Catatan dari Perbatasan 1: Mengapa Dayak Sarawak lebih makmur dan maju dari Dayak Indonesia

Dayak, Sarawak, Malaysia, Entikong, Tebedu, Indonesia, Kalimantan Barat, Inggris, Belanda, Bumiputera, Kuching

Di Sarawak Dayak lebih makmur dan maju dari Dayak di Indonesia. Dokpri penulis.

🌲 DAYAK TODAY  | JAKARTA:

Preambul:

Di tengah riuh wacana geopolitik dan pembangunan nasional, sering kali kita lupa: ada manusia yang hidup di antara negara. Mereka tidak merasa sepenuhnya milik satu bendera, tapi juga tak bisa melepaskan identitasnya dari sejarah, tanah, dan leluhur. 

Dayak, yang mendiami pulau Kalimantan dari barat hingga timur, adalah salah satu bangsa yang paling dalam makna dan paling sunyi dalam narasi.

Baca Membaca Entikong Lewat Mesin

Serial catatan ini berangkat dari perjalanan, pengamatan, dan percakapan di titik temu dua negara: Entikong di Indonesia dan Tebedu di Malaysia. Namun lebih dari sekadar dua nama lokasi administratif, perbatasan ini menyimpan kerumitan: tentang ekonomi, kekuasaan, sejarah, bahkan tentang siapa yang lebih "berjaya" dan siapa yang dilupakan.

Masri Sareb Putra mencatat semua yang diinderainya. Sebagai pengingat bukan untuk saat ini, tetapi 50, 100, 200, 500; bahkan 1.000 lahun lagi.

Selamat menikmati!

***

Sama-sama Dayak. Tapi tidak sama nasibnya.

Barangkali, sebagaimana kisah-kisah lama di hutan tropis yang belum habis, kita bisa mulai dari sebuah garis imajiner: perbatasan. 

Di sebelah utara, Sarawak, Malaysia. 

Di sebelah selatan, Kalimantan Barat, Indonesia. 

Di antara keduanya: sebuah pos lintas batas, Entikong–Tebedu. Sebuah gerbang yang menandai bahwa tanah yang sama bisa dibagi dua oleh sejarah yang berbeda.

Mengapa Dayak di Sarawak lebih makmur dan maju dari Dayak di Indonesia?

Lalu kita bertanya dalam senyap yang tak menjawab: mengapa Dayak di Sarawak lebih makmur dari Dayak di Indonesia?

Mungkin jawabannya ada pada kolonialisme: Inggris di utara, Belanda di selatan. 

Baca The Battle for Sacred Forests: Legal Victory for Indigenous Rights, but Economic Interests Hold Strong

Inggris membiarkan institusi adat hidup berdampingan dengan birokrasi modern. Belanda? Merekayasa sistem sosial hingga adat hanya menjadi ornamen dalam laporan pegawai. Mungkin juga karena Malaysia, dengan kebijakan “Bumiputera”, memberi ruang dan perlindungan terhadap suku-suku asli. Sementara di Indonesia, Dayak adalah anak kandung yang kerap merasa seperti anak tiri—diakui saat diperlukan, dilupakan saat sepi.

Tapi bisa jadi ini juga soal jarak. Jarak dari ibu kota. Jarak dari kekuasaan. Jarak dari mereka yang menulis sejarah. Jakarta terlalu jauh untuk mendengar bahasa Dayak. Terlalu sibuk untuk melihat jalan becek di Balai Karangan, terlalu riuh untuk mendengar bisik-bisik anak sekolah yang harus menyebrang ke negeri seberang untuk mendapat sinyal internet.

Di Malaysia, bahasa Iban dan Bidayuh diajarkan di sekolah. Ia menjadi bagian dari buku pelajaran, bukan sekadar obrolan dapur. Sementara di Indonesia, bahasa Dayak hidup dari generasi ke generasi, tapi hanya lewat ingatan. Tak tercetak, tak tercatat, tak diakui. Ia tetap menjadi lidah yang bertahan, walau negara tak menyapanya.

Apa yang menjadikan seseorang merasa sebagai warga negara? Adalah rasa hadir. Rasa dijaga. Rasa dianggap. Di Sarawak, jalan desa diaspal, subsidi disalurkan, klinik desa beroperasi. Di Kalimantan Barat, banyak Dayak lebih dekat ke rumah sakit di Kuching daripada ke RSUD di kabupatennya sendiri. Ironi ini terlalu akrab untuk disebut kebetulan.

Maka kadang kita tergoda untuk bertanya: mengapa negara terasa jauh dari yang seharusnya dekat? Mengapa sejarah terasa seperti semak belukar yang menutup jalan ke keadilan?

Mungkin karena kita belum cukup menulis tentang mereka. Belum cukup mendengar. Belum cukup berani berkata bahwa Indonesia belum selesai.

Baca Ngayau (1)

Dan barangkali, seperti kata Chairil Anwar, sejarah adalah api. Ia membakar bukan hanya daun-daun kering masa lalu, tapi juga ilalang yang tumbuh dari kelalaian kita hari ini.

Maka ketika kita berbicara tentang Dayak —di Entikong atau di Tebedu, di pedalaman Kapuas Hulu atau di kampung pinggiran Kuching— kita sedang berbicara tentang keberanian untuk mengakui: bahwa satu bangsa bisa tumbuh jadi dua nasib.

Dan mungkin, seperti perbatasan itu sendiri, yang terlihat hanyalah garis. Tapi luka dan harapannya: melintasi negara.

Analisis Reflektif: Dua Wajah Dayak di Dua Negara

Dalam satu pulau yang sama—Borneo—hidup dua komunitas Dayak yang secara genealogis dan budaya berasal dari akar yang sama. Namun, sejarah kolonial dan arah pembangunan negara menjadikan mereka tumbuh dalam dua dunia yang berbeda.

🧭 Negara dan Pengakuan Identitas

Dayak di Sarawak diakui secara resmi sebagai Bumiputera, yang berarti mereka tidak hanya dianggap sebagai warga asli, tetapi juga berhak atas perlakuan istimewa dalam kebijakan negara. Ini mencakup akses terhadap beasiswa, peluang kerja sektor publik, dan perlindungan budaya. Sementara itu, Dayak Indonesia, meskipun disebut sebagai "putra daerah", seringkali luput dari perhatian dan kebijakan afirmatif. Mereka ada, tetapi tidak selalu diakui dalam sistem.

Baca Dayak dan Hak Atas Tanah Adat

🛣️ Infrastruktur dan Layanan Publik

Di Sarawak, jalan-jalan desa diaspal, klinik tersebar, dan pasar tersedia. Di Entikong, Tampi, Engkarong, dan desa-desa Kalbar lainnya, anak-anak Dayak harus menempuh jarak berjam-jam, kadang-kadang dengan berjalan kaki atau menyusuri sungai, hanya untuk sekolah atau berobat. Ketimpangan ini menciptakan realitas keseharian yang sangat timpang—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara simbolik.

📚 Pendidikan dan Bahasa

Bahasa Iban dan Bidayuh diajarkan di sekolah di Malaysia. Dayak Sarawak dapat membaca dan menulis dalam bahasa ibu mereka, dan itu dianggap sebagai aset budaya nasional. Sementara di Indonesia, bahasa Dayak tetap hidup, tetapi hanya dari mulut ke mulut—ia tak pernah menjadi bagian dari buku teks, apalagi kurikulum.

🧑‍🤝‍🧑 Kehadiran Negara dan Loyalitas

Bagi Dayak Sarawak, negara hadir dalam bentuk konkret: subsidi, infrastruktur, dan ruang budaya. Bagi Dayak Indonesia, negara kerap dirasakan jauh dan lamban. Dalam banyak kasus, masyarakat Dayak Kalbar lebih mudah mengakses kebutuhan pokok ke Tebedu (Malaysia) ketimbang ke ibu kota kabupaten sendiri. Sebuah ironi: negara tetangga terasa lebih dekat daripada negara sendiri.


✍️ Catatan Sementara

Perbandingan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menyadarkan. Bahwa identitas kebangsaan tidak hanya ditentukan oleh simbol atau bendera, tapi oleh rasa hadir dan dihargai. 

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Dalam diri Dayak Indonesia, ada luka sunyi yang tak terdengar, ada ketabahan yang tak tercatat dalam berita utama, dan ada pertanyaan diam: “Apakah kami bagian dari Indonesia yang dijanjikan itu?”

Dalam membandingkan, kita tak hanya menilai perbedaan, tapi juga membuka ruang untuk bercermin. Mungkin sudah waktunya Indonesia melihat ke cermin sejarah dan bertanya: mengapa mereka yang sama darah dan bahasanya, tidak mendapatkan nasib yang setara?


Jakarta, 8 April 2025

LihatTutupKomentar