Krayan: Sebuah Sunyi yang Tak Didengar Negara

Dayak, Krayan, Kalimantan, pembangunan, ketimbangan, ketidakadilan distributif, ketidakhadiran Negara, kepedulian, jalan rusak, infrastruktur buruk,

 

Krayan: Sebuah Sunyi yang Tak Didengar Negara
Jalan Lingkar Krayan yang membuktikan ketidakadilan distributif oleh Negara. Doc. Ist.


🌍
 DAYAK TODAY  | TARAKAN:  Barangkali Jakarta tak tahu di mana Krayan. Jakarta seakan tak peduli. Peta mereka bukan peta bumi, tapi peta kekuasaan. Di dalamnya, hanya ada pusat. Pinggiran tak lebih dari ruang putih yang tak sempat diwarnai.

Kita tahu, setiap tahun para oligarki menyedot Sumber Daya Alam (SDA) dari tanah-tanah yang jauh. Mereka kirim alat berat, mereka buka tambang, mereka potong hutan. Mereka datangkan kontraktor, konsultan, dan pengusaha. Lalu yang dikembalikan ke tanah asalnya hanya serpihannya. Dua puluh persen. Tiga puluh, paling banter. Sisanya? Mengalir deras ke pusat. Ke beton, ke langit-langit gedung kementerian, ke rapat-rapat yang tak pernah menyebut nama Krayan sekalipun.

Baca Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Kalimantan

Apakah itu keadilan? Atau hanya cara baru untuk melestarikan kolonialisme dalam bendera yang berbeda?

Saat kita berteriak, mereka diam. Tapi diam bukan berarti tidak tahu. Mereka tahu. Mereka hanya terlalu nyaman untuk terganggu.

Mereka tuli. Tapi bukan tuli yang menyedihkan, melainkan tuli yang dipilih. Tuli karena telah lama berhenti merasa. Tuli karena mendengar kita berarti mereka harus berubah, dan perubahan itu mengganggu tatanan yang menguntungkan mereka.

Lalu apa yang tersisa bagi kita? Kemandirian—tapi bukan karena mereka ajarkan. Melainkan karena kita tak punya pilihan lain.

Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan

Di Krayan, orang-orang tidak hidup dari belas kasih negara. Mereka hidup karena warisan kekuatan dari leluhur. Mereka tak mengemis subsidi, karena mereka punya tanah. Punya air. Punya udara yang belum dijual. Mereka tidak hidup dari janji politik, tapi dari kerja-kerja sunyi.

Kopi mereka harum, tapi tak pernah dijual di kafe ibu kota. Gula mereka manis, tapi tak pernah tampil di label supermarket. Garam mereka asin, tapi tak pernah diasosiasikan dengan “kesejahteraan nasional”. Dan padi Adan, padi langka, padi dunia, tumbuh sabar di tanah tinggi—tapi tak masuk daftar “prioritas ekspor”.

Apa yang salah? Tidak ada. Kecuali satu: mereka tinggal terlalu jauh dari Jakarta.

Kita bukan hanya miskin karena kekurangan. Tapi karena sistem sengaja membiarkan kita tetap seperti ini. Dalam statistik, kita disebut tertinggal. Tapi siapa yang meninggalkan siapa?

Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Mereka bilang: mari bangun daerah. Tapi mereka datang dengan peta tambang, bukan dengan peta pendidikan. Mereka bicara pembangunan, tapi lupa menyebut manusia. Mereka bicara investasi, tapi diam ketika kita bicara air bersih, sekolah rusak, dan jalan yang hanya bisa dilalui sepeda motor saat musim kering.

Jadi kita berhenti menunggu. Kita membangun sendiri. Bukan karena kita anti-pemerintah. Tapi karena kita sudah terlalu lelah berharap pada janji yang tak datang.

Kita tanam padi. Kita panen madu. Kita petik kopi. Kita masak garam. Kita buat rumah. Kita ajar anak-anak. Kita buka perpustakaan. Kita bikin buku. Kita jaga hutan.

Karena negeri ini milik kita juga.

Krayan bukan desa miskin. Ia hanya dilupakan. Ia bukan tak berkembang. Ia hanya tak masuk radar mereka yang mengatur dari balik jendela ber-AC. Dan barangkali, dalam diamnya, Krayan lebih merdeka dari mereka yang sibuk mengatur, tapi tak pernah menyentuh tanah.

Baca Jalan Lingkar Dataran Tinggi Borneo yang Terampas dan yang Putus Itu Bernama Krayan

Jika kita percaya pembangunan manusia adalah tujuan, maka Krayan sudah memulainya lebih dulu. Sumber dayanya ada. Tenaganya ada. Cintanya pada tanah ada.

Yang perlu ditambah hanyalah: keadilan.

Tapi jika keadilan itu tak pernah datang, maka biarlah kita yang membangunnya sendiri. Dengan tangan yang letih tapi tak menyerah. Dengan jiwa yang sunyi tapi tak padam.

Karena kadang, dari daerah yang tak disebut dalam berita, lahir manusia yang paling tabah mencintai negerinya.

Dan jika Tuhan masih melihat, maka biarlah Ia mencatat: Krayan telah lebih dulu berbuat, bahkan sebelum negara sempat datang.

-- Dr. YTP

LihatTutupKomentar