Pulang Kampung
Sarjana-sarjana Dayak pulang kampung membangun usai lulus kuliah di Jawa by AI.
Oleh Gat Khaleb
🌍 DAYAK TODAY | Nunukan: Barangkali kita sedang bergerak terlalu cepat. Kota-kota tumbuh dalam kecepatan yang membuat kita susah berpikir panjang, apalagi ke belakang. Bangunan menjulang, koneksi makin cepat, waktu pun terasa semakin mahal.
Dalam semua itu, sesuatu perlahan memudar: kampung halaman kita. Ia tidak hilang, tapi samar. Seperti kabut tipis di pagi hari yang menutupi hutan tua. Kita tahu ia masih ada, tapi kita tak yakin arah pulangnya.
Baca Tokoh Dayak dalam Posisi Ormas: Pengamatan Sekilas
Di antara peta-peta digital dan rencana hidup lima tahun ke depan, kata “pulang” terdengar seperti jeda yang tak sempat kita ambil. Dan di antara anak-anak kita, “kampung” perlahan terdengar seperti nama asing. Mereka tahu itu tempat asal orangtuanya, tapi bukan milik mereka. Bukan bagian dari diri mereka. Dan yang lebih menyedihkan: mereka tidak ingin tahu.
Saya sering membayangkan: bagaimana caranya agar kita benar-benar mewarisi tanah? Tanah bukan sekadar objek warisan hukum, tetapi warisan batin. Di mana tubuh dan ingatan menyatu. Di mana suara jangkrik dan bau tanah basah adalah bagian dari kosakata emosional kita. Apakah cukup dengan membagi ladang ke anak-anak? Atau dengan menyimpan surat-surat resmi di lemari?
Tidak. Warisan yang sejati adalah pengertian yang diwariskan, bukan hanya barang. Kita tidak mewarisi tanah jika tidak mewarisi cara menjaganya. Tidak mewarisi kampung jika tak mewarisi rasa hormat padanya.
Maka saya ulangi lagi gagasan sederhana yang kadang saya bisikkan ke teman-teman di Nunukan: kita harus “kembali.” Tapi kembali yang saya maksud bukan hanya soal tubuh. Melainkan juga soal pikiran. Soal kesadaran.
Baca Dayak dan Hak Atas Tanah Adat
Saya membayangkan sebuah pondok kecil di pinggir kampung. Mungkin hanya berdinding papan, beratap seng yang berkarat di ujungnya. Tapi di sanalah kita duduk sejenak, minum kopi pahit, dan mengingat siapa diri kita. Sebab kampung bukan hanya tempat tinggal, ia adalah cermin. Cermin dari masa kecil, dari nilai, dari bahasa yang mulai terlupa.
Saya tahu, ini bukan hal yang populer. Saya pun sadar, mudah-mudahan saya keliru, bahwa kita —orang Dayak— tidak punya budaya "membangun kehormatan" di kampung. Belum menjadikan kampung sebagai pusat gravitasi batin.
Seringkali, setelah kita sekolah, kita tidak pulang. Setelah bekerja di kota, kita berakar di sana. Kampung menjadi kenangan yang cukup disimpan di album foto, bukan dilestarikan dalam bentuk fisik dan praksis.
Beda dengan sahabat-sahabat saya dari Jawa, Bugis, Batak. Mereka punya rumah di kampung, meski hidup di kota. Bukan karena murah, tetapi karena bermakna. Mereka mudik saat hari raya. Mereka tanam pohon di halaman rumah kampungnya, seperti menanam doa agar anak-cucu tak kehilangan akar. Bagi mereka, kampung adalah pangkal, bukan nostalgia.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Dan negara pun—secara tak sadar—mengakui pentingnya mudik. Tradisi ini disahkan oleh sejarah. Dilembagakan sejak zaman kolonial, ketika para perantau dari desa-desa mulai mengadu nasib di kota-kota besar: Batavia, Semarang, Makassar. Mereka lalu pulang: sebentar saja, untuk membagi hasil kerja, untuk merayakan silaturahmi, untuk menyentuh kembali tanah yang membesarkan mereka. Dari situlah kata mudik berasal: dari “udik”, dari hulu. Sebuah perjalanan menuju asal. Menuju kampung.
Saya suka membayangkan kata itu: hulu. Di situlah sungai mulai. Di situlah segala arus berasal. Dan mungkin, jiwa manusia pun begitu. Ia perlu tahu dari mana ia datang, agar tidak hilang dalam pusaran arus besar dunia.
Pertanyaannya kini adalah: apakah kita, anak-anak Dayak, sudah punya budaya pulang ke hulu?
Apakah kita sudah membayangkan pentingnya memiliki pondok di kampung, bukan untuk ditinggali terus-menerus, tapi sebagai simbol penghormatan? Apakah kita sudah bicara ke anak-anak kita bahwa ada tanah di hulu sana yang bukan hanya tempat leluhur dimakamkan, tapi juga tempat harapan bisa ditanam ulang?
Baca Ngayau (1)
Ataukah kita sudah kalah oleh narasi bahwa kota adalah satu-satunya tempat tinggal yang pantas, dan kampung adalah cerita yang tak perlu dilanjutkan?
Saya tak punya jawabannya. Tapi saya percaya, setiap kita bisa memulainya. Satu demi satu. Sebuah pondok kecil. Sebuah alasan untuk pulang.
Dan ketika kita pulang, bukan hanya tubuh yang kembali. Tapi juga kehormatan. *)
8 April 2025