Sempadan Entikong - Tebedu dan Geopolitik Kekuasaan
Hanya satu Dayak tanpa sekat sempadan geopolitik ciptaan kekuasaan. Dokpri. |
🌍 DAYAK TODAY | SANGGAU: Batas dalam bahasa Malaysia adalah: sempadan.
Nah, Dayak tinggal berhampiran sempadan negeri Indonesia dan Malaysia. Persisnya di Entikong - Tebedu.
Saya selalu percaya bahwa sebuah batas bukanlah hanya garis di peta. Ia adalah ruang diam yang dipenuhi bisik-bisik sejarah, keraguan, dan kadang: pengkhianatan.
Baca Catatan dari Perbatasan 1:Mengapa Dayak Sarawak lebih makmur dan maju dari Dayak Indonesia
Entikong dan Tebedu bukan hanya nama. Keduanya adalah dua wajah dari satu tubuh yang direngkuh dua negara, dua sistem, dua ingatan. Di sanalah, di tapal itu, Indonesia dan Malaysia saling bersitatap. Bukan tanpa luka.
Dulu, saya berpikir perbatasan adalah kawasan yang sunyi. Sebuah tempat di mana waktu berjalan lambat, dan kehidupan seperti ditinggalkan oleh pusat kekuasaan. Tapi nyatanya, perbatasan adalah tempat paling gaduh.
Di sana, sejarah tak pernah diam. Di sana, kolonialisme tidak pernah benar-benar pergi. Dan entah bagaimana, dua lelaki dari masa lalu—Sir James Brooke dan para haaren VOC—masih mengatur napas masyarakat lokal hari ini.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Entikong dan Tebedu, keduanya berjarak beberapa meter. Tapi jarak sosial, ekonomi, dan simbolik di antara mereka bisa berpuluh tahun. Bahkan lebih. Di satu sisi, PLBN kita berdiri gagah, menyaingi menara kebanggaan tetangga.
Di sisi lain, di luar pagar yang dilapisi cat nasionalisme, masyarakat masih merasa menjadi anak tiri dari sebuah republik yang katanya hadir “dari pinggiran”.
Mereka bertanya—dalam nada nyaris putus asa—mengapa negara hadir dengan megah, namun cepat berlalu? Mengapa sumber daya mereka hanyalah debu di kas negara? Mengapa perasaan menjadi warga negara penuh hanya muncul saat Presiden berkunjung, lalu lenyap saat rombongan itu kembali ke ibukota?
Saya percaya, pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar keluhan. Ia adalah bentuk kesadaran politik yang halus.
Di balik sinisme itu, tersimpan harapan yang nyaris mustahil: bahwa negara akan benar-benar hadir. Bukan dengan seremoni, bukan dengan baliho Nawacita. Tapi dengan tindakan yang memahami bagaimana sejarah dan budaya membentuk masyarakat.
Lalu datanglah penelitian ini—yang menyentuh PLBN Entikong dan Tebedu bukan sebagai objek kebijakan, melainkan sebagai manusia. Ia menelisik dengan pendekatan historiografi, etnografi, dan fenomenologi. Ia tidak hanya bertanya "apa yang terjadi?", tetapi juga "mengapa manusia di sini bersikap demikian?" dan "bagaimana luka sejarah membentuk cara mereka hidup hari ini?"
Dan saya pun sadar, penelitian seperti ini adalah bentuk keberanian: keberanian untuk tidak terjebak pada data semata, tetapi menelisik ruang batin masyarakat perbatasan. Bahwa manajemen konflik tidak cukup hanya dengan merancang program, membangun jalan, atau menurunkan dana desa. Konflik harus dipahami dari dalam. Dari memori kolektif. Dari trauma yang diwariskan diam-diam dari generasi ke generasi.
Lalu kita pun harus jujur. Bahwa selama ini kita membanggakan pembangunan, tapi sering melupakan pemberdayaan. Bahwa kita bicara tentang perbatasan sebagai aset geopolitik, tetapi jarang melihatnya sebagai ruang hidup komunitas. Dan bahwa kita memuji PLBN sebagai prestasi visual, padahal masyarakat di sekitarnya masih berkutat pada listrik yang tak stabil, akses pendidikan yang timpang, dan pelayanan kesehatan yang tertatih.
Kadang, industrialisasi datang seperti badai. Ia menjanjikan modernitas, tetapi melumat masyarakat tradisional. Seperti api yang memberi terang, tetapi juga membakar rumah yang tak siap menampung panasnya. Di sinilah negara diuji: mampukah ia menyalakan terang tanpa membakar akar?
Saya kira, itulah orisinalitas dari penelitian ini. Bukan hanya karena lokusnya spesifik, atau karena pendekatannya interdisipliner. Tapi karena ia berani menyuarakan yang tak terdengar. Ia menjadi semacam puisi panjang—tentang luka, tentang batas, tentang harapan yang masih ingin hidup.
Baca Pulang Kampung
Dan mungkin, seperti semua puisi yang baik, ia tak menawarkan jawaban. Ia hanya menyodorkan cermin. Agar kita bercermin. Tentang siapa kita di hadapan mereka yang berdiri di tepi: masyarakat perbatasan.
Karena dalam cermin itulah, kita tahu: perbatasan sesungguhnya ada dalam diri kita. Ia hanya ada dalam kamus geopolitik ciptaan kekuasaan. Tujuannya untuk: menguasai dan mengendalikan.
Apakah kita memilih menjadi bangsa yang hadir?
Atau hanya mencatat kehadiran kita sendiri?
-- Rangkaya Bada