louis XIII, Eminentissimus, Praedecessores Nostri, Pius X, Benediktus XV, red biretta,

Tata-cara pemilihan paus yang sempurna melalui jalan tidak-sempurna juga. Visualisasi by AI.


🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Konklaf, proses serta tata-cara pemiliha paus oleh para "red biretta" (topi liturgis berbentuk kotak dengan tiga atau empat sudut, dikenakan oleh kardinal) yang sempurna itu, berliku. Melalui jalan yang tidak sempurna juga.

Panjang cerita Kapel Sistina senyap saat genta lonceng berbunyi. Orang luar hanya memandang asap putih mengepul dari cerobong. 

Dan dunia bersorak: paus baru telah terpilih. Namun di balik suara gembira umat Katolik, ada ritual kekuasaan yang telah direkayasa sejak berabad-abad lalu. 

Dimulai dari satu nama: Richelieu.

Baca Kardinal Richelieu

Di Vatikan, hanya segelintir orang yang boleh memilih paus. Mereka disebut Eminentissimus, gelar Latin untuk “yang paling termasyhur, paling menonjol.” Bukan sembarang rohaniwan. 

Gelar ini hanya melekat pada para kardinal: sebuah kelas tersendiri dalam hierarki Gereja Katolik. Para kardinal kerap dijuluki para "pangeran paus". 

Kardinal terdiri atas 3 level, atau ranking: kardinal uskup, kardinal imam, dan kardinal diakon --dengan fungsi dan tugas masing-masing yang gamblang.

Sejak remaja, Richelieu paham benar bahwa kekuasaan tidak diperoleh dengan bersujud, melainkan dengan membaca permainan di balik altar.

Tapi sedikit yang tahu bahwa eksklusivitas ini dibentuk bukan hanya oleh semangat iman, melainkan oleh ketegangan politik global dan kalkulasi kekuasaan yang panjang.

Jejak Richelieu

Armand Jean du Plessis lahir di Paris, 9 September 1585. Dari keluarga bangsawan kecil di Poitou, ia dikirim ke Kolese de Navarre sejak umur 9 tahun. 

Baca Papabili

Ia dikenal brilian dalam bahasa Latin, logika, dan filsafat. Tapi kepandaiannya bukan hanya akademis. Sejak remaja, Richelieu paham benar bahwa kekuasaan tidak diperoleh dengan bersujud, melainkan dengan membaca permainan di balik altar.

Ketika baru 17 tahun, Richelieu masuk seminari, belajar teologi, dan mendapat restu dari Paus untuk menjadi Uskup Luçon. 

Tak butuh waktu lama, ia memanjat tangga kuasa menjadi kardinal, lalu Perdana Menteri di bawah Raja Louis XIII. Di posisi inilah, Richelieu memadukan siasat politik Machiavelli dan struktur Gereja Katolik menjadi satu alat: dominasi negara atas Gereja.

Menurut arsip Bibliothèque Nationale de France, pada 10 Juni 1630, Richelieu memberi saran kepada Paus Urbanus VIII agar pemilihan paus hanya dilakukan oleh para kardinal. Bukan oleh raja, bukan oleh kaisar, bukan oleh bangsawan Gereja. Hanya para eminentissimusyakno orng-orang “yang terkemuka.” 

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Maka sejak itu, konklaf menjadi arena para elite Vatikan. Eksklusif dan tertutup.

“Berikan aku enam baris tulisan dari orang paling jujur, maka akan kutemukan alasan untuk menggantungnya,” ujar Richelieu, menyiratkan satu hal: tak ada kekuasaan yang steril dari manipulasi. Termasuk konklaf.

Politik dalam Doa

Reformasi Richelieu menutup jalan intervensi kerajaan, tapi membuka babak baru: Gereja sebagai arena lobi internasional. Konklaf menjadi sakral sekaligus politis. 

Para kardinal membawa preferensi bangsa: Prancis, Italia, Spanyol, Austria. Bahkan Amerika Latin dan Afrika mulai menampilkan pengaruhnya sejak abad ke-20.

Situasi ini memaksa Paus-Paus sesudahnya memperketat aturan.

Paus Leo XIII, pada 24 Mei 1882, mengeluarkan dekrit Praedecessores Nostri. Di dalamnya dinyatakan bahwa pemilihan Paus tetap sah jika berlangsung di Roma, meski paus sebelumnya wafat di luar Vatikan. Dekrit ini memberi fleksibilitas prosedural, tetapi tetap menjunjung eksklusivitas para kardinal sebagai satu-satunya pemilih sah.

Baca Konklaf, Medici, dan Reformasi Kepausan

Paus Pius X melanjutkan reformasi. Pada 20 Januari 1904, dalam bulla Commissum Nobis, ia melarang tegas keterlibatan kekuasaan duniawi dalam konklaf, termasuk hak veto yang sebelumnya kerap digunakan oleh monarki Katolik Eropa. 

Larangan itu dilengkapi dengan Vacante sede Apostolico (25 Desember 1904), yang mengatur secara rinci mekanisme kekosongan tahta.

Namun Pius X ingin lebih jauh: ia mendorong agar para kardinal—yang kebanyakan tinggal di Roma dan bekerja di Kuria Romana—memiliki uskup bantu yang tinggal di keuskupan suburbikaris mereka. Alasannya: agar tidak terjadi kekosongan pastoral di wilayah-wilayah penting.

Namun ide itu tak bertahan lama. Paus Benediktus XV pada 1915 mencabutnya lewat Ex Actis Tempore. “Tidak semua reformasi liturgi cocok untuk dilembagakan,” tulisnya dalam komentar pastoral.

Konklaf Modern: Jubah dan baret merah (red biretta) dan Lobi Global

Konklaf hari ini tetap eksklusif, tapi tidak steril dari tekanan geopolitik. Persaingan antara kelompok konservatif dan progresif mewarnai setiap pemilihan paus. 

Kelompok Kuria lama menghadapi tantangan dari kardinal misionaris dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang membawa narasi keadilan sosial dan ekologis. Sejak 1978, dengan terpilihnya Paus Yohanes Paulus II dari Polandia, konklaf bukan lagi monopoli Italia.

Dokumen Vatikan menyebutkan bahwa sejak reformasi Richelieu, jumlah kardinal pemilih dibatasi maksimal 120 orang, dengan usia di bawah 80 tahun. Meski angka itu beberapa kali dilanggar secara praktik, aturan tetap dijaga ketat. Suara mayoritas dua pertiga ditetapkan sebagai syarat mutlak kemenangan.

Baca Konklaf | Asal usul dan Sejarahnya Masa ke Masa (1)

Namun tekanan tetap datang, bukan dari kerajaan, melainkan dari opini publik global. Paus Benediktus XVI, yang mundur secara sukarela pada 2013, mengaku lelah menghadapi tekanan luar: skandal pelecehan, korupsi Bank Vatikan, hingga faksionalisme internal.

Ketika Paus Fransiskus terpilih, sebagian besar media menyebutnya sebagai paus “dari dunia ketiga.” Tapi sejatinya, ia adalah hasil dari evolusi panjang eminentissimus: para kardinal yang tidak hanya mewakili tradisi, tapi juga benturan zaman.

Bayang-Bayang Richelieu

Hari ini, Vatikan lebih digital, lebih transparan, dan lebih peka pada isu global. Namun, mekanisme kekuasaan tetap dijaga dengan pagar teologis yang kokoh. Para eminentissimus masih menjadi satu-satunya kunci pergantian tahta suci.

Di ruang konklaf yang dikelilingi lukisan Penghakiman Terakhir karya Michelangelo, para kardinal berdoa dalam diam. 

Tapi sejarah mencatat, doa mereka tak pernah bebas dari bayang-bayang: politik, ambisi, dan tentu saja: jejak Richelieu.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar