Koperasi Merah Putih (KMP): Sebuah Catatan Kritis

Koperasi, Koperasi Merah Putih, KMP, Inpres Desa Tertinggal, IDT, Mubyarto, kemiskinan, kapasitas, SDM, rakyat, Gerakan Desa Membangun, Gerdema

Koperasi Merah Putih (KMP): Sebuah Catatan Kritis
Koperasi Merah Putih (KMP): Sebuah catatan kritis by AI.


Oleh Dr. Yansen TP, M.Si.

Pemerintah telah menegaskan bahwa program Koperasi Merah Putih akan diwajibkan hadir di seluruh desa pada bulan Juni mendatang. 

Program ini digadang-gadang sebagai tonggak baru dalam pembangunan ekonomi kerakyatan, sebuah harapan untuk memberdayakan masyarakat desa melalui pengelolaan koperasi. Namun, sebagai seseorang yang telah lama terlibat dalam pembangunan daerah terpencil, saya tak bisa menahan untuk membandingkan program ini dengan pengalaman saya pada era Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di awal 1990-an. Kala itu, program IDT diharapkan menjadi solusi pengentasan kemiskinan oleh pemerintahan Orde Baru, yang ditangani oleh Prof. Mubyarto dan timnya.

Baca Pulang Kampung

Saat itu, saya menjabat sebagai Camat di sebuah wilayah perbatasan yang terpencil. Sejujurnya, saya termasuk salah satu pejabat yang pesimis terhadap IDT. Mengapa? Hal itu karena kemiskinan yang ada bukan hanya soal materi, tetapi juga soal kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Kemiskinan yang melanda masyarakat pada waktu itu juga merambah ke jajaran pemerintahan. Selain kekurangan materi, kami juga miskin dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Dan jika melihat kondisi saat ini, saya merasa situasinya tidak jauh berbeda. Kita masih berhadapan dengan kemiskinan SDM yang serupa —miskin ilmu, miskin keterampilan, miskin pengalaman— termasuk di kalangan birokrasi pemerintahan itu sendiri.

Program  Koperasi Merah Putih (KMP) tidak akan berjalan sukses tanpa adanya penguatan kapasitas masyarakat, penyediaan infrastruktur dasar, dan pembenahan SDM pemerintahan.

Lantas, bagaimana mungkin masyarakat yang tinggal di desa-desa terpencil dan terisolasi, dengan akses yang terbatas, bisa diberi tanggung jawab untuk mengelola dana bergulir dalam bentuk koperasi? 

Apakah program ini akan berhasil hanya karena diwajibkan? Saya merasa ragu. 

Pada masa IDT dulu, dana memang tetap digelontorkan. Namun, banyak warga yang justru merasa takut menerima dana tersebut, bingung dengan apa yang harus dilakukan, bahkan ada yang menyimpannya di bawah bantal. Pada akhirnya, program itu hilang tanpa meninggalkan jejak yang berarti.

Kini dengan pola dan pendekatan yang mirip, saya melihat Program Koperasi Merah Putih berpotensi menghadapi tantangan yang sama. 

Sejak awal kemerdekaan tahun 1945, Koperasi seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat, tetapi hingga kini, lebih dari 70.000 koperasi di Indonesia dibubarkan karena tidak mampu dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Apakah dengan mewajibkan koperasi di setiap desa, kita bisa berharap bahwa masyarakat akan secara tiba-tiba mampu mengelolanya dengan baik?

Di kota-kota atau desa-desa yang lebih dekat dengan pusat, mungkin koperasi dapat bertahan. Namun, bagaimana dengan desa-desa yang terisolasi, terletak di perbatasan, atau yang sangat terbatas infrastrukturnya? Banyak dari mereka yang bahkan belum memahami prinsip-prinsip dasar ekonomi, apalagi konsep koperasi yang membutuhkan tata kelola yang profesional dan akuntabel.

Saya harus jujur mengungkapkan bahwa saya sangat pesimis terhadap efektivitas program ini, bukan karena saya meragukan kemampuan rakyat, tetapi karena pemerintah tidak memulai dengan fondasi yang tepat. 

Pembangunan ekonomi rakyat harus dimulai dari penguatan kapasitas masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak bisa sekadar menerapkan pendekatan top-down dan berharap semua berjalan lancar. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus dimulai dari kemampuan dan kemandirian rakyat. Infrastruktur dasar harus tersedia, akses harus lancar, dan mobilisasi orang serta barang harus memungkinkan.

Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan

Saya memiliki pengalaman membangun desa-desa terpencil, pedalaman, dan perbatasan. Ketika itu, kami berhasil melakukan program pembangunan yang memberdayakan masyarakat. Mengapa berhasil? Karena desa-desa diberi kekuatan untuk membangun dirinya sendiri. 

Rakyat diberikan kepercayaan penuh untuk mengelola dan mengatur pembangunan dan pemerintahan mereka. Pada tahun 2012, pemerintah kabupaten kami menjadi yang pertama di Indonesia yang mengalokasikan dana pembangunan desa secara langsung, jauh sebelum Dana Desa dari pemerintah pusat diberlakukan pada 2015.

Setiap RT mendapat dana sebesar Rp260 juta per tahun, dan desa diberikan kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan mereka. Pendampingan teknis dan administratif dilakukan secara berkelanjutan. Program ini saya beri nama Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). 

Hasilnya adalah bahwa dalam waktu singkat, kemiskinan berkurang drastis, jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin tipis, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat secara signifikan.

Baca Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo

Mengapa program ini berhasil? Karena:

  1. Masyarakat diberdayakan untuk berperan aktif dalam pembangunan.

  2. Pemerintah desa diberikan kewenangan penuh untuk mengelola pemerintahan.

  3. Desa menjadi pelaku utama pembangunan, bukan sekadar objek dari program.

  4. Dana yang besar diberikan langsung ke desa untuk operasional dan pembangunan.

  5. Pendampingan teknis dan administratif yang berkesinambungan.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Harapan saya, kiranya Koperasi Merah Putih benar-benar bisa menjadi instrumen yang memberdayakan ekonomi desa. Namun, saya yakin program ini tidak akan berjalan sukses tanpa adanya penguatan kapasitas masyarakat, penyediaan infrastruktur dasar, dan pembenahan SDM pemerintahan. Tanpa hal tersebut, kita hanya akan melihat program ini menjadi angka di atas kertas, tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Sebuah program sektor ekonomi yang wajib, pada akhirnya, hanya akan menjadi formalitas semata, tanpa perubahan yang berarti bagi rakyat.

Malinau, 7 April 2025

LihatTutupKomentar